Chereads / Bloodstained Oath / Chapter 3 - Awal perjalanan besar

Chapter 3 - Awal perjalanan besar

Perjalanan Keperbatasan

Langit kelabu menggantung rendah di atas dataran Elaria, seolah-olah meratapi mereka yang terjebak di bawahnya. Angin dingin berdesir, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk. Di kejauhan, batas hutan yang gelap tampak seperti gerbang menuju dunia lain, dunia yang penuh dengan kegelapan dan keputusasaan. The Crimson Blades bergerak tanpa suara, kaki-kaki mereka menjejak tanah dengan langkah penuh kehati-hatian.

Di depan, Raedan melambatkan langkah, matanya menyapu medan sekitar. Ia mengangkat tangan, memberi isyarat agar pasukan berhenti. "Kita istirahat di sini," ujarnya singkat, suaranya nyaris tertelan oleh suara gemerisik angin yang menerobos celah pepohonan.

Carl, salah satu kapten mereka, segera mendekat. "Istirahat? Di sini?" tanyanya, nada suaranya penuh ketidaksetujuan. "Kita terlalu terbuka. Jika ada penyergapan—"

Raedan menatap Carl dengan tajam, matanya penuh otoritas yang tidak perlu dijelaskan lebih lanjut. "Aku yang memberi perintah di sini, Carl. Kita berhenti, dan itu final."

Carl mendengus, tapi tidak berani membantah lebih jauh. Ia melangkah mundur, matanya sempat melirik ke arah Caelum yang duduk di batang pohon tumbang, menyendiri. Ada sesuatu dalam tatapan Carl—sebuah kecurigaan yang tidak sepenuhnya disembunyikan.

---

Sore itu, The Crimson Blades mulai melepas beban mereka. Torren sibuk menyalakan api unggun, sementara Elira duduk di dekat pohon, memeriksa anak panahnya satu per satu. Ia melakukannya dengan sangat teliti, seolah-olah itu adalah ritual suci. Di kejauhan, Caelum masih duduk sendirian, mengasah pedangnya dengan perlahan. Setiap gesekan batu asah melawan bilah baja menghasilkan suara yang tajam, nyaris menghantui.

"Caelum," suara lembut Elira memecah keheningan. Ia mendekat dengan membawa sekantong kecil berisi makanan. "Kau sudah makan?"

Caelum menggeleng tanpa melihat ke arahnya.

Elira duduk di sampingnya, menyerahkan sepotong roti dan daging kering. "Kau harus makan," katanya, nada suaranya terdengar lembut tapi tegas. "Kalau terus begini, kau akan kehabisan tenaga sebelum bertempur lagi."

Setelah beberapa saat ragu, Caelum akhirnya mengambil makanan itu. "Terima kasih," gumamnya pelan.

"Aku hanya tidak ingin kehilangan seseorang yang membuat Carl terlihat bodoh," Elira menambahkan sambil tersenyum kecil.

Untuk sesaat, bibir Caelum nyaris melengkung ke atas, tapi ia menahan diri. "Kenapa kau selalu bisa bersikap begitu santai?" tanyanya, mencoba mengalihkan pikirannya dari bayangan kelam yang menghantuinya.

"Karena seseorang harus begitu," jawab Elira tanpa ragu. "Kalau tidak, siapa yang akan menjaga agar kita semua tidak kehilangan akal?"

---

Ketika malam jatuh, kegelapan menyelimuti kamp mereka. Anggota The Crimson Blades berkumpul di sekitar api unggun, wajah-wajah mereka diterangi oleh cahaya oranye yang menari di atas kayu yang terbakar. Raedan berdiri di tengah lingkaran, suaranya menggema di tengah heningnya malam.

"Karavan Kekaisaran ada di dekat perbatasan," katanya. "Mereka membawa senjata, makanan, dan dokumen penting. Jika kita berhasil menghentikan mereka, itu akan menjadi pukulan besar bagi Valderion."

Keraguan menyebar di antara pasukan. Carl, seperti biasa, menjadi suara skeptis. "Dan bagaimana kita menghadapi Black Guard? Pasukan biasa saja sudah cukup buruk, tapi mereka? Mereka adalah algojo di medan perang."

Raedan menatap Carl dengan dingin. "Kita tidak punya pilihan. Kita menghadapi mereka, atau kita akan mencoreng kontrak yang telah di beri segel di Eldoria.

Hening sejenak, sebelum akhirnya Daryn, salah satu petarung paling berpengalaman mereka, bergumam kepada Caelum, "Kau belum pernah melawan mereka, kan?"

"Belum," jawab Caelum singkat.

Daryn menatapnya serius. "Mereka bukan manusia biasa. Jika kau ragu, kau mati. Dan jika kau mati, kita semua ikut mati."

Kata-kata itu terngiang di kepala Caelum bahkan setelah pembicaraan usai. Ia tidak takut pada Black Guard, tapi ia tahu bahwa mereka bukanlah lawan yang bisa diremehkan.

---

Saat malam semakin larut, suasana kamp menjadi sunyi. Sebagian besar anggota telah tertidur, tapi Caelum tetap terjaga. Ia duduk di tepi kamp, matanya menatap api unggun yang meredup. Bayangan masa lalunya kembali muncul, menghantui pikirannya seperti hantu yang tidak pernah pergi. Ia teringat wajah ibunya, suara tangisnya, dan darah yang mengalir di atas tanah kota mereka.

"Masih terjaga?" suara Raedan memecah lamunannya.

Caelum mendongak. Pemimpin mereka berdiri dengan membawa botol kecil berisi anggur. Tanpa menunggu jawaban, Raedan duduk di sampingnya dan membuka botol itu.

"Dengar, Caelum," kata Raedan setelah beberapa teguk. "Aku tahu apa yang kau rasakan. Dendam, amarah, keinginan untuk menghancurkan Kekaisaran. Aku mengenal rasa itu. Tapi aku juga tahu bahwa itu bisa menjadi kelemahan."

Caelum menatap Raedan, mencoba memahami maksud pria itu. "Dendam adalah satu-satunya alasan aku masih hidup."

Raedan mengangguk perlahan. "Dan itulah yang membuatmu berbahaya. Tapi ingat ini, dendam adalah pedang bermata dua. Jika kau tidak berhati-hati, ia akan melukai dirimu lebih dalam daripada musuhmu."

Kata-kata itu terasa seperti tamparan bagi Caelum. Tapi ia tidak membantah. Sebagian dari dirinya tahu bahwa Raedan benar, meskipun ia tidak mau mengakuinya.

---

Keesokan paginya, The Crimson Blades melanjutkan perjalanan mereka. Kabut tebal menyelimuti jalan setapak yang mereka lewati, memberikan suasana yang hampir tidak nyata. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah mereka sedang menuju ke arah kehancuran yang tak terhindarkan.

Di depan, Raedan memimpin dengan tatapan yang penuh tekad. Sementara itu, Caelum berjalan di belakang, pikirannya penuh dengan bayangan pertempuran yang akan datang. Matahari pagi mulai terbit, menyinari wajahnya yang tegas. Tapi di balik tatapan dinginnya, ada perang yang berkecamuk di dalam dirinya—perang antara dendam, harapan, dan rasa takut akan kegagalan.

Dalam kesunyian itu, ia menyadari satu hal: apa pun yang terjadi, ia tidak boleh mundur. Ia telah memilih jalannya, dan tidak ada yang bisa mengubah itu.