Chereads / Seven Footsteps of Fate (Indonesia) / Chapter 11 - Langkah Menuju Langit

Chapter 11 - Langkah Menuju Langit

Pagi itu, matahari muncul dari balik pegunungan, menyinari kelompok yang masih tertidur. Embun pagi membasahi rerumputan, dan udara dingin membuat mereka enggan untuk bangun. Namun, suara Itsuki yang riang memecah keheningan.

"Ayo bangun, semuanya! Hari ini kita menuju langit!" serunya sambil melompat-lompat kecil di sekitar tempat tidur mereka.

Ai menghela napas panjang. "Itsuki, kau terlalu bersemangat."

"Tentu saja! Ini pertama kalinya aku melihat pulau terbang. Aku ingin tahu bagaimana rasanya ada di atas sana," ujar Itsuki dengan penuh semangat, membuat yang lain perlahan bangun.

"Semangat pagi, Ai-chan," ujar Kaito sambil tersenyum nakal.

"Jangan panggil aku begitu!" Ai memukul lengannya lagi, tapi kali ini dengan senyum kecil di wajahnya.

Setelah sarapan sederhana dari persediaan mereka, kelompok itu berkumpul di tepi tebing. Mereka memandangi pulau melayang yang kini terlihat lebih jelas di bawah sinar matahari pagi. Hutan belantara yang memenuhi pulau itu tampak hijau dan segar, namun ada sesuatu yang misterius tentangnya.

"Jadi, bagaimana kita akan sampai di sana?" Ren bertanya, melipat tangannya sambil memandang Ai.

Ai menatap pulau itu dengan penuh perhatian. "Aku yakin ada cara untuk mencapainya. Kita hanya perlu mencari jalannya."

"Hebat," balas Souta dengan datar. "Rencana kita adalah mencari rencana."

"Kita harus memulai dari bawah," ujar Aoi. "Mungkin ada sesuatu di hutan ini yang bisa membantu kita mencapai pulau itu."

---

Perjalanan Menuruni Gunung

Perjalanan menuruni gunung ternyata lebih sulit dari yang mereka bayangkan. Jalan setapak berbatu sering kali licin, dan jurang di sisi kiri mereka membuat setiap langkah terasa berbahaya.

"Pelan-pelan, Itsuki," kata Aoi sambil menggenggam tangan bocah itu. "Aku tidak mau kau terpeleset."

"Aku tidak akan jatuh, Kak Aoi!" jawab Itsuki dengan percaya diri. Tapi saat ia melangkah terlalu jauh ke depan, batu di bawahnya tergelincir. Ai dengan cepat menarik kerah bajunya, menyelamatkannya dari terjun bebas ke jurang.

"Lihat? Kau terlalu bersemangat," kata Ai, suaranya tegas namun lembut.

"Maaf, Ai-nee…" Itsuki menunduk malu, tapi senyumnya kembali tak lama kemudian.

Setelah beberapa jam perjalanan yang melelahkan, mereka akhirnya sampai di dasar lembah. Hutan di depan mereka terlihat lebih menenangkan dibandingkan dengan hutan raksasa sebelumnya. Pohon-pohon berukuran normal, dan suara burung serta hewan lain menciptakan suasana damai.

"Ini lebih seperti hutan di rumah," ujar Ren, suaranya penuh nostalgia.

"Tapi jangan lengah," Souta memperingatkan. "Kita tidak tahu apa yang ada di sini."

---

Misteri di Dalam Hutan

Hutan itu ternyata tidak senormal kelihatannya. Meski mereka tidak bertemu dengan makhluk berbahaya seperti di hutan sebelumnya, suasana di dalamnya terasa aneh. Pepohonan di beberapa tempat tampak terlalu simetris, seperti sengaja ditanam.

"Ini aneh," gumam Kaito. "Hutan ini terasa… buatan."

"Itu berarti mungkin ada orang yang tinggal di sini," ujar Aoi. "Mungkin kita bisa bertanya kepada mereka."

Saat mereka melanjutkan perjalanan, mereka menemukan sebuah altar kuno di tengah hutan. Altar itu terbuat dari batu hitam dengan ukiran aneh yang bersinar samar. Di atasnya, terdapat bola kristal besar yang memancarkan cahaya biru lembut.

"Ini… apa?" Souta bertanya, menyentuh permukaan altar dengan hati-hati.

Ren mempelajari ukiran di altar itu dengan seksama. "Sepertinya ini adalah semacam alat teleportasi. Tapi aku tidak yakin bagaimana cara kerjanya."

Ai melangkah maju dan memegang bola kristal itu. Saat ia menyentuhnya, cahaya biru berubah menjadi hijau, dan suara lembut terdengar di telinga mereka.

"Pilih destinasi," ujar suara itu.

"Benda itu berbicara…" Ren terkesiap. "Sepertinya ini jalan kita menuju pulau melayang!"

"Benarkah?" Itsuki melompat kegirangan.

"Tunggu," Aoi memotong. "Bagaimana kalau ini jebakan? Kita tidak tahu ke mana alat ini akan membawa kita."

"Tidak ada pilihan lain," kata Ai dengan tenang. "Kita harus mencobanya. Kalau tidak, kita hanya akan terjebak di sini tanpa arah."

Semua terdiam. Mereka tahu Ai benar, tapi ketakutan mereka masih terasa. Akhirnya, Kaito berbicara.

"Kalau kita mati, aku menyalahkanmu, Ai-chan," katanya sambil tersenyum masam.

Ai menatapnya dengan tajam. "Kalau kau terus memanggilku begitu, aku yang akan membunuhmu."

Kaito hanya tertawa kecil.

---

Keputusan yang Berani

Dengan yakin, Ai menempatkan tangannya di atas bola kristal. "Pulau melayang dengan hutan belantara," katanya dengan suara tegas.

Cahaya hijau semakin terang, dan udara di sekitar mereka bergetar. Sebelum mereka sempat mengucapkan apa-apa lagi, tubuh mereka diselimuti cahaya, dan dalam sekejap, mereka menghilang dari altar itu.

Mereka merasakan tubuh mereka melayang di udara, seperti angin kencang membawa mereka ke tempat yang jauh. Saat cahaya memudar, mereka menemukan diri mereka berdiri di tengah-tengah hutan yang sangat berbeda.

Pepohonan di sini lebih eksotis, dengan daun-daun berwarna biru dan ungu. Suasana terasa lebih magis, dengan partikel cahaya kecil melayang-layang di udara.

"Kita… berhasil?" Itsuki bertanya, matanya berbinar-binar.

"Sepertinya begitu," jawab Ai, suaranya lega.

Namun, sebelum mereka bisa merayakan keberhasilan mereka, suara gemuruh terdengar dari dalam hutan. "Apa itu?" Souta menarik busurnya dengan cepat.

"Aku rasa ini adalah sambutan dari penghuni hutan," ujar Kaito sambil mengeluarkan pedang yang diambil dari reruntuhan di hutan raksasa.

------

Suara langkah berat dari hutan di belakang mereka membuat semuanya menoleh. Seekor serigala perak besar muncul, bulunya bersinar lembut di bawah sinar matahari.

"Ini lagi…" ujar Aoi sambil menyiapkan perisai yang dibawanya di inventory.

"Itu bukan seperti serigala biasa," kata Ai. Ia mengeluarkan pisau lipatnya, senjata yang sudah terbukti serba guna di berbagai situasi. "Kita tidak boleh lengah."

Sebelum mereka sempat bertindak, Itsuki maju dengan percaya diri. "Tunggu!"

Ia memanggil Luna, peri kecilnya (Lho… sudah akrab saja?), yang langsung melayang ke arah serigala itu. Cahaya hijau lembut menyelimuti makhluk tersebut, dan seketika serigala itu berhenti menggeram.

"Dia tidak berniat menyerang," ujar Itsuki dengan bangga.

Serigala itu menatap mereka sejenak, lalu menoleh ke arah hutan, seolah meminta mereka untuk mengikutinya.

"Sepertinya dia ingin menunjukkan sesuatu," ujar Itsuki.

"Kalau begitu, kita ikuti saja," kata Ai. "Tapi tetap waspada."

---

Danau dan Patung Kristal

Serigala perak memimpin mereka melalui hutan, hingga tiba di sebuah danau kecil yang airnya begitu jernih hingga dasar danau terlihat jelas. Di tengah danau, berdiri sebuah patung kristal berbentuk serigala, memancarkan cahaya lembut.

"Tempat ini… luar biasa," gumam Riku dengan takjub.

"Dan juga mencurigakan," tambah Kaito.

Mereka mendekati tepi danau, memperhatikan patung itu dengan hati-hati. Serigala perak berhenti di depan mereka, menundukkan kepala, lalu perlahan menghilang menjadi partikel cahaya yang melayang ke arah patung.

Patung kristal itu mulai bersinar lebih terang, dan sebuah suara lembut terdengar.

"Pahlawan yang datang dari jauh, buktikan keberanian kalian."

"Buktikan keberanian?" tanya Aoi dengan alis terangkat.

"Di tempat ini, hanya mereka yang layak yang dapat melangkah lebih jauh. Jika kalian ingin mencapai tujuan, tunjukkan kekuatan dan kerja sama kalian."

"Ini jelas ujian," ujar Ren sambil menghela napas.

Ai melangkah maju, menatap patung itu dengan serius. "Baiklah. Kita terima tantangannya."

Tiba-tiba, air danau bergetar, dan dari kedalamannya muncul seekor naga air raksasa dengan sisik berkilauan.

---

Strategi Pertarungan

Naga itu segera melancarkan serangan pertama dengan semburan air yang deras, memaksa mereka untuk berpencar.

"Aoi, fokus pada pertahanan! Lindungi yang lain!" perintah Ai, berlari ke posisi samping dengan cepat.

"Dimengerti!" Aoi mengangkat perisainya, menahan semburan air yang menghantam seperti gelombang pasang.

"Souta, cari sudut untuk menembak titik lemahnya!" lanjut Ai, pisau lipatnya terhunus di tangan kanan.

Souta mengangguk dan melompat ke sebuah batu besar, busurnya siap untuk ditembakkan.

"Ren, ciptakan distraksi dengan sihir. Itu akan memaksa naga keluar dari air!"

Ren mulai merapal mantra, bola air meluncur ke arah naga. Sihir tersebut tidak menyebabkan kerusakan besar, tetapi cukup untuk membuat naga mengangkat sebagian tubuhnya keluar dari air.

"Kaito, tunggu celahnya!"

"Siap!" jawab Kaito sambil memegang pedang besarnya dengan erat.

Di sisi lain, Itsuki memanggil dua peri baru yang melayang di atas kepala mereka.

"Ayo, Aria dan Sylph! Gunakan kemampuan kalian untuk melemahkan naga itu!"

Aria, peri air, melancarkan gelombang air yang membuat naga sedikit melambat, sementara Sylph, peri angin, menciptakan pusaran kecil yang mengganggu keseimbangan naga.

"Bagus, Itsuki!" teriak Ai.

Saat naga kehilangan keseimbangan, Ai melihat celah untuk menyerang. "Sekarang, Kaito!"

Kaito melompat dengan kekuatan penuh, mengayunkan pedangnya ke arah leher naga, sementara Souta menembakkan panah tepat ke tempat yang sama. Serangan gabungan mereka berhasil melukai naga tersebut.

Namun, naga itu masih berdiri, menggeram dengan marah.

"Belum selesai," kata Ai sambil melangkah maju. Ia menunggu dengan tenang, mengamati gerakan naga dengan tatapan tajam.

Saat naga mencoba melancarkan serangan baru, Ai meluncur ke depan dengan kecepatan luar biasa, melompat ke atas tubuhnya, dan menancapkan pisaunya tepat di bagian bawah leher naga, tempatnya terluka tadi.

Naga itu mengerang kesakitan sebelum akhirnya tubuhnya mulai larut menjadi air, menghilang sepenuhnya.

---

Hadiah dan Petunjuk Baru

Saat naga itu lenyap, patung kristal bersinar lebih terang. Sebuah medalion berbentuk serigala melayang keluar dari patung tersebut dan berhenti di depan mereka.

"Apa ini?" tanya Riku sambil memegang medalion itu dengan hati-hati.

Saat Ai menyentuh medalion tersebut, suara dari patung terdengar lagi.

"Medalion ini adalah kunci untuk membuka jalan menuju langit. Hanya mereka yang layak yang dapat menggunakannya."

"Langit?" Ren mengulang kata itu dengan alis terangkat.

"Apa itu? apakah tanah melayang?" tanya Aoi.

"Sepertinya begitu," jawab Ai sambil menatap medalion itu.

Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan pembicaraan, suara langkah kaki terdengar dari dalam hutan.

"Kelihatannya ada tamu tak diundang," kata Kaito, bersiap dengan pedangnya.

"Kita harus segera pergi dari sini," ujar Ai.

Mereka saling bertukar pandang, menyadari bahwa perjalanan mereka semakin kompleks. Namun, di dalam hati, mereka tahu bahwa medalion ini adalah langkah pertama menuju jawaban atas misteri dunia baru ini.

---