Chereads / Bloodstained Oath / Chapter 4 - Bayangan Hitam

Chapter 4 - Bayangan Hitam

Langit mendung menggantung rendah, seakan menekan setiap jiwa yang menyusuri jalan berbatu menuju perbatasan. Hujan tipis yang turun menciptakan irama lambat di atas helm dan armor mereka. Barisan The Crimson Blades berjalan tanpa suara, seperti bayangan yang bergerak tanpa keinginan. Hanya derit rantai dan sepatu bot yang menghantam tanah menjadi saksi perjalanan mereka.

Di tengah barisan, Caelum berjalan tanpa bicara, pandangannya terpaku ke depan. Langkahnya tidak lebih dari rutinitas kosong—namun di balik kesunyian itu, pikirannya terus berputar. Ia mendengar gumaman kecil di belakangnya, tetapi tidak memedulikannya.

Raedan, pemimpin mereka, tiba-tiba mengangkat tangan, memberi isyarat agar mereka berhenti. Ia menunjuk punggungan bukit di depan. "Kita hampir sampai," katanya dengan suara tegas. "Karavan itu akan melintas di celah di antara dua bukit. Kita akan bersembunyi di sisi kanan dan kiri, lalu menyergap mereka di tengah."

Semua orang segera mematuhi perintah. Dalam diam, mereka berpencar, mengambil posisi sesuai rencana. Caelum bergerak ke sisi kanan, mengikuti perintah tanpa sepatah kata pun. Di dekatnya, Carl berjalan dengan langkah ringan yang mencolok dibandingkan rekan-rekannya. Pria itu melirik ke arahnya dan tersenyum tipis.

"Kau terlalu pendiam akhir-akhir ini," gumam Carl dengan nada santai, meski matanya mengamati setiap gerakan Caelum. "Apa yang terjadi? Kau dulu begitu berapi-api soal membalas dendam kepada Kekaisaran. Sekarang? Kau lebih mirip bayangan yang hanya mengikuti perintah."

Caelum menghentikan langkahnya sejenak, menatap Carl dengan dingin. "Bayangan juga bisa membunuh," jawabnya, suaranya hampir seperti bisikan.

Carl tertawa kecil, tetapi ada sesuatu di matanya—keingintahuan, mungkin juga kegelisahan. "Kita lihat nanti," katanya sebelum berlalu.

Kabut yang Membawa Darah

Kabut pagi menyelimuti perbatasan ketika The Crimson Blades mengambil posisi. Di kejauhan, bayangan karavan Kekaisaran mulai terlihat. Beberapa gerbong kayu, dijaga ketat oleh prajurit berpakaian hitam, Black Guard—pasukan elite Kekaisaran. Ada lima dari mereka, sosok yang menonjol di antara prajurit biasa. Gerakan mereka begitu terukur, seperti predator yang siap mencabik-cabik siapa pun yang mendekat.

Raedan menyipitkan mata, mencoba menghitung jumlah musuh. "Kita tidak punya banyak waktu," bisiknya kepada kelompok terdekatnya. "Begitu mereka mulai bergerak lagi, kita kehilangan kesempatan."

Di sisi lain, Caelum mengamati Black Guard dengan pandangan tajam. Mereka bukan sekadar prajurit bagi Caelum—mereka adalah simbol penindasan, bayangan kelam yang terus menghantui hidupnya. Ia merasakan detak jantungnya semakin cepat, tetapi tubuhnya tetap tenang, cengkeraman pada gagang pedangnya semakin kuat.

Raedan memberi isyarat. "Elira, buka dengan panahmu. Daryn, Torren, ikuti aku untuk menghantam garis depan. Caelum, Carl, kalian sergap dari sisi kanan." Tatapannya tertuju pada Caelum. "Dan jangan gegabah."

Caelum mengangguk tanpa bicara. Tapi di dalam hatinya, dendam yang telah lama membakar mulai mendominasi. Hari ini, pikirnya, ia akan menunjukkan pada dunia bahwa bayangan pun bisa menjadi pedang.

---

Suara peluit lembut dari busur Elira memecah keheningan. Panah melesat, menembus helm prajurit yang memimpin barisan depan karavan. Jeritan pertama bergema, menciptakan kekacauan di antara pasukan Kekaisaran. Raedan dan Torren langsung menyerang, meluncur dari bukit dengan kekuatan yang menghancurkan. Daryn berada di belakang mereka, pedangnya memotong musuh tanpa ragu.

Caelum dan Carl, di sisi lain, bergerak seperti bayangan. Mereka mendekati gerbong belakang, tempat dokumen rahasia disimpan. Saat seorang penjaga muncul, Carl menempatkan jari di bibirnya, memberi isyarat agar Caelum diam. Ia bergerak tanpa suara, menyelinap di belakang pria itu dan menusukkan belatinya dengan gerakan cepat. Penjaga itu jatuh, darahnya mengalir di tanah. Carl menoleh dengan senyum kecil.

"Belajarlah," katanya.

Namun, sebelum Caelum sempat menjawab, seorang prajurit lain muncul dari balik gerbong. Tanpa menunggu, Caelum melangkah maju. Pedangnya bergerak seperti bayangan bulan yang menyapu malam, memotong tenggorokan pria itu dengan presisi. Darah menyembur, tubuhnya terhuyung-huyung sebelum ambruk ke tanah. Carl mengamati dengan mata menyipit, senyum sinis muncul di wajahnya.

"Kau memang lebih dingin dari yang kukira," gumamnya.

---

Bayangan dan Pedang

Di tengah medan perang, Black Guard akhirnya mulai bergerak. Salah satu dari mereka, pria bertubuh besar dengan kapak raksasa, maju ke depan, menghantam tanah dengan senjatanya. Raedan mencoba menangkis, tetapi kekuatan pria itu membuatnya mundur beberapa langkah. Di sisi lain, wanita bertopeng dengan pedang ganda mendekati Caelum.

"Kau tampak seperti anak kecil," katanya dengan nada menghina. "Apa yang membuatmu berpikir bisa melawan kami?"

Caelum tidak menjawab. Sebaliknya, ia melangkah maju, pedangnya terangkat. "Anak kecil juga bisa membunuh."

Pertarungan di antara mereka seperti tarian maut. Setiap serangan wanita itu cepat dan mematikan, tetapi gerakan Caelum lebih halus, hampir seperti ilusi. Pedangnya berkilau di bawah cahaya pagi yang redup, memantulkan rasa dendam yang membara di matanya.

Namun, teriakan mendadak menarik perhatiannya. Ia menoleh dan melihat Elira tersungkur ke tanah, seorang prajurit Kekaisaran dengan tombak panjang melangkah mendekatinya. Waktu terasa melambat. Dalam pikirannya, bayangan masa lalu muncul—ibunya yang tersenyum lembut, kata-katanya bergema: "Hargai hidup orang lain, nak. Jangan biarkan kebencian membutakanmu."

Caelum menggeram pelan. Ia memutar tubuh, meninggalkan wanita Black Guard itu, dan meluncur ke arah Elira. Tepat saat tombak musuh hampir menyentuh punggungnya, Caelum menerjang, pedangnya menghantam sisi prajurit itu dengan kekuatan penuh. Elira terkejut, tetapi segera mengambil busurnya dan membantu Caelum menyelesaikan lawan.

"Bangkit," gumam Caelum dengan suara rendah, matanya tidak meninggalkan medan perang.

Elira tersenyum kecil. "Aku yang seharusnya mengatakan itu padamu."

---

Darah dan Kehilangan

Pertempuran semakin sengit. Carl, yang sebelumnya bergerak sendiri, kini berada di sisi Raedan, membantu menahan pria bertubuh besar dengan kapaknya. Namun, kekuatan musuh terlalu besar. Dalam satu ayunan, kapak itu menghantam Raedan, membuatnya terjatuh dengan luka besar di dadanya.

"Tidak!" teriak Caelum. Ia berlari ke arah Raedan, tetapi Black Guard besar itu mengangkat kapaknya lagi, siap memberikan pukulan terakhir. Carl, meskipun terluka, muncul dari sisi pria itu dan menusukkan belati ke punggungnya. Black Guard itu meraung, tetapi menghantam Carl hingga tersungkur.

Caelum tiba tepat waktu untuk menahan serangan berikutnya. Pedangnya beradu dengan kapak musuh, menciptakan percikan api di udara. Daryn dan Elira segera tiba, memberikan dukungan. Panah Elira menembus helm pria itu, dan akhirnya, bersama-sama, mereka berhasil menjatuhkannya.

Ketika pertempuran mereda, Caelum mendekati Raedan yang tergeletak di tanah. Napasnya lemah, darah mengalir deras dari lukanya.

"Raedan…" suara Caelum hampir bergetar.

Pemimpin itu membuka matanya, menatap Caelum dengan senyum lemah. "Kau… bertarung dengan baik… Tapi ini belum selesai."

"Kita bisa menyembuhkanmu. Aku—"

Raedan menggeleng pelan. "Tidak ada waktu… Dokumen itu… Pastikan kau mendapatkannya… Pimpinlah mereka... Aku.. Sudah Mengajarimu.. Kan.."

Dengan napas terakhirnya, Raedan terdiam. Kehidupan meninggalkan tubuhnya, tetapi beban tanggung jawab berpindah ke pundak Caelum.

---

Malam itu, di bawah langit penuh bintang, Caelum berdiri di atas bukit, memandang medan perang yang sunyi. Dalam kesunyian, ia berbisik pada bayangan dirinya sendiri.

"Raedan, aku tidak akan mengecewakanmu. Aku akan memimpin mereka. Aku akan menghancurkan Kekaisaran ini, tidak peduli berapa banyak darah yang harus aku tumpahkan."

Dan dengan sumpah itu, bayangan di dalam dirinya tumbuh menjadi sesuatu yang lebih kelam. Sesuatu yang tidak bisa dihentikan.