Chereads / Bloodstained Oath / Chapter 8 - Keputusan Hati

Chapter 8 - Keputusan Hati

Malam itu, langit Eldoria membentang hitam pekat, dipenuhi bintang-bintang yang berkelip tanpa suara. Di luar benteng Eldoria yang angkuh, tempat yang diharapkan dapat menjadi titik balik dalam perang ini, Caelum berdiri seorang diri, menatap cakrawala yang gelap, seakan mencari jawaban dari langit yang abadi. Angin malam berbisik di antara dedaunan, namun tak ada yang bisa menenangkan kekosongan yang menggerogoti hatinya.

Sejak kematian Raedan, jiwanya bagaikan terperangkap dalam bayang-bayang sosok yang telah lama menjadi panutan. Tiap keputusan, tiap langkah yang ia ambil, terasa seakan diarahkan oleh sesuatu yang lebih besar, namun ia tak tahu pasti ke mana arah itu. Menggantikan Raedan bukan hanya tentang mengambil alih komando pasukan—itu adalah tentang menemukan suatu alasan yang lebih dalam, suatu tujuan yang lebih tinggi, dan lebih dari itu, suatu harapan bagi mereka yang mengikuti.

"Caelum?" Suara lembut Elira memecah keheningan yang mengurungnya. "Kita hampir siap untuk bergerak. Pasukan pemberontak sudah menanti perintah Azrin."

Caelum mengangguk tanpa berbalik, matanya tetap tertuju pada gelapnya horizon. "Aku tahu. Waktu kita hampir habis. Kekaisaran akan datang, dan kita harus bertindak sebelum terlambat."

Elira mendekat, tatapannya penuh perhatian. Ada sesuatu yang berbeda dalam diri Caelum malam ini, suatu kerisauan yang jelas tampak meski ia mencoba menyembunyikannya. "Caelum," kata Elira pelan, "Aku tahu ini berat bagimu, tetapi kita harus tetap fokus. Kita telah sampai sejauh ini."

Caelum memejamkan mata sejenak, merasakan beratnya beban yang terus menekan dada. "Aku bukan hanya seorang pemimpin, Elira," jawabnya pelan, suaranya bergetar. "Raedan selalu tahu apa yang dia perjuangkan. Aku... aku tidak tahu apa yang aku perjuangkan. Aku hanya tahu bahwa kita harus terus bergerak, tetapi untuk apa? Apa yang kita cari?"

Elira terdiam, untuk sejenak hanya ada keheningan yang membekap mereka. Mata Elira yang biasanya penuh semangat kini dipenuhi kecemasan, seolah ia mengerti lebih dari yang Caelum katakan. "Caelum," bisiknya, "Kau memberi kami tujuan, dan itu lebih dari cukup. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Kita membutuhkanmu."

Caelum tak mengucapkan sepatah kata pun, hanya mengangguk pelan. Namun, jauh di dalam hatinya, ada sebuah keraguan yang terus menghantuinya. Jika ia tidak tahu apa yang ia perjuangkan, maka untuk apa semua ini? Balas dendam terhadap Kekaisaran saja tak cukup. Ia harus menemukan alasan yang lebih besar dari sekadar amarah dan dendam itu.

---

Keesokan harinya, Eldoria diliputi ketegangan yang semakin mencekam. Para pemberontak bersiap untuk bertempur, sementara dokumen penting yang dibawa Caelum harus diselaraskan dengan strategi yang sudah dipersiapkan. Namun, meski mereka kini berada di ambang perang yang menentukan, Caelum merasa sebuah kecemasan yang tak bisa ia singkirkan.

Di tengah-tengah persiapan yang riuh, Carl mendekatinya, ekspresi wajahnya serius, jauh lebih terkendali daripada yang biasanya Caelum kenal. Ada sebuah ketegangan yang jelas terasa di wajah Carl.

"Caelum," suara Carl berat, menembus hening, "Kita perlu bicara."

Caelum menatap Carl, kelelahan jelas tergambar di wajahnya, tetapi ada sesuatu yang membuatnya merasa bahwa percakapan ini tak bisa dihindari. "Apa yang kau inginkan, Carl?"

"Ini tentang pemberontakan," Carl melanjutkan, suaranya dipenuhi keraguan. "Aku tahu kita terikat dengan mereka untuk mengalahkan Kekaisaran, tapi... apa yang akan terjadi setelah itu? Apa yang kita lakukan setelah pertempuran ini selesai? Raedan selalu bilang kita harus bertahan hidup, tapi bertahan hidup saja tidak cukup."

Pertanyaan itu menggema dalam pikiran Caelum, menumbuhkan benih-benih kebingungannya. Apa yang mereka cari setelah mereka berhasil menghentikan Kekaisaran? Apa tujuan mereka jika mereka menang? Apakah itu cukup untuk memberi mereka kedamaian, atau hanya kekosongan yang lebih besar?

"Apa yang harus kita lakukan setelah ini?" suara Carl semakin keras, menambah tekanan yang terasa di dada Caelum. "Kita berjuang untuk membalas dendam atas Raedan, tetapi apakah itu benar-benar tujuan kita? Kita harus mencari apa yang akan kita lakukan setelah itu."

Caelum merasakan seakan terjebak di persimpangan yang tak bisa ia selesaikan. Semua yang ia lakukan, semua yang ia perjuangkan, terasa terpusat pada satu titik: balas dendam. Tetapi Carl benar. Itu tak cukup. Hanya itu saja, tanpa sesuatu yang lebih dalam, mereka akan terperangkap dalam lingkaran kekosongan yang tak berujung.

"Aku tidak tahu," kata Caelum dengan suara yang hampir tak terdengar. "Aku hanya tahu bahwa kita harus terus bergerak. Kita harus menghentikan Kekaisaran. Setelah itu... baru kita bisa memikirkan apa yang akan kita lakukan. Kontrak ini akan panjang, Carl."

---

Ketika pertempuran akhirnya dimulai, tekanan itu semakin terasa. Para pemberontak memiliki tujuan yang lebih besar—kebebasan dari Kekaisaran—tetapi bagi Caelum, ini lebih dari sekadar perang untuk balas dendam. Ini adalah tentang memastikan kelangsungan hidup mereka, tentang memastikan bahwa semuanya tidak akan sia-sia. Jika mereka berhenti di sini, jika mereka kalah, maka perjuangan mereka akan berakhir begitu saja.

Di tengah pertemuan dengan Azrin, pemimpin pemberontak yang tak kenal ampun, Caelum merasakan beban itu semakin menguat. Azrin menatapnya dengan mata tajam yang penuh penilaian, suaranya penuh ketegasan.

"Kalian datang membawa dokumen itu, tetapi apakah kalian cukup kuat untuk membawa beban ini?" Azrin bertanya, menilai bukan hanya kesiapan mereka, tetapi juga tekad mereka. "Kami tidak hanya berjuang untuk mengalahkan Kekaisaran. Kami berjuang untuk kebebasan. Jika kalian hanya datang untuk balas dendam, kami tidak membutuhkan kalian."

Caelum menatap Azrin, tegas dan penuh keyakinan, meskipun hatinya terasa bergejolak. "Kami berjuang untuk tujuan yang sama," jawabnya tanpa ragu. "Kami berjuang untuk menghentikan Kekaisaran, dan kami akan terus berjuang, apapun yang harus kami korbankan."

Azrin membisu sejenak, seakan menilai apakah Caelum benar-benar siap untuk memikul beban itu. "Jika kalian bertahan, kalian akan dihargai. Tetapi jika kalian tidak cukup kuat, kalian akan jatuh bersama Kekaisaran."

---

Malam sebelum pertempuran besar, Caelum terperangkap dalam kebingungannya sendiri. Setelah pertemuan itu, dia tahu bahwa mundur bukanlah pilihan. Namun, keraguan itu terus menggerogotinya—apakah tujuan mereka sudah cukup kuat untuk membawa mereka menuju kemenangan?

Di bawah cahaya bulan yang remang-remang, dengan pedang Raedan yang masih berada di tangannya, Caelum kembali mendengar suara ibunya, seperti gema yang tak pernah hilang.

"Jangan biarkan balas dendam menguasaimu, Caelum. Temukan tujuan hidup yang lebih besar."

Kepalanya berdenyut, dan sesaat, ia merasa seolah terperangkap dalam labirin kebingungannya. Namun, satu hal ia tahu dengan pasti: untuk menjaga agar perjuangan ini tidak sia-sia, untuk memastikan bahwa semuanya memiliki makna, ia harus menemukan tujuan yang lebih besar.

"Aku akan melakukannya," bisiknya pelan pada dirinya sendiri, dengan suara yang penuh tekad. "Aku tidak akan berhenti."

Dengan keputusan itu, ia menatap medan perang yang akan datang. Bagi Caelum, ini lebih dari sekadar balas dendam atau mengalahkan Kekaisaran. Ini tentang menemukan kedamaian—baik di dalam dirinya sendiri, maupun di dunia yang lebih luas.