Hari mulai siang, sinar matahari menerobos dedaunan, menciptakan bayangan bergerak di atas tanah yang lembap. Setelah latihan kekuatan pagi tadi, tubuh mereka mulai terasa lelah. Keringat bercampur dengan udara hangat membuat suasana menjadi gerah. Tanpa pikir panjang, Souta, Kaito, dan Ren langsung berlari menuju sungai tempat mereka berburu ikan tadi pagi.
"Siapa yang sampai duluan, dia yang menang!" teriak Souta sambil melesat seperti anak panah.
"Aku tidak mau kalah!" balas Kaito, meskipun langkahnya sedikit tertatih karena masih kelelahan.
Ren hanya menggelengkan kepala sambil berjalan santai di belakang mereka. "Dasar bocah," gumamnya, meskipun sudut bibirnya terangkat membentuk senyum kecil.
Sesampainya di sungai, Souta langsung melompat ke dalam air tanpa ragu. Percikan air memercik ke segala arah, membuat Kaito berteriak kesal.
"Hei, hati-hati! Kalau tenggelam, aku tidak akan repot-repot menyelamatkanmu!" seru Ren dengan nada bercanda. Namun, beberapa detik kemudian, ia ikut menceburkan diri, tidak ingin ketinggalan keseruan.
Di sisi lain.
"Sepertinya kita punya sabun, ayo kita mandi bersama" ajak Aoi kepada kelompok wanita, lalu mencari tempat mandi yang lebih tersembunyi. Haruto, atau yang sekarang dikenal sebagai Ai, dan Riku mengikuti Aoi dan Itsuki menuju sebuah aliran air kecil yang terlindung oleh pepohonan rindang.
Namun, di tengah perjalanan, langkah Ai dan Riku terhenti. Keduanya saling memandang dengan ekspresi bingung, seolah-olah pertanyaan besar baru saja menghantam kepala mereka.
"Bagaimana kita mandi?" tanya Ai, suaranya terdengar ragu.
Pertanyaan itu membuat Riku terdiam sejenak, sebelum akhirnya menambahkan dengan nada lebih gelisah, "Dan... bagaimana kita pipis sekarang?"
Aoi, yang berjalan di depan mereka, berhenti mendadak. Ia menoleh dengan ekspresi terkejut, lalu menutup mulutnya dengan tangan untuk menahan tawa. Wajahnya mulai memerah, entah karena malu atau geli.
"Pipis?" Itsuki, yang masih polos, menatap mereka dengan kepala miring. "Kenapa harus bingung? Itu kan gampang."
Ai dan Riku hanya bisa mematung. Pikiran mereka dipenuhi kebingungan tentang bagaimana tubuh baru mereka bekerja. Situasi ini membuat Aoi, meskipun malu, merasa perlu membantu.
"Aku... aku bisa membantu kalian, kalau kalian mau," ujarnya dengan nada pelan. Wajahnya semakin memerah, tetapi ia berusaha tampak percaya diri. "Onii-sama, eh, maksudku, Onee-sama, dan Riku, ayo ikut aku. Aku akan beri kalian tutorial bagaimana cara menjadi wanita!"
Itsuki bertepuk tangan dengan semangat. "Tutorial! Aku suka itu!"
Ai dan Riku saling melirik, lalu mengangguk pasrah. "Baiklah," gumam Ai. "Kami serahkan semuanya padamu, Aoi."
Di bawah naungan pepohonan rindang, aliran air kecil mengalir dengan tenang. Tempat ini tersembunyi di balik semak-semak tinggi, memberikan privasi yang cukup untuk kelompok wanita. Aoi, yang kini berperan sebagai "guru," berdiri dengan tangan menyilang di dada, berusaha terlihat serius meskipun wajahnya masih memerah.
"Baiklah, Onee-sama dan Riku, dengarkan baik-baik. Sebagai wanita, ada banyak hal yang perlu kalian pelajari," kata Aoi, mencoba meniru gaya bicara guru di sekolah.
Ai mengangguk pelan, sementara Riku tampak lebih skeptis. "Jangan terlalu rumit, ya," gumam Riku, matanya melirik Aoi dengan waspada.
"Pertama, dasar-dasar tubuh wanita," kata Aoi sambil menunjuk ke arah mereka dengan serius.
Ia mulai menjelaskan dengan rinci, dari cara menjaga kebersihan tubuh hingga bagian-bagian yang harus lebih diperhatikan. Penjelasannya cukup rinci, membuat Ai dan Riku hanya bisa mengangguk-angguk dengan ekspresi setengah paham.
"Jadi, kita harus lebih sering mandi dan memastikan semuanya bersih?" tanya Ai, mencoba merangkum penjelasan panjang Aoi.
"Benar sekali, Onee-sama!" jawab Aoi dengan semangat.
Riku menghela napas. "Baiklah, kalau itu saja, sepertinya tidak terlalu sulit."
Namun, Aoi belum selesai. Dengan wajah yang lebih serius, ia melanjutkan, "Lalu, ada hal penting lain yang harus kalian ketahui: menstruasi."
Ai dan Riku kompak menyemburkan darah karena mimisan. "Menstruasi?" tanya Riku lemah, wajahnya seakan baru ditinju dengan keras.
Aoi menjelaskan dengan nada pelan, sedikit ragu-ragu, tetapi tetap berusaha memberikan informasi sejelas mungkin. Ia menggambarkan tanda-tanda yang biasanya muncul, cara menangani rasa sakit, dan bagaimana menggunakan pembalut.
"Kami tidak punya pembalut di sini," kata Riku, mencoba mencari celah untuk menghindari pelajaran ini.
"Kalau begitu, kita bisa menggunakan kain sementara," jawab Aoi tegas. "Ini penting. Jangan abaikan!"
Penjelasan ini membuat Ai dan Riku terdiam cukup lama. Mereka mulai menyadari bahwa menjadi wanita lebih rumit daripada yang mereka bayangkan.
"Jadi, kalau tiba-tiba perutku sakit dan ada darah... itu normal?" tanya Ai dengan nada ragu.
Aoi mengangguk. "Ya, itu normal. Tapi jangan khawatir, aku akan selalu ada untuk membantu kalian."
Itsuki, yang sejak tadi mendengarkan dengan penuh perhatian, tiba-tiba bertanya, "Kalau aku jadi wanita, apa aku juga akan menstruasi?"
Semua menoleh ke arahnya. Aoi tersenyum kecil dan mengacak rambut adiknya. "Kamu masih kecil, Itsuki. lagi pula, kamu itu laki-laki."
Itsuki tampak lega. "Syukurlah. Aku tidak mau repot."
Setelah penjelasan panjang itu, Aoi mengakhiri tutorialnya dengan nada mantap. "Dan inilah tutorial bagaimana menjadi wanita 100% ampuh, garansi uang kembali!"
Ai dan Riku hanya bisa bertepuk tangan, menatapnya dengan campuran kagum dan bingung.
Setelah tutorial selesai, mereka mulai mandi. Air yang jernih mengalir di antara bebatuan, menciptakan suara gemericik yang menenangkan. Itsuki langsung bermain air, memercikkan ke arah Aoi.
"Hei, Itsuki! Jangan main air terlalu banyak, nanti kita kehabisan waktu," kata Aoi sambil tertawa kecil.
Ai dan Riku, di sisi lain, mencoba menyesuaikan diri dengan tubuh mereka yang baru. Ai merasa canggung setiap kali melihat bayangannya di permukaan air.
"Onee-sama, kau sekarang benar-benar terlihat seperti kembaranku," kata Aoi tiba-tiba, membuat Ai terkejut.
"Jangan panggil aku Onee-sama lagi. Ai saja cukup," jawab Ai dengan nada pelan, meskipun wajahnya sedikit memerah.
"Aku masih bingung harus memanggilmu apa," ujar Riku sambil mengusap rambutnya yang basah. "Kau masih paman, atau bibi, atau apa sekarang?"
"Cukup panggil aku Ai," tegas Ai sambil melirik Riku dengan tajam.
Percakapan mereka terhenti ketika Itsuki tiba-tiba memercikkan air ke arah mereka semua. "Ayo cepat selesai! Aku lapar!" katanya dengan riang.
Setelah selesai mandi, mereka duduk di tepi sungai, menikmati bekal yang dibawa tadi pagi. Suasana terasa hangat dan akrab, meskipun Ai dan Riku masih terlihat canggung dengan perubahan yang terjadi pada diri mereka.
Sementara itu, di bagian lain sungai, suasana semakin riuh. Souta, Kaito, dan Ren masih asyik berenang dan bermain air. Mereka berlarian di sekitar sungai, kadang menyelam, kadang melompat dari batu ke dalam air dengan penuh semangat. Suara tawa mereka terdengar jelas, meskipun terkadang diselingi dengan teriakan kesal dari Kaito yang tidak bisa menandingi kecepatan Souta dalam berenang.
"Jadi, bagaimana menurut kalian?" tanya Souta sambil berenang mendekati Kaito dan Ren. "Ai sekarang benar-benar mirip Aoi, ya?"
Kaito mengangguk pelan, meskipun ia lebih tertarik pada percakapan lain. "Benar. Aku hampir tidak bisa membedakan mereka, tapi, aku tidak bisa melihat mereka. Apa mereka juga sedang mandi?" jawabnya, matanya sedikit menerawang jauh ke arah tempat wanita yang sedang mandi di tempat rahasia.
Ren mengangkat bahunya. Menyadari betapa rumitnya situasi ini, dia berkata. "Kalian tidak merasa aneh, ya? Ai... dia benar-benar berubah, bukan cuma penampilan, tapi... caranya juga."
Souta tertawa kecil, matanya berbinar. "Yah, itulah yang bikin menarik. Siapa sangka, si Ai yang dulu santai, sekarang malah lebih mirip kakak perempuan, bahkan dalam hal lain."
"Jangan mengatakan hal aneh, Souta," kata Ren, meskipun ia sendiri merasa sedikit terkejut dengan perubahan yang terjadi pada Ai.
Pembicaraan mereka tiba-tiba berubah menjadi lebih iseng ketika Kaito, dengan senyum nakal, berkata, "Hei, bagaimana kalau kita coba mengintip mereka?"
Ren langsung memekik. "Tidak! Itu salah!"
Souta hanya tertawa lebar, meskipun akhirnya rencana itu dibatalkan. "Ah, kau terlalu serius, Ren," katanya sambil tertawa. "Tapi, serius, kan? Ai sekarang benar-benar menarik."
Ren mengangguk pelan, matanya tertuju pada air yang tenang. "Ya, tapi aku tetap merasa canggung di dekatnya. Bagaimana kalau ini semua hanya sementara? Apa yang akan terjadi setelah ini?"
Kaito menepuk bahu Ren dengan santai. "Jangan terlalu dipikirkan, Ren. Kita nikmati saja dulu. Lagipula, kita tidak bisa mengubah apapun sekarang."
Sore mulai merayap, dan kelompok pria akhirnya kembali ke kemah. Kaito, yang masih penuh energi, berjalan dengan langkah lebar sambil memamerkan otot-ototnya yang terlihat jelas karena ia masih setengah basah. Souta dan Ren mengikuti di belakang, berbincang-bincang dengan santai.
Namun, begitu mereka sampai di kemah, mereka terhenti sejenak. Mata mereka terheran-heran melihat Ai dan Riku, yang sudah tiba terlebih dahulu.
"Paman, Riku, kenapa kalian terlihat seperti dua biji ceri? Sudah sepasang, merah lagi!" seru Kaito dengan tawa keras.
Ai dan Riku yang baru saja duduk, langsung terdiam. Wajah mereka memerah karena sindiran Kaito. "Kaito, kamu ini..." keluh Riku, meskipun wajahnya juga memerah.
Ai menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Kaito, jangan mulai lagi," katanya dengan suara yang sedikit lebih rendah, berusaha tetap tenang meskipun jantungnya berdebar.
"Kenapa? Kalian berdua terlihat serasi kok!" Kaito tertawa lebih keras lagi. "Ai, kamu benar-benar mirip bom ceri."
Riku memandang Kaito dengan tatapan tajam. "Kaito, kamu itu memang tidak ada otak ya," katanya dengan nada tegas.
Souta yang baru saja tiba hanya bisa menggelengkan kepala. "Kaito, kau benar-benar suka sekali meledek, ya?"
Kaito hanya tersenyum nakal. "Aku hanya bercanda, kok."
Malam itu, kelompok mereka duduk bersama di sekitar api unggun. Tawa dan canda mengisi udara malam yang sejuk. Api unggun berkedip-kedip, menerangi wajah mereka yang tampak lebih hangat dan akrab.
"Jadi, bagaimana rasanya menjadi wanita, Onee-sama?" tanya Itsuki dengan polos, memecah keheningan malam.
Ai menatap adiknya dengan senyum kecil. "Ah… ada apa, Itsuki. Apakah kamu mengkhawatirkanku." Ai memeluk Itsuki dengan erat sambil menggosokkan wajah mereka. Itsuki tertawa senang ketika dimanja kakaknya.
Riku, yang duduk di sebelah Ai, menambahkan, "Sebenarnya aku masih merasa seperti ada yang aneh, tapi... aku rasa aku bisa menghadapinya."
Aoi, yang duduk di dekat mereka, tersenyum bangga. "Kalian akan semakin baik. Ini baru permulaan."
Percakapan mereka berlanjut hingga malam semakin larut. Meski situasi yang mereka hadapi terasa aneh dan penuh kebingungan, kebersamaan mereka semakin erat. Mereka tahu bahwa ini bukan akhir, tetapi awal dari perjalanan yang lebih panjang dan penuh misteri.
Malam semakin larut, dan api unggun mulai meredup. Suasana di sekitar kemah semakin hening, hanya terdengar suara desiran angin yang menerpa pepohonan dan gemericik air sungai yang mengalir tak jauh dari tempat mereka berkumpul. Namun, meskipun malam terasa tenang, ada sesuatu yang menggantung di udara. Suasana yang penuh tawa dan canda mulai bergeser menjadi lebih hening, seiring dengan perasaan masing-masing yang mulai mengendap.
"Ai, Riku, apakah kalian masih merasa... aneh?" tanya Aoi dengan nada yang sedikit lebih berat, matanya menatap api unggun yang semakin kecil. "Maksudku, tentang tubuh kalian sekarang. Rasanya pasti... membingungkan, kan?"
Ai mengangguk pelan, menatap tangan-tangannya yang kini terasa begitu berbeda. "Ya... karena aku terbiasa dengan tubuhku yang dulu, tubuh ini... membuatku merasa seperti orang lain. Tapi, entah kenapa, ada sesuatu yang membuatku merasa... seperti ini lebih alami."
Riku, yang duduk di samping Ai, menghela napas. "Aku juga merasakannya. Rasanya seperti... dua dunia yang bertabrakan dalam diriku. Tapi, ada bagian dari diriku yang mulai menerima semua ini."
Aoi tersenyum lembut. "Kalian akan menemukan cara untuk menyesuaikan diri. Kita semua berubah, tapi itu bukan berarti kita kehilangan siapa kita sebenarnya."
Souta yang sejak tadi mendengarkan, tiba-tiba berbicara. "Tapi, kalian tidak merasa... bingung dengan semua perubahan ini? Aku tahu, kita semua sudah terbiasa dengan keadaan kita, tapi sekarang... semuanya terasa seperti mimpi."
Kaito yang duduk di dekat api unggun, tersenyum lebar. "Souta, kamu memang selalu mencari hal-hal yang rumit. Kita hidup di dunia yang penuh kejutan, kenapa tidak menikmati saja?"
Ren, yang sejak tadi diam, akhirnya membuka mulut. "Aku... aku masih merasa canggung. Ada banyak hal yang harus dipelajari, dan aku rasa kita belum sepenuhnya siap."
Ai menatap mereka semua dengan serius. "Aku tahu ini sulit, tapi kita harus tetap maju. Kita tidak bisa terus-menerus terjebak dalam kebingungan. Kita harus menerima perubahan ini dan menjalani hidup kita sebaik mungkin."
Aoi mengangguk setuju. "Benar. Dan yang paling penting, kita harus saling mendukung. Tidak ada yang bisa kita lakukan sendirian."
Tiba-tiba, suara gemericik air di sungai terdengar lebih keras. Semua mata terarah ke arah suara tersebut, dan mereka melihat sesuatu yang aneh di permukaan air. Sebuah benda besar mengapung, tampak seperti sebuah perahu kecil yang terdampar di pinggir sungai.
"Hei, lihat itu!" teriak Souta, sambil menunjuk ke arah benda yang mengapung.
"Apakah itu... perahu?" tanya Kaito dengan penasaran.
Mereka semua berdiri dan mendekat ke sungai, memandangi benda itu dengan penuh perhatian. Tidak ada yang tahu dari mana perahu itu berasal, atau bagaimana bisa terdampar di sana.
"Harusnya ini tidak ada di sini," kata Ren, merasa ada yang tidak beres. "Kita harus hati-hati. Bisa jadi ini jebakan."
Ai mengangguk, matanya tetap waspada. "Kita tidak tahu siapa yang meninggalkan ini. Kita harus memeriksanya, tapi jangan sampai terperangkap."
Dengan hati-hati, mereka mendekati perahu tersebut. Benda itu terlihat aneh, dengan ukiran-ukiran misterius di sekelilingnya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sekitar perahu, namun ada sesuatu yang terasa janggal.
"Apakah kalian tidak merasa ini... berbahaya?" tanya Aoi, suaranya bergetar sedikit.
Souta memandang perahu itu dengan rasa penasaran yang mendalam. "Mungkin ini milik nelayan."
Ren mengerutkan kening. "Aku tidak yakin ada nelayan disini."
Setelah memeriksa perahu itu dengan teliti, mereka tidak menemukan hal apapun yang mencurigakan. Merasa keadaan sudah aman mereka memutuskan kembali ke kemah dengan rasa penasaran darimana perahu itu berasal.
Merekapun memutuskan untuk beristirahat bersiap menghadapi petualangan baru di hari berikutnya.