Kabut malam menyelimuti kamp The Crimson Blades, menciptakan suasana sunyi yang berat, seperti nafas terakhir seorang prajurit di medan perang. Di sekitar api unggun, wajah-wajah yang penuh luka dan kelelahan hanya menatap nyala api yang menari tanpa gairah, seolah mencoba mengusir bayangan gelap dari ingatan mereka. Kehilangan Raedan mengguncang segalanya, mematahkan semangat yang sudah rapuh.
Carl, biasanya sinis dan penuh komentar tajam, kini hanya duduk diam, mengusap darah kering dari pedangnya dengan gerakan lambat, tatapannya kosong menembus kegelapan. Di sisi lain, Torren berdiri sedikit menjauh, memperhatikan sisa kelompoknya yang mulai tampak seperti bayangan dari apa yang dulu mereka perjuangkan.
Sedikit terpisah, Caelum memandangi pedang Raedan yang tergeletak di atas kain lusuh. Simbol kekuatan dan kepemimpinan itu kini seperti artefak mati, tidak lagi mencerminkan keberanian atau otoritas. Dunia terasa salah, seolah kehilangan kompasnya.
Torren mendekat, suara beratnya memecah keheningan. "Elira, Daryn, dan aku memutuskan untuk mengadakan pemakaman sederhana esok pagi," katanya pelan. "Raedan pantas mendapatkan itu."
Caelum hanya mengangguk. Kata-kata terakhir Raedan berputar di pikirannya, menyeretnya ke dalam pusaran keraguan. Bagaimana mungkin ia memenuhi harapan itu? Usianya baru lima belas tahun, dan dunia sudah menuntutnya menjadi lebih dari yang pernah ia bayangkan.
"Kita akan melakukannya," ucapnya akhirnya, hampir berbisik. "Tapi kita harus segera bergerak setelah itu. Kekaisaran tidak akan memberi kita waktu untuk berduka."
Torren menatapnya lama, sorot matanya memancarkan rasa khawatir sekaligus harapan. "Kau benar. Tapi jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, Caelum."
Caelum tidak menjawab. Dalam hatinya, ia tahu, belas kasihan pada dirinya sendiri hanya akan membawa kehancuran.
---
Di bawah langit abu-abu pagi berikutnya, The Crimson Blades berkumpul di tepi sungai kecil yang melintasi lembah. Tubuh Raedan, dibalut kain putih yang mulai memudar, terbaring di atas rakit sederhana. Angin membawa aroma lembab kayu dan air, mengiringi suasana hening.
Elira berdiri di samping tubuh Raedan, menggenggam panah yang ujungnya telah dilumuri minyak. Matanya merah, namun tatapannya tegas, meski ada rasa kehilangan yang begitu dalam.
Caelum melangkah maju, tangannya menggenggam pedang Raedan. Dia berdiri di depan semua orang, mencoba menyembunyikan kegugupannya di balik wajah dingin. Setiap mata tertuju padanya, menanti kata-kata yang seharusnya memberi arti pada kehilangan mereka.
"Raedan adalah lebih dari sekadar pemimpin," katanya dengan suara tegas. "Dia adalah penopang kita, penjaga kita, kompas kita di tengah kekacauan dunia ini."
Dia berhenti sejenak, menarik napas, merasa bebannya semakin berat. "Dunia ini tidak peduli pada keadilan. Namun kita tidak bisa menyerah. Kita harus melanjutkan perjuangan ini. Untuk Raedan. Untuk mereka yang telah kita tinggalkan. Kita bukan hanya tentara bayaran. Kita adalah keluarga. Dan aku bersumpah, aku akan membawa tekad Raedan, Mempertahankan The Crimson Blade."
Elira menyalakan panahnya, tatapannya bertemu dengan Caelum sejenak sebelum ia melepaskan panah itu. Api menyala, merambat cepat ke tubuh Raedan. Sungai perlahan membawa rakit itu pergi, membawanya ke keabadian.
---
Setelah pemakaman, mereka segera berkemas. Tidak ada waktu untuk berlama-lama di tempat yang bisa menjadi perangkap. Dokumen curian mereka, berisi rencana Kekaisaran untuk invasi besar-besaran ke selatan, menjadi satu-satunya alasan mereka bertahan sejauh ini.
"Kita harus ke Eldoria," kata Carl, menatap peta yang terbentang di depannya. "Dokumen ini tidak berguna jika kita tidak menyerahkannya pada pemberontak."
Torren mengerutkan dahi, menatap Carl dengan dingin. "Raedan tidak pernah setuju untuk bersekutu dengan pemberontak. Dia percaya kita harus tetap independen."
"Raedan sudah mati," balas Carl tajam. Namun, dia segera mengunci mulutnya saat melihat sorot mata penuh amarah dari Torren.
Caelum mengangkat kepalanya, suaranya tenang namun penuh otoritas. "Kita ke Eldoria. Raedan memang tidak setuju untuk bersekutu dengan pemberontak, tapi dia yang menandatangani kontrak misi ini."
Keputusannya tegas, tidak bisa ditawar. Dia melanjutkan, "Raedan ingin kita bertahan, dan bertahan berarti membuat keputusan sulit. Kekaisaran tidak akan memberi kita belas kasihan. Jika kita tidak punya sekutu, kita akan hancur."
---
Perjalanan menuju Eldoria dipenuhi ketegangan. Setiap bayangan di hutan terasa seperti mata musuh yang mengawasi. Suara ranting patah di malam hari membuat mereka berjaga-jaga, pedang dan panah siap di tangan.
Di suatu malam, saat Caelum berjaga, dia mendengar sesuatu. Langkah kaki ringan, diikuti bisikan pelan: "Caelum..."
Tangannya mencengkeram pedang dengan erat, matanya menelusuri kegelapan. "Siapa di sana?" tanyanya, suaranya serak.
Tidak ada jawaban. Namun, suara itu kembali, kali ini lebih lembut, seperti angin berbisik di telinganya. "Jangan menyerah..."
Suara itu... ibunya.
Dia menatap hutan, berharap menemukan sesuatu, tetapi hanya kegelapan yang menjawab. Suara itu menghilang seperti mimpi yang pudar. Tapi di dalam hatinya, sesuatu bergolak, memberi kekuatan kecil yang aneh.
"Aku tidak akan menyerah, Bu," bisiknya pada malam yang sunyi.
---
Akhirnya, mereka melihat deretan hutan Eldwyn, deretan hutan besar yang memanjang, teritori Elf. Tapi sebelum mereka bahkan memikirkan caranya melewati hutan itu, seorang pengintai datang dengan napas tersengal-sengal.
"Kekaisaran mengincar kita," katanya. "Mereka mengirim Black Guard."
Semua tatapan beralih ke Caelum. Wajah-wajah lelah itu menunggu keputusan.
"Kita tidak bisa terus lari," katanya tegas. "Kita akan bertarung. Bukan untuk diri kita sendiri, tapi untuk memastikan tekad Raedan terus hidup."
Keputusan itu seperti gong yang menggetarkan udara. Mereka tahu pertempuran ini bisa menjadi akhir, tetapi tidak ada yang membantah.
Dan di tengah persiapan itu, Caelum berdiri di depan pasukannya, menghapus keraguannya, mencoba menjadi pemimpin yang mereka butuhkan. Di dadanya, ia masih merasakan suara ibunya, sebuah pengingat bahwa harapan, meski rapuh, masih ada.