Chereads / Bloodstained Oath / Chapter 7 - Cermin Perjalanan

Chapter 7 - Cermin Perjalanan

Malam itu, langit di atas Eldoria tampak seperti lautan yang tak terhingga, dengan bintang-bintang tersebar di antara kegelapan, seakan-akan mereka adalah serpihan harapan yang hilang dari masa lalu. Caelum berdiri tegak di depan gerbang benteng pemberontak yang kokoh, matanya menyapu kawasan yang terhampar di depannya—sebuah tempat yang penuh dengan potensi dan ancaman yang tak terhitung. Sebuah titik yang telah dia tuju, namun entah mengapa, perasaan cemas yang berat menggelayuti hatinya. Di tangan kirinya, gulungan dokumen yang penuh rahasia itu terasa seperti beban yang lebih berat daripada yang bisa dibayangkan. Dokumen itu adalah kunci untuk membuka arah perang, namun apa yang akan terjadi setelah itu? Apa yang akan terungkap saat semuanya terbuka di depan mata? Caelum tak tahu pasti.

Daryn, yang berjalan di sampingnya, memecah kesunyian dengan pertanyaannya yang langsung menyentuh inti perasaan Caelum. "Semuanya sudah siap?"

Caelum mengangguk tanpa menoleh. Tubuhnya terasa lebih berat daripada sebelumnya, seakan setiap langkahnya sekarang harus mengangkut beban yang lebih besar dari yang mampu dipikulnya. Raedan figur orang tua dan pemimpin yang telah tiada, adalah salah satu kenangan yang kini hanya hidup dalam bisikan angin. Caelum masih berusaha menahan kenangan itu, namun rasanya semakin sulit. Setiap langkahnya kini terasa lebih seperti menjaga keberlangsungan hidup, bukan sebuah perjalanan yang jelas. Dendam yang dulu berkobar seakan kini mulai memudar, menjadi sebuah pertanyaan besar yang menggantung di pikiran Caelum—apakah itu cukup? Apakah itu cukup untuk mengubah nasib mereka semua?

"Kau baik-baik saja?" Elira bertanya, suaranya lebih dalam dari biasanya. Caelum merasakan perhatian yang berbeda, lebih berat, seperti Elira tahu lebih banyak dari yang seharusnya dia ketahui. Sejak kehilangan Raedan, Elira tampaknya semakin peka terhadap setiap gerak-geriknya, setiap kata yang keluar dari mulutnya.

"Ya, aku baik" jawab Caelum, meskipun suaranya terdengar seperti jawaban kosong. Seketika, dia merasakan kehangatan yang aneh menyelimuti dirinya, tetapi juga kekosongan. Sesuatu yang lebih dalam, namun sulit untuk dipahami. Elira menatapnya, namun tak berkata apa-apa lebih lanjut.

---

Setelah mereka memasuki benteng pemberontak, suasana semakin mencekam. Pemimpin pemberontak, Azrin, seorang pria dengan sikap keras dan mata yang tajam, menunggu mereka dengan ekspresi dingin. Saat matanya menilai mereka, ada sesuatu yang tak bisa disembunyikan—penilaiannya lebih dalam daripada sekadar melihat para prajurit. Ia seolah menilai jati diri mereka, menilai sejauh mana mereka akan bertahan.

"Jadi menurut ceritamu, Raedan sudah mati, dan kau yang menggantikannya?" Azrin bertanya, suaranya mengandung ketegasan yang tidak bisa diabaikan. Seakan ia ingin memverifikasi, mencari alasan yang cukup untuk menerima mereka, atau menolaknya begitu saja.

Caelum mengangguk tanpa ragu, meskipun hati kecilnya meronta. "Raedan menugaskan kami untuk melanjutkan misi ini. Dokumen ini akan mengungkapkan rencana besar Kekaisaran."

Azrin menatapnya dengan tajam, tak langsung menerima begitu saja. "Dan apa yang membuatku percaya padamu? Aku tidak melihat seorang pemimpin di matamu. Aku hanya melihat seorang anak yang berjuang tanpa arah."

Tantangan itu datang seperti angin yang dingin dan tajam. Untuk pertama kalinya, Caelum merasakan ketidakpastian yang tajam menusuk dirinya. Ia merasa seperti bayangan, bukan seperti seseorang yang memiliki tujuan besar. Hati Caelum terhimpit, dan rasa takut menyelinap ke dalam dirinya. Namun, di balik ketakutan itu, ada juga sebuah perasaan yang membakar—ini adalah saatnya membuktikan siapa dia sebenarnya.

"Raedan mengajarkan kami untuk bertahan," jawab Caelum dengan suara yang kini lebih mantap, meskipun ada keraguan yang bersembunyi di baliknya. "Kami bukan prajurit yang sempurna, tapi kami tidak akan mundur."

Azrin mengamatinya dengan cermat, seolah menilai lebih jauh. Untuk beberapa detik yang terasa seperti berabad-abad, Azrin terdiam. Akhirnya, ia mengangguk pelan. "Aku akan memberi kalian kesempatan. Tetapi jangan pernah lupakan satu hal: kami berjuang bukan hanya untuk bertahan, tetapi untuk meruntuhkan Kekaisaran. Jika kalian lemah, kalian akan dihancurkan."

---

Malam itu, setelah pertemuan yang penuh ketegangan, Caelum duduk sendirian di luar barak, jauh dari teman-temannya. Matanya terfokus pada pedang Raedan yang tergeletak di tanah, sebuah benda yang kini menjadi simbol dari segala kehilangan dan pertanyaan yang belum terjawab. Caelum tidak berkata apa-apa. Hanya keheningan malam yang mengisi ruang, namun dalam dirinya ada pertempuran yang lebih keras dari pertempuran fisik apa pun. Hatinya dipenuhi dengan bayangan ibunya yang datang lagi, kali ini lebih jelas dan lebih nyata daripada sebelumnya. "Apakah ini yang kau inginkan, Caelum?" bisik suara itu, terdengar lembut namun menusuk. "Apakah balas dendam akan memberimu kedamaian?"

Raedan muncul dalam bayangannya, seperti hantu yang tak bisa ia usir. "Dendam tidak bisa mengisi kekosongan, Caelum," suara Raedan bergema dalam pikirannya, tajam dan bijaksana. "Temukan tujuan yang lebih besar. Itu yang akan membuatmu menjadi manusia."

Caelum menunduk, merasakan beban yang begitu berat di hatinya. Semua ini terasa semakin tak ada artinya jika hanya untuk dendam. Jika dia terus terjebak dalam lingkaran kebencian ini, apa yang akan dia capai? Apa yang sebenarnya dia perjuangkan selain kematian yang sia-sia? Tapi dia berhenti memikirkan itu.

---

Keesokan harinya, pertempuran pertama dengan pasukan Kekaisaran yang datang semakin mendekat. Azrin, dengan ketegasan yang tak terbantahkan, memimpin persiapan pasukan pemberontak. Caelum, di sisi lain, merasakan ketegangan yang menjalar dalam tubuhnya. Dia tahu bahwa pertempuran ini bukan hanya soal mengalahkan Kekaisaran. Ini adalah ujian—ujian terbesar dalam hidupnya. Sebuah ujian untuk menemukan dirinya, untuk mengetahui apakah dia benar-benar bisa bertahan dengan beban kepemimpinan yang dipaksakan padanya.

Sebelum hari pertempuran tiba, Daryn mendekat, menatap Caelum dengan keraguan yang tak terbantahkan. "Kau yakin dengan keputusan ini?" tanyanya, suara penuh keraguan.

Caelum menatap Daryn, berusaha mengabaikan keraguan yang juga bersarang dalam dirinya. "Kita tidak punya pilihan, kontrak tugasnya adalah sampai kekaisaran runtuh." jawabnya dengan tegas, meskipun di dalam hatinya ada suara yang terus bertanya, "Apa yang kau perjuangkan selain dendam?" "Kita harus menang. Untuk Raedan, untuk semua yang telah jatuh sebelum kita."

Namun, jauh di dalam hatinya, Caelum tahu bahwa pertempuran ini adalah tentang lebih dari sekadar Kekaisaran. Ini adalah tentang dirinya. Tentang apakah dia bisa menemukan tujuan yang lebih besar dari sekadar dendam.