Chereads / Bloodstained Oath / Chapter 1 - Api dan Sumpah

Bloodstained Oath

🇮🇩Yue_Noxaris
  • 14
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 3.3k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Api dan Sumpah

Malam Kebangkitan

Bulan yang menggantung di atas Liraeth tampak seperti pengamat diam, terbungkus selubung keperakan yang meresapi malam. Cahaya samar-samar yang dipantulkannya menciptakan bayangan panjang di jalan-jalan sempit, menyelimuti kota kecil itu dalam ilusi kedamaian. Namun, harmoni ini rapuh, seperti kaca tipis yang sebentar lagi pecah.

Di kejauhan, nyala api pertama menjulang seperti ular surgawi yang terbangun dari tidurnya. Kilatan merah keemasan menerangi langit, sebuah peringatan bagi mereka yang masih terlelap dalam kenyamanan palsu. Sejurus kemudian, teriakan memecah keheningan, seperti lolongan duka yang menyerukan akhir sebuah era.

Di rumah kecil di pinggir kota, Caelum terbangun dari tidur lelapnya, bukan oleh suara, tetapi oleh perasaan aneh—rasa dingin yang menembus tulangnya. Ia tidak tahu apa yang mendorongnya untuk bangun hingga suara pintu kamarnya terbuka dengan kasar.

"Caelum!" Suara ibunya, Lorienne, menggelegar, seperti lonceng yang menggema di lorong-lorong kosong.

Ia bergegas keluar, masih belum sepenuhnya sadar dari tidur, hanya untuk melihat bayangan ibunya berdiri dengan postur kaku, diterangi cahaya berpendar dari luar. Wajah Lorienne, biasanya lembut dan penuh kasih, kini menampilkan garis-garis keras yang mencerminkan rasa takut yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya.

"Kita harus pergi sekarang." Tangannya meraih pergelangan Caelum, dingin dan gemetar, seperti batu yang baru saja diangkat dari air sungai yang membeku.

Mereka bergegas keluar rumah, hanya untuk menemukan jalan-jalan Liraeth telah berubah menjadi arena mimpi buruk. Bangunan-bangunan yang akrab bagi Caelum—tempat ia bermain, tertawa, dan bermimpi—kini menjadi abu, diselimuti jilatan api yang menggila. Pasukan Kekaisaran Valderion melangkah di antara kehancuran, bagaikan entitas yang tak terganggu oleh keindahan atau kemanusiaan.

Lorienne memimpin Caelum menyusuri gang-gang sempit, di mana kegelapan berbaur dengan asap yang membumbung. Tapi harapan mereka untuk melarikan diri dipatahkan oleh bayangan hitam yang muncul di ujung jalan. Seorang prajurit Kekaisaran berdiri di sana, sosoknya tampak lebih besar dari manusia biasa di balik baju zirah hitam yang berkilauan. Pedang panjang di tangannya berkilat memantulkan cahaya api, sebuah alat penghukum yang dingin dan tanpa ampun.

"Lari, Caelum!" Lorienne berkata dengan suara yang lebih tajam daripada teriakan sebelumnya.

Namun, Caelum membeku. Ia tidak mampu bergerak, tubuhnya seperti terperangkap oleh kekuatan tak kasat mata. Ia hanya bisa menyaksikan, seperti penonton di teater yang dipaksa menyaksikan tragedi paling kelam.

Lorienne melangkah maju, membawa dirinya ke dalam bahaya tanpa ragu sedikit pun. Di tangannya, hanya sebuah tongkat kayu tua—tidak lebih dari simbol perlawanan sia-sia di hadapan kekuatan baja dan kekejaman. Tapi itu cukup untuk membuat prajurit Kekaisaran menghentikan langkahnya, setidaknya untuk sekejap.

Pertarungan singkat itu berakhir seperti yang sudah ditakdirkan. Pedang panjang prajurit itu menembus tubuh Lorienne, darahnya menyembur seperti tinta yang menggores kanvas malam. Tubuhnya jatuh ke tanah, suaranya nyaris tak terdengar di tengah kobaran api yang mengamuk.

"Tidak!" Jeritan Caelum mengoyak malam, melampaui batas-batas suara dan menjadi sesuatu yang lebih mendalam. Itu adalah jeritan yang membawa keputusasaan, kebencian, dan sumpah yang belum terucapkan.

Namun, Lorienne, di napas terakhirnya, masih memikirkan anaknya. Bibirnya yang berdarah berbisik pelan, "Pergilah, nak... hiduplah..."

Dengan hati yang hancur dan air mata yang tak terbendung, Caelum memaksa dirinya untuk berlari, seperti yang diperintahkan. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti duri yang menancap lebih dalam di jiwanya. Di belakangnya, Liraeth terus dilalap api, dan teriakan-teriakan yang tersisa menjadi harmoni suram yang akan menghantui mimpinya selamanya.

Ketika ia akhirnya mencapai hutan di luar kota, tubuhnya menyerah. Ia jatuh berlutut di tanah berlumpur, napasnya tersengal, dan pikirannya penuh dengan bayangan Lorienne. Namun, di tengah kegelapan yang meliputinya, sesuatu di dalam dirinya berubah.

Rasa sakit yang ia rasakan berangsur-angsur berubah menjadi sesuatu yang lebih tajam, lebih dingin, dan lebih abadi. Sebuah nyala api kecil menyala dalam dirinya, jauh lebih berbahaya daripada api yang menghancurkan Liraeth.

"Demi ibu... demi Liraeth..." katanya dengan suara rendah, hampir seperti bisikan yang ditujukan kepada malam itu sendiri.

Kemudian, ia mendongak ke langit, di mana bulan kini tampak seperti lubang menganga yang mengintip ke neraka. Dengan mata yang penuh dengan tekad baru, ia berkata, "Aku akan membalas dendam. Dunia ini akan mengenal rasa sakit."

Dan dengan kata-kata itu, seorang anak berubah menjadi benih kebencian. Api yang membakar Liraeth telah padam, tetapi api di dalam Caelum baru saja dinyalakan—api yang tidak akan pernah padam sampai ia menghancurkan semuanya.