Chereads / Bloodstained Oath / Chapter 2 - Bayangan Merah

Chapter 2 - Bayangan Merah

Beberapa tahun telah berlalu sejak Liraeth terbakar dalam amukan api. Namun, bagi Caelum, malam itu tidak pernah benar-benar berlalu. Dalam kegelapan tidur, setiap suara jeritan, nyala api yang melahap, dan wajah ibunya yang terakhir kali dilihatnya terus menghantuinya. Itu bukan sekadar kenangan; itu adalah luka yang menolak sembuh, mengakar dalam hingga menyatu dengan jiwa.

Di padang rumput yang dikelilingi reruntuhan tua, angin berhembus membawa aroma tanah basah. Di sana, sekelompok kecil tentara bayaran bergerak dengan langkah penuh kewaspadaan. Mereka dikenal sebagai The Crimson Blades, bayang-bayang maut yang ditakuti di banyak wilayah. Di antara mereka, seorang remaja berdiri sedikit terpisah. Matanya yang hitam pekat menelusuri setiap gerakan rerumputan tinggi. Pandangan itu dingin, seperti malam tanpa bintang, menahan sesuatu yang tidak bisa dipahami oleh orang biasa.

"Caelum," suara berat Raedan Vorthras, pemimpin kelompok itu, memecah keheningan. "Jangan biarkan pikiranmu melayang. Di misi, kelalaian sekecil apa pun berarti kematian."

Caelum tidak menjawab, hanya mengangguk pelan. Ia tahu Raedan benar. Pria tua itu telah membentuknya selama beberapa tahun terakhir—mengajarinya seni bertahan hidup, dari cara mengayunkan pedang hingga membaca gerakan musuh dan memimpin pasukan. Tapi pelajaran terpenting yang ia pelajari bukan berasal dari Raedan, melainkan dari dendamnya sendiri. Luka itu, luka yang menghitamkan hatinya, adalah alasan ia tetap hidup.

"Fokus," lanjut Raedan. "Kita di sini untuk satu tujuan: memburu Dire Wolf yang telah meneror desa-desa ini. Makhluk seperti itu tidak bisa diremehkan."

Kelompok itu bergerak memasuki hutan. Langit di atas mereka mulai berubah kelam, dan bayangan pohon-pohon tinggi berayun seperti tangan hantu. Di bawah kegelapan ini, suara menjadi lebih tajam, setiap gemerisik daun terasa seperti peringatan.

"Jejak baru," gumam Elira Primrose, seorang pemanah dengan rambut pirang pendek, sambil menunjuk tanah. Suaranya yang biasanya ceria berubah serius. "Makhluk itu tidak jauh."

Daryn Brookstone, pemuda bertubuh besar yang berdiri di sebelah Caelum, menyentuh batang pohon yang terkoyak. Bekas cakaran panjang yang tertanam dalam kulit kayu menjadi bukti kehadiran sang predator. "Aku rasa kita sudah terlalu dekat."

Caelum mencengkeram gagang pedangnya lebih erat. Dalam hatinya, ada ketegangan, tetapi itu tidak asing baginya. Ia telah melihat banyak kematian sejak bergabung dengan The Crimson Blades. Namun, kali ini berbeda. Ini adalah pertama kalinya ia menghadapi Dire Wolf, dan tidak ada ruang untuk kesalahan.

Dari balik semak belukar, suara geraman rendah terdengar, diikuti oleh getaran halus di tanah. Mata merah besar muncul dari kegelapan, bersinar dengan kebencian binatang buas. Tubuh berbulu kelabu sebesar kuda melangkah keluar, setiap ototnya tegang seperti busur yang siap dilepaskan.

"Formasi!" perintah Raedan dengan nada tegas.

Caelum bergerak mengikuti instruksi, namun sesuatu dalam dirinya mendesak untuk lebih. Ia mengamati Dire Wolf itu dengan mata yang tajam, mencari celah, mencari kesempatan. Ketika makhluk itu menyerang Raedan dengan kecepatan luar biasa, Caelum bergerak sebelum berpikir. Pedangnya meluncur ke samping, menggores kaki belakang Dire Wolf. Darah hitam mengalir, namun tidak cukup untuk melumpuhkan.

"Bodoh!" teriak Daryn, yang berusaha menutup celah di formasi.

Namun, Raedan hanya menyeringai tipis. "Keberanianmu itu bodoh, tapi aku bisa menghargainya."

Dire Wolf itu berbalik, mata merahnya menatap Caelum dengan kebencian murni. Makhluk itu melompat ke arahnya, mulutnya yang dipenuhi taring terbuka lebar. Dalam sekejap, waktu seolah melambat. Caelum melihat kembali malam itu di Liraeth, ketika ia melarikan diri dari api dan kematian. Tapi kali ini, ia tidak melarikan diri. Ia mengangkat pedangnya, mengayunkannya langsung ke tenggorokan Dire Wolf.

Raungan terakhir makhluk itu menggema di udara sebelum tubuh besarnya jatuh ke tanah dengan suara berdebum. Hening menyelimuti hutan.

Caelum berdiri di atas tubuh tak bernyawa Dire Wolf, darah segar menetes dari pedangnya. Tubuhnya gemetar, bukan karena ketakutan, tapi karena perasaan yang aneh—rasa puas yang hampir menyerupai kesenangan.

---

Malam itu, mereka kembali ke desa kecil tempat mereka mendapatkan misi. Para penduduk desa menyambut mereka dengan sorak-sorai dan rasa syukur. Tapi bagi Caelum, itu semua terasa hampa. Wajah-wajah itu, senyuman mereka, hanya mengingatkannya pada keluarganya sendiri—orang-orang yang tak bisa ia selamatkan.

"Elira, pastikan tidak ada lagi Dire Wolf di sekitar," kata Raedan sambil menerima pembayaran dari para tetua desa.

Caelum mengamati dari kejauhan, matanya menangkap setiap detail. Desa ini mengingatkannya pada Liraeth, dengan rumah-rumah kayu kecil dan penduduk yang tampak terlalu lemah untuk melawan dunia luar. Sekali lagi, ia merasakan dadanya sesak, bukan karena iba, tapi karena frustrasi.

"Kau memikirkan sesuatu, bukan?" tanya Daryn, yang tiba-tiba berdiri di sampingnya. "Desa ini... terlalu familiar, ya?"

Caelum tidak menjawab, tapi tatapan matanya cukup menjelaskan.

"Aku dulu juga seperti itu," lanjut Daryn. "Melihat desa-desa yang kita selamatkan, hanya untuk tahu bahwa mereka tidak akan bertahan lama. Perang, monster, atau bencana akan selalu datang. Tidak ada yang benar-benar aman."

Kata-kata itu menghantui Caelum sepanjang malam. Di tempat tidur kayu yang sempit, ia tidak bisa tidur. Bayangan Dire Wolf yang tergeletak di tanah terus muncul di benaknya, tapi itu bukan karena trauma. Itu adalah kepuasan yang menakutkan, rasa senang karena telah memenangkan pertempuran. Dan untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa ia menginginkan lebih. Bukan hanya kemenangan, tapi kehancuran mereka yang telah merenggut segalanya darinya.

Saat fajar menyingsing, The Crimson Blades meninggalkan desa. Caelum berjalan di belakang, matanya tertuju pada bayangan desa yang perlahan memudar di kejauhan. Di dadanya, dendam itu membakar lebih terang, menuntunnya ke arah yang hanya ia sendiri yang mengerti.

"Aku akan menghancurkan mereka semua," bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya hampir tidak terdengar. Tapi di dalam hatinya, itu adalah janji yang tidak akan ia ingkari.