Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Seven Footsteps of Fate (Indonesia)

BarryZand
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
2k
Views
Synopsis
Sinopsis Hari itu dimulai seperti pagi-pagi biasa bagi Haruto dan teman-temannya. Sebagai siswa kelas akhir, mereka tengah menghadapi tekanan ujian yang kian mendekat. Haruto, bersama saudara kembarnya, Aoi, serta keponakan mereka, Kaito dan Riku, bersiap menuju sekolah. Kehidupan mereka berjalan tenang, meskipun kadang diwarnai candaan khas Kaito dan Riku yang sering membuat suasana jadi ceria. Ren dan Souta, sahabat Haruto, tinggal di desa dan kota sebelah. Meski begitu, mereka tetap dekat, sering kali berbagi cerita dan canda tawa saat berkumpul. Hari itu, seperti biasa, Haruto menitipkan Itsuki, adik angkatnya, pada kakak jauh mereka, orang tua Kaito dan Riku, yang tinggal bersebelahan. Namun, hari yang dimulai dengan rutinitas biasa segera berubah menjadi awal petualangan tak terduga. Setelah ujian selesai, mereka bertemu Itsuki yang kebetulan berada didekat sana. Dan tiba-tiba sebuah cahaya muncul, membentuk sebuah lingkaran portal. Dalam sekejap, cahaya portal menyelimuti mereka, menarik mereka ke dalam lorong berkilau yang entah membawa mereka kemana. Ketika mereka membuka mata, mereka berada di tengah hutan raksasa yang dipenuhi pohon-pohon besar menjulang tinggi, suasana magis menyelimuti tempat itu. Namun, hal yang paling mengejutkan adalah perubahan yang terjadi. Haruto, kini menjadi seorang wanita dan Riku juga mengalami hal yang sama. Kebingungan dan keheranan menyelimuti mereka. Haruto berusaha menenangkan kelompoknya, sementara Kaito dengan antusias mencoba memahami situasi. Aoi, Souta dan Ren, meski terkejut, tetap berusaha menjaga ketenangan. Haruto, seperti biasa, menjadi pemimpin logis yang membantu mereka berpikir jernih. Di tengah semua itu, adik kecil Haruto, Itsuki, tetap polos dan ceria, meski jelas ia tak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi. Petualangan mereka baru saja dimulai, dengan begitu banyak misteri yang menunggu untuk diungkap di dunia baru yang asing ini. Di sinilah kisah mereka bermula, di dunia yang penuh keajaiban, tantangan, dan mungkin... takdir yang akan mengubah hidup mereka selamanya.
VIEW MORE

Chapter 1 - Kehidupan Sehari-hari

Matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai jendela, menyinari kamar Haruto Takayama yang berantakan. Buku pelajaran, kabel-kabel elektronik, dan perangkat komputer tersebar di berbagai sudut. Di tengah kekacauan itu, alarm ponsel berbunyi keras, memecah keheningan pagi.

Dengan gerakan malas, Haruto mematikan alarm itu dan kembali menutupi wajahnya dengan bantal. "Lima menit lagi..." gumamnya pelan. Namun, ketukan keras di pintu membuatnya terpaksa bangun.

"Onii-sama! Kau mau terlambat lagi, ya?" Suara tegas Aoi, adik kembarnya, terdengar dari luar.

Haruto mengerang. "Iya, iya, aku bangun," jawabnya dengan nada malas.

Namun, pintu itu terbuka dengan keras. Aoi berdiri di ambang pintu dengan tangan di pinggang. "Aku sudah menyiapkan sarapan. Jangan sampai dingin!" katanya sambil melirik kamar Haruto yang berantakan. "Dan bersihkan kamarmu ini! Bagaimana kalau ada tamu yang datang?"

"Siapa yang mau datang pagi-pagi begini?" Haruto menggerutu sambil menggaruk kepalanya.

Setelah mandi dan mengenakan seragam sekolah, Haruto menuju ruang makan. Aroma nasi goreng buatan Aoi memenuhi ruangan. Ia duduk sambil menuangkan teh hangat.

"Kau benar-benar seperti ibu rumah tangga, Aoi," goda Haruto sambil menyendok nasi ke mulutnya.

Aoi mendengus. "Kalau aku tidak mengurusmu, kau pasti akan kelaparan setiap hari."

Mereka baru saja selesai sarapan ketika pintu depan terbuka keras.

"Paman Haruto!" Dua suara berisik menggema, diikuti langkah kaki cepat.

Riku dan Kaito Tanaka, keponakan Haruto, masuk dengan penuh semangat.

"Apa lagi sekarang?" Haruto mendengus, menatap mereka dengan ekspresi datar.

"Kau lupa? Kita harus berangkat bersama!" seru Riku.

"Kami bahkan membawakanmu hadiah," tambah Kaito sambil mengangkat kantong plastik berisi makanan ringan.

Haruto memutar bola matanya. "Berapa kali kubilang, jangan panggil aku paman, anak kecil!"

"Tapi kau memang seperti paman tua," balas Riku sambil tertawa.

"Benar! Bahkan wajahmu seperti pria paruh baya," tambah Kaito dengan nada menggoda.

Haruto mendengus, mengambil gulungan kertas yang ada di meja, dan menimpuk kepala mereka. "Keluar kalau hanya mau mengganggu!"

Namun, kedua keponakannya hanya tertawa lebih keras. Aoi yang menyaksikan adegan itu menggelengkan kepala sambil tersenyum.

Setelah drama pagi itu, Haruto, Aoi, Riku, dan Kaito akhirnya berangkat menuju sekolah. Jalanan desa yang mereka lalui dipenuhi pemandangan asri—ladang hijau, sungai kecil yang mengalir dengan gemericik air, serta burung-burung yang berkicau riang.

"Apa kau sudah mengerjakan tugas matematika, Onii-sama?" tanya Aoi sambil berjalan di samping Haruto.

Haruto mendesah. "Tentu saja belum. Aku sibuk dengan proyek robotik semalam."

"Robotik lagi? Apa kau tidak bosan dengan semua itu?" cibir Kaito yang berjalan di depan mereka sambil memainkan buku sketsanya.

"Bagiku, teknologi itu seni," jawab Haruto sambil menyeringai. "Sama seperti kau dengan gambar-gambarmu."

Riku, yang tampaknya bosan dengan pembicaraan itu, tiba-tiba melompat ke depan. "Hei, bagaimana kalau kita berlomba ke gerbang sekolah? Yang kalah harus membelikan es krim untuk yang lain!"

"Dasar anak kecil," komentar Haruto, tapi sebelum ia sempat menolak, Riku sudah berlari.

"Aku tidak mau kalah!" teriak Kaito sambil mengejar Riku.

Aoi tertawa kecil. "Mereka benar-benar tidak pernah berubah."

"Aku akan jalan santai saja," kata Haruto sambil memasukkan tangannya ke dalam saku.

Namun, Aoi tidak mau kalah. "Kalau begitu, aku yang menang!" katanya sebelum mulai berlari menyusul kedua keponakan mereka.

Haruto menggelengkan kepala, tapi ia tidak bisa menahan senyum. Kehidupan sehari-hari mereka mungkin penuh kekonyolan, tetapi itu adalah hal yang membuat semuanya berwarna.

---

Di Sekolah

Ketika Haruto tiba di sekolah, ia langsung menuju kelasnya. Ruang kelas itu sudah penuh dengan suara obrolan teman-temannya. Di pojok ruangan, Souta Nakamura, sahabatnya yang seorang otaku sejati, sedang membaca manga terbaru.

"Haruto, kau harus lihat ini!" Souta melambai dengan antusias. "Ceritanya tentang seorang penyihir yang terjebak di dunia modern. Kau pasti suka!"

Haruto mendekati Souta dan melihat sampul manga itu. "Hmm, sepertinya menarik. Tapi aku tidak punya waktu untuk membaca sekarang."

"Ah, kau selalu sibuk dengan hal-hal membosankan," keluh Souta sambil kembali tenggelam dalam dunianya sendiri.

Di sisi lain, Ren Nishikawa, sahabat Haruto yang lebih serius, sedang mencatat sesuatu di buku agendanya. "Jangan lupa rapat klub nanti sore," katanya dengan nada lembut tapi tegas.

Haruto mengangguk. "Aku ingat. Apa agenda rapat kali ini?"

"Kita harus memutuskan tema untuk festival sekolah," jawab Ren sambil menutup agendanya. "Aku berharap kau tidak lupa lagi seperti tahun lalu."

Haruto hanya tersenyum kecut. Ia tahu Ren benar-benar serius soal tanggung jawab.

Jam makan siang tiba, dan Aoi muncul di depan kelas Haruto sambil membawa kotak makan.

"Onii-sama, kau pasti lupa membawa bekal lagi, kan?" katanya sambil menyerahkan kotak makan itu.

Beberapa teman sekelas Haruto yang melihat adegan itu langsung berkomentar.

"Adikmu benar-benar sempurna, Haruto."

"Dia bahkan membawakan bekal untukmu. Aku iri!"

Namun, Haruto hanya tersenyum kecil. Ia tahu bahwa di balik sikap anggunnya, Aoi memiliki sisi tomboy yang tidak diketahui banyak orang.

"Terima kasih, Aoi," kata Haruto sambil menerima kotak makan itu.

Aoi tersenyum sebelum pergi. "Jangan lupa makan semuanya, ya."

Sore itu, Haruto, Souta, dan Ren berkumpul di ruang klub pecinta alam. Ruangan itu sederhana, dihiasi dengan peta gunung, foto kegiatan pendakian, dan berbagai peralatan seperti tali temali, kompas, serta ransel yang tergantung di dinding.

"Baiklah, kita harus memutuskan tema untuk kegiatan festival sekolah," kata Ren, yang memimpin rapat dengan gaya khasnya yang serius.

Souta, yang duduk di sudut sambil memainkan pisau lipat, mengangkat tangan. "Bagaimana kalau kita membuat simulasi camping? Kita bisa mendirikan tenda di lapangan sekolah dan menunjukkan cara bertahan hidup di alam liar."

"Itu ide yang bagus," kata Haruto sambil mengetuk-ngetuk pena di meja. "Tapi kita perlu sesuatu yang lebih menarik. Mungkin kita bisa mengadakan lomba orientasi medan atau semacamnya?"

Ren mencatat kedua ide itu di buku agendanya. "Kita juga harus memikirkan bagaimana melibatkan siswa lain yang bukan anggota klub. Kalau terlalu teknis, mereka mungkin akan bosan."

"Kalau begitu, kita bisa membuat pos-pos tantangan," usul Souta. "Misalnya, ada pos membuat api unggun, pos mendirikan tenda, dan pos memasak makanan darurat."

"Dan di akhir kegiatan, kita bisa mengadakan acara api unggun bersama," tambah Haruto.

Ren mengangguk. "Ide ini cukup masuk akal. Tapi kita harus memastikan semua peralatan tersedia dan aman digunakan."

Saat mereka sibuk berdiskusi, pintu ruang klub terbuka. Aoi masuk dengan membawa sebotol air mineral. "Aku mendengar kalian sedang rapat. Apa aku boleh bergabung?"

"Tentu saja," jawab Ren. "Kami bisa menggunakan bantuan tambahan."

Aoi duduk di samping Haruto. "Kalau aku boleh usul, bagaimana kalau kalian juga menambahkan sesi edukasi tentang pelestarian lingkungan? Misalnya, cara mendaur ulang sampah atau menjaga kebersihan saat camping."

"Itu ide yang bagus," kata Ren sambil menambahkan catatan di agendanya. "Kita bisa membuat poster edukasi atau mengundang pembicara dari komunitas lingkungan."

Diskusi berlanjut selama hampir satu jam. Pada akhirnya, mereka memutuskan untuk menggabungkan semua ide menjadi satu kegiatan besar yang mencakup simulasi camping, lomba orientasi medan, dan edukasi lingkungan.

Setelah rapat selesai, Haruto dan Aoi berjalan pulang bersama. Langit sore berubah menjadi gelap, dan lampu-lampu jalan mulai menyala. Ketika mereka melewati rumah Riku dan Kaito, suara tawa Itsuki terdengar dari dalam.

"Sepertinya Itsuki sedang bermain lagi dengan mereka," kata Aoi sambil tersenyum kecil.

Haruto mengangguk. "Dia memang selalu nyaman di sini. Lagipula, paman dan bibi Tanaka memperlakukannya seperti anak sendiri."

Ketika mereka sampai di sana, Itsuki sudah menunggu di depan pintu. Anak kecil itu melambaikan tangan dengan antusias. "Onii-chan! Onee-chan! Selamat datang!"

"Apa kau bersenang-senang di rumah Riku dan Kaito?" tanya Aoi sambil mengacak rambutnya.

Itsuki mengangguk. "Kami bermain kartu, dan aku menang tiga kali!"

Haruto tersenyum tipis. "Kalau begitu, kau harus mengajari kami caranya suatu hari nanti."

Mereka bertiga pulang ke rumah, dan suasana hangat keluarga kembali terasa. Namun, di tengah kebahagiaan itu, Haruto masih merasakan firasat aneh yang tidak bisa ia jelaskan.

"Malam ini terasa berbeda," pikirnya sambil menatap bintang-bintang dari jendela kamar.