Matahari berangsur turun di langit Zavros, meninggalkan semburat oranye di cakrawala. Kios-kios mulai menutup pintunya, sementara tempat-tempat hiburan malam membuka gerbang mereka dengan lampu-lampu berwarna warni. Anak-anak yang tadinya riuh bermain di gang-gang kota kini berlarian pulang ke rumah, disambut pelukan hangat keluarga mereka. Tapi di tengah suasana yang berubah ini, Carl berdiri di sudut ruangan mewah, menatap dua sosok yang tanpa rasa malu memanfaatkan situasi untuk keuntungan mereka.
Caelum dan Idris, dua nama yang cukup untuk membuat seorang pedagang yang keras kepala berpikir dua kali, kini duduk santai di sofa empuk di dalam mansion milik Sir Althar. Di sudut lain, Revan, anak Sir Althar, duduk memegangi hidungnya yang masih berdarah, ekspresi takut terpahat jelas di wajahnya.
"Jadi…" Sir Althar berbicara akhirnya, meskipun suaranya terdengar serak. Matanya melirik ke arah Caelum dan Idris dengan gelisah, "Apa lagi yang kalian inginkan dariku?"
Caelum memiringkan kepalanya, sebuah seringai tipis menghiasi wajahnya.
"Tidak banyak," Idris mulai berbicara, matanya menyala dengan semangat yang mencurigakan.
"Kami hanya…" Caelum menambahkan, nadanya penuh dengan kepastian.
Carl, yang sejak tadi berdiri di sudut ruangan, tiba-tiba menyelipkan komentarnya sendiri, "Diskon."
Ketiga kepala di ruangan itu langsung menoleh ke arahnya. Carl tersenyum ringan, mencoba menyembunyikan niat serakahnya di balik kepolosan yang dibuat-buat.
Sir Althar menghela napas berat. "Baiklah," katanya pasrah. "Diskon sepuluh persen selama satu tahun penuh."
Tawaran itu membuat Caelum tertawa kecil, namun gelombang keserakahan di matanya jelas terlihat.
"Sepuluh persen terlalu kecil," kata Caelum, menyeringai licik. "Paling tidak lima puluh persen."
Carl melongo. "Lima puluh?!" desisnya, setengah tidak percaya.
"Itu terlalu berlebihan!" Sir Althar memohon, nadanya terdengar seperti seseorang yang baru saja mendengar hukuman mati. "Dua puluh persen, tidak lebih."
Idris, dengan senyum cerah yang tidak menyembunyikan niat buruknya, menyela, "Tiga puluh persen akan cukup."
Sir Althar menunduk, frustrasi. Wajahnya yang biasanya tenang kini penuh dengan keputusasaan. "Baiklah," katanya akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar. "Tiga puluh persen."
Idris kemudian melanjutkan dengan daftar panjang kebutuhan untuk pasukannya. "Kami juga membutuhkan persenjataan baru. Pedang, tombak, pelindung tubuh—semuanya harus dalam jumlah besar. Pengirimannya minggu depan, dan pembayarannya… tentu setelah barang tiba dengan selamat."
Caelum melirik ke arah Carl, memberikan isyarat yang sudah dipahami dengan baik oleh pria itu. Carl mengangguk, tiba-tiba merasa sedikit lebih bersemangat dari biasanya. Diskon memang mampu mengubah suasana hati siapa pun.
"Aku juga akan memesan beberapa perlengkapan untuk kelompokku," kata Carl, nadanya terdengar lebih hidup dari biasanya. "Armor dan senjata, pastikan semuanya berkualitas. Dan ya, kirimkan bersama pesanan mereka."
Sir Althar mengangguk pelan, perlahan mulai menenangkan dirinya. Meskipun diskon yang dia berikan cukup besar, jumlah barang yang dipesan setidaknya masih memberinya keuntungan kecil. Dengan sedikit enggan, dia berkata, "Baiklah, aku akan memastikan semuanya siap. Tapi aku yakin kalian sudah merencanakan semua ini, bukan?"
Carl tertawa kecil, mengangkat bahu tanpa bersalah. "Kau bisa mengatakan begitu."
Matahari kini benar-benar tenggelam, digantikan oleh kehadiran Noctis, sang dewi malam. Kegelapan mulai meliputi benua, dan hanya cahaya lampu jalan yang menemani rombongan Idris berjalan keluar dari mansion.
"Kenapa tidak menginap saja di sini?" tawar Sir Althar, mencoba terdengar tulus meskipun jelas-jelas dia ingin mereka segera pergi.
"Tidak perlu," jawab Idris, menggeleng pelan. "Kami sudah merepotkanmu terlalu banyak hari ini."
Sir Althar hanya bisa mengangguk, mengantar mereka sampai ke pintu dengan senyum yang dipaksakan.
Setibanya di penginapan, Idris langsung menuju resepsionis, memesan kamar untuk mereka. Setelah beberapa menit, dia menyerahkan satu kunci kamar ke Carl.
"Ini kamarmu," katanya ringan.
Caelum, yang berdiri di sampingnya, mengerutkan kening. "Dan aku?" tanyanya curiga.
Idris tersenyum lebar, terlalu lebar. "Kau tidak mendapatkannya."
"Apa?! Lagi-lagi kau mengerjaiku!" Caelum berteriak, wajahnya memerah karena marah.
Idris hanya tertawa, suara tawanya menggema di seluruh lobi.
Carl, di sisi lain, menggelengkan kepala. "Aku tidak ingin berbagi kamar dengan psikopat gila," gerutunya.
"Kalau begitu, kau bisa tidur bersama Poci di kandang kuda," balas Idris sambil tertawa terbahak-bahak.
Caelum hanya semakin kesal, tetapi sebelum dia sempat melancarkan protes lebih jauh, Idris melemparkan kunci kamar ke arahnya. "Aku hanya bercanda."
Idris kemudian masuk ke kamarnya, masih tertawa keras, sementara Caelum berjalan masuk ke kamarnya dengan ekspresi kesal. Carl, yang sudah terlalu lelah untuk berdebat, hanya menghela napas lega.
Sinar matahari perlahan menembus jendela penginapan, mengusir kegelapan malam. Carl berdiri di depan pintu ruang makan, mencoba menyembunyikan kantuknya. Tapi dua sosok yang dia kenal terlalu baik sudah menunggunya, wajah mereka penuh dengan ejekan.
"Lihat siapa yang akhirnya bangun!" ejek Caelum, menyilangkan tangan di dadanya.
"Kau tidur nyenyak sekali, ya?" tambah Idris, dengan nada yang sama menyebalkannya.
Carl mendengus, melipat tangannya. "Tidak semua orang bisa bangun pagi dengan wajah segar seperti kalian."
"Ah, alasan," jawab Idris, masih tersenyum.
"Sudah, cukup," potong Caelum, melirik ke arah Idris. "Kita harus segera berangkat setelah makan."
Carl mengeluh, "Aku bahkan belum puas istirahat. Kenapa harus terburu-buru?"
"Karena aku ingin cepat pulang," jawab Caelum sarkastis.
Idris tertawa kecil, menggelengkan kepalanya. "Kau memang tidak pernah berubah, Carl."
---
Pagi menjelang di Zavros. Matahari baru saja mengintip dari balik pegunungan, dan jalanan kota mulai ramai. Pedagang mempersiapkan kios mereka, anak-anak berlarian di lorong-lorong, dan suasana hidup memenuhi udara.
Namun, di tengah semua itu, seorang pria dengan tatapan gelap dan sikap acuh tak acuh menyeret Poci besar melalui jalanan berbatu, menarik perhatian setiap orang yang melihatnya.
Carl berjalan di belakangnya, wajahnya mencerminkan rasa malu dan kekesalan yang mendalam. "Caelum, kau tahu ini memalukan, bukan? Apa kau tidak memiliki sedikit pun rasa malu?" tanyanya, suaranya setengah berbisik agar tidak menarik lebih banyak perhatian.
Caelum meliriknya sebentar, ekspresinya tetap dingin. "Kenapa harus malu? Mereka hanya iri pada Poci ini," jawabnya sambil terus menarik makhluk itu, suaranya penuh ironi.
Carl menghela napas panjang. "Tidak, mereka berpikir kau sudah gila." Dia melirik ke arah Idris, yang memimpin jalan dengan senyum lebar seperti biasa. "Dan kenapa kau begitu ceria? Kau tahu betul dalam perang, kau menikmati mematahkan leher musuhmu satu per satu."
Idris tertawa keras. "Hidup ini singkat, Tuan Carl. Kalau kita tidak menikmati momen seperti ini, kapan lagi?" jawabnya riang, seolah menarik poci di tengah keramaian kota adalah hal yang biasa.
Carl menatap tajam ke arah Idris, berpikir, Orang ini pasti sama gilanya dengan Caelum. Tapi seperti biasa, ia memilih untuk tidak mengungkapkan pikirannya.
---
Beberapa jam berlalu. Mereka telah melewati gerbang kota Zavros, meninggalkan kebisingan dan hiruk-pikuk di belakang mereka. Matahari mulai condong ke barat, bayangan panjang dari pepohonan mengiringi perjalanan mereka.
Caelum menguap lebar. "Kapan kita sampai? Perjalanan ini membosankan," keluhnya.
Carl mendengus. "Kau yang ingin perjalanan ini, jadi jangan mengeluh, Tuan Cael."
Idris tertawa terbahak-bahak. "Mungkin kita butuh hiburan. Bagaimana kalau kita berburu sesuatu? Itu selalu berhasil mengusir kebosanan."
Belum sempat Carl menjawab, rombongan pedagang tua berpapasan dengan mereka. Wajah mereka dipenuhi ketakutan, dan mereka mempercepat langkah begitu melewati kelompok Caelum.
Idris terkikik. "Mereka pasti mengira kita bandit," katanya dengan nada ceria.
Carl menyahut cepat, "Bukan karena kita bertiga. Itu karena wajah serammu, Cael."
Caelum melirik tajam, suaranya penuh sarkasme. "Terima kasih atas pujianmu, Carl. Aku sangat tersentuh."
---
Tiga hari berlalu. Perjalanan terasa membosankan dan monoton. Saat senja mulai tiba, kelompok kecil itu berhenti di tepi hutan untuk mencari tempat berkemah.
Caelum mengangkat tangannya, memberi isyarat agar mereka berhenti. "Diam," katanya dengan nada rendah namun tegas.
Idris menghentikan langkahnya. "Apa yang kau lihat, Cael?" bisiknya.
Caelum menunjuk ke arah semak-semak di dekat mereka. "Orc. Kira-kira enam belas ekor."
Carl menelan ludah. "Kita bisa menghindari mereka, bukan? Maksudku, tidak perlu membuat masalah..."
Namun, sebelum Carl selesai berbicara, Caelum sudah mencabut pedangnya dan menerjang ke arah kawanan orc yang sedang menikmati bangkai goblin.
"Dia benar-benar psikopat," gumam Carl sambil mencabut pedangnya.
Idris tertawa keras sambil berlari mengikuti Caelum. "Demi rakyat tak berdaya, Tuan Carl!" serunya.
"Lebih seperti demi hiburan Cael yang sedang bosan kan," jawab Carl dengan kesal sebelum ikut bergabung dalam pertarungan.
---
Pertempuran berlangsung cepat dan brutal. Caelum menebas dua orc sekaligus dengan satu ayunan pedangnya. Darah hijau gelap menyembur, membasahi tanah. Idris melompat ke belakang satu orc besar, menusukkan belatinya ke leher makhluk itu dengan presisi mematikan.
Sementara itu, Carl lebih banyak menghindar dan mengeluh. "Kenapa aku harus melakukan ini? Aku bukan tukang bersih-bersih orc!"
Idris menjawab sambil tertawa. "Kau bisa menyerah kalau mau, Carl. Tapi itu akan membuat kita semua repot."
Pertarungan selesai dalam waktu singkat. Kawanan orc terkapar di tanah, sementara Caelum berdiri di tengah tumpukan mayat, matanya memperhatikan jejak kaki di tanah.
Carl mendesah panjang. "Kita sudah selesai, kan? Bisa kita lanjutkan perjalanan sekarang?"
Namun, Caelum hanya tersenyum tipis. "Jejak ini sepertinya mengarah ke sarang mereka. Kita harus menyelesaikan ini."
Carl mendesah lagi. "Tentu saja. Karena ini semua demi hiburanmu."
---
Ketika mereka tiba di sarang orc, matahari sudah hampir tenggelam. Di luar gua, beberapa orc berkeliaran, tetapi mereka perlahan masuk ke dalam. Setelah semuanya masuk, suasana menjadi sunyi.
Carl memandang gua itu dengan jijik. "Kenapa kita tidak bakar saja tempat ini? Seperti kau membakar hutan Arovia dulu."
Caelum menatap Carl dengan dingin, suaranya tajam. "Mungkin ada harta di dalamnya."
Carl langsung membuang wajah, menyesal telah menyebut insiden hutan Arovia.
Idris memotong ketegangan. "Jadi, apa rencananya?"
Caelum menjelaskan dengan singkat. "Carl, kau ke belakang sarang untuk mencari jalan keluar dan menjaganya. Idris dan aku akan masuk dari pintu depan."
Carl merasa sedikit lega. "Akhirnya, tugas yang tidak terlalu berbahaya."
Idris tersenyum lebar. "Ayo, Cael. Kita mulai pesta ini."
---
Serangan dimulai. Caelum memimpin dengan pedangnya yang bersinar, menebas orc demi orc dengan kecepatan mematikan. Idris bergerak seperti bayangan, menusuk dan memotong musuh dengan gerakan yang halus namun mematikan.
Sementara itu, Carl menjaga pintu belakang, mengeluh setiap kali seekor orc mencoba melarikan diri ke arahnya. "Kenapa mereka tidak bisa tetap di dalam? Aku bukan penjaga pintu!"
Pertempuran berlangsung hampir setengah jam. Saat akhirnya semua orc dikalahkan, tubuh mereka yang besar dan menjijikkan berserakan di seluruh gua.
Caelum mulai mengumpulkan barang-barang berharga yang ditemukan di dalam sarang. "Lumayan. Ini cukup untuk membayar makan Aeris beberapa minggu."
Sementara itu, Idris berlutut di depan mayat-mayat korban, berdoa pelan. "Semoga Nex memberi mereka kedamaian."
Carl hanya mendesah. "Dan sekarang kita harus tidur di tempat yang bau dan keras ini."
Caelum menjawab dengan nada sarkastik. "Kalau tidak suka, tidurlah di luar bersama serigala."
Idris hanya tertawa sambil memutar daging di atas api.
Malam berlalu dengan cepat. Ketika matahari terbit, Carl terbangun dan mendapati Caelum duduk di dekat api, menatapnya dengan senyum menyebalkan.
"Selamat pagi, Orc," ejek Caelum.
Idris tertawa terbahak-bahak.
Carl mendengus kesal, tetapi aroma daging panggang menarik perhatiannya.
Namun, sebelum ia bisa meraih makanan, Caelum menghentikannya. "Jam sepuluh pagi. Kau tidak berburu, tidak membuat api, dan tidak memotong daging ini. Jadi, kau tidak boleh makan."
Carl memandangnya dengan marah. "Tidak adil! Kenapa aku tidak dibangunkan untuk berburu?"
Idris menyodorkan daging padanya sambil tertawa. "Ambil saja, Carl. Tidak perlu berdebat dengan Cael."
Untuk pertama kalinya, Carl melihat Idris dengan penuh rasa syukur. "Kau benar-benar malaikat. Tidak seperti iblis pelit itu."
Caelum mendengus kesal. "Hah, teruskan saja makanmu, Tuan Orc."
---
Perjalanan dilanjutkan setelah mereka menyiapkan kuda. Namun, belum jauh mereka berjalan, Caelum menghentikan kudanya dan menatap kedua rekannya.
Carl dan Idris saling memandang bingung. "Apa lagi sekarang?" tanya Carl.
Caelum memandang langit. "Ini sudah Desember."
Idris mengerutkan alis. "Lalu? Apa masalahnya dengan Desember?"
Carl mengejek. "Apa kau takut salju?"
Caelum mendengus. "Bukan itu, bodoh. Ulang tahun Aeris akhir Desember."
Carl dan Idris saling melirik sebelum mengejek bersamaan. "Oh, jadi kau ingin membelikan hadiah untuk anak kesayanganmu?"
Caelum mengabaikan mereka, tetapi kilatan di matanya memberi tahu bahwa ia memiliki rencana lain.
Idris bertanya, "Lalu, kita akan ke mana?"
Caelum tersenyum penuh arti. "Lembah Karath."
Keduanya terdiam, wajah mereka berubah serius.
"Apa maksudmu lembah Karath?" tanya Idris dengan hati-hati.
Caelum tetap tersenyum tipis. "Kita akan berburu."
Carl mendesah panjang. "Kenapa dari semua tempat, harus ke lembah itu..."
---