Perjalanan di hutan raksasa yang terasa tanpa ujung terus berlanjut. Langit di atas mereka tertutup daun-daun besar, menciptakan suasana seperti senja meskipun masih pagi. Hutan ini penuh keanehan, dari pohon-pohon raksasa yang menjulang hingga suara-suara aneh yang terdengar dari jauh.
Saat mereka berjalan, Souta yang berada di depan tiba-tiba berhenti. "Diam. Aku mendengar sesuatu," katanya sambil menajamkan pendengarannya.
Mereka semua terdiam. Tak lama, dari balik semak-semak muncul seekor makhluk yang menyerupai babi hutan, tetapi dengan taring yang lebih panjang dan bulu-bulu berwarna hitam mengkilap.
"Apa itu?" tanya Riku sambil mundur sedikit.
Makhluk itu mendengus, lalu menyerang tanpa peringatan. Namun sebelum makhluk itu sempat mendekati mereka, Ren sudah maju dengan tangan bersinar lembut. Dengan satu ayunan tangannya, makhluk itu terpental jauh dan pingsan.
"Astaga, aku bahkan tidak menggunakan banyak kekuatan," gumam Ren heran.
"Makhluk ini besar, tapi lemah," tambah Kaito sambil menyenggol bangkai makhluk itu dengan kakinya.
"Bagus, kita bisa makan dagingnya," kata Souta dengan mata berbinar.
Perjalanan terus berlanjut, dan mereka beberapa kali dihadang makhluk-makhluk aneh. Ada seekor serangga raksasa dengan sayap transparan, anjing hitam dengan mata bercahaya biru, hingga semacam kelinci yang memiliki tanduk besar di kepalanya. Namun, semua makhluk itu bisa mereka kalahkan dengan mudah, seolah kekuatan mereka terlalu besar untuk makhluk-makhluk penghuni hutan ini.
"Apakah kita terlalu kuat, atau hutan ini hanya dihuni oleh makhluk-makhluk lemah?" tanya Aoi sambil memandang bangkai monster bercahaya yang baru saja dikalahkannya.
"Aku tidak yakin," jawab Ai. "Tapi ini membuatku merasa semakin aneh tentang tempat ini."
---
Perubahan Suasana
Setelah beberapa jam berjalan, suasana hutan mulai berubah. Pohon-pohon yang sebelumnya menjulang tinggi mulai berkurang, dan mereka menemukan jalan setapak yang mengarah ke sebuah bukit.
"Sepertinya kita semakin mendekati sesuatu," kata Ren, memperhatikan jalur itu dengan seksama.
"Mungkin ini jalan keluar?" tanya Itsuki penuh harap.
Mereka terus mengikuti jalan itu hingga mencapai puncak bukit. Dari sini, mereka bisa melihat pemandangan yang sangat luas.
Di depan mereka terbentang pemandangan luar biasa. Hutan raksasa yang tampaknya tak berujung membentang sejauh mata memandang, diselingi oleh sungai-sungai besar yang berliku dan air terjun yang megah. Di kejauhan, sebuah gunung besar dengan puncak berapi terlihat berdiri dengan gagah, dikelilingi awan tebal.
"Wow..." Souta berbisik takjub.
"Ini... indah sekali," tambah Aoi, matanya berkilauan menatap panorama itu.
Namun, rasa takjub mereka perlahan berubah menjadi ketakutan saat menyadari skala hutan itu. Tempat ini terlalu besar untuk ditelusuri. Bahkan pemandangan indah ini seperti mempertegas bahwa mereka benar-benar terjebak di dunia yang asing.
"Kita... berada di tengah-tengah hutan ini," kata Ai dengan suara rendah, mencoba mencerna situasi mereka.
Kaito menelan ludah, menunjuk ke arah horizon. "Lihat, bahkan gunung itu terlihat sangat jauh. Berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk keluar dari sini?"
Semangat mereka mulai merosot. Bahkan Itsuki, yang biasanya ceria, tampak cemas.
"Ini... tidak mungkin," gumam Riku. "Kita bahkan tidak tahu apakah ada peradaban di sini."
"Mungkin kita terlalu cepat merasa percaya diri," kata Ren, mencoba tetap tenang.
Namun, Ai menegakkan tubuhnya, mencoba mengembalikan semangat kelompok itu. "Hei, kita sudah sejauh ini, bukan? Kita sudah membuktikan bahwa kita bisa bertahan. Jadi, tidak peduli seberapa besar tempat ini, kita pasti bisa keluar."
"Ai benar!" kata Aoi penuh semangat. "Kita hanya perlu terus berjalan dan mencari petunjuk."
Meski kata-kata Ai memberi sedikit penghiburan, ketakutan tetap ada di hati mereka. Hari itu, mereka memutuskan untuk beristirahat di bukit tersebut, menyusun rencana baru untuk menghadapi perjalanan yang tampaknya masih panjang.
—
Jejak di Antara Bayangan
Malam itu, di puncak bukit kecil tempat mereka berhenti, suasana sunyi membalut mereka. Angin dingin yang berhembus dari lembah membuat api unggun mereka menjadi pusat kehangatan, baik secara fisik maupun emosional. Namun, ketenangan itu hanya di permukaan. Dalam hati, setiap orang memikirkan situasi mereka masing-masing.
Souta menatap api unggun, memutar panah di tangannya, lalu memecah keheningan. "Pikirkan ini... kalau memang kita terjebak di dunia ini, bukankah ini seperti plot anime? Dunia asing, kekuatan baru, dan... siapa tahu, mungkin ada sesuatu menunggu kita."
Ren menghela napas. "Kalau ini anime, aku ingin tahu kapan kita menemukan jalan pulang. Atau... apakah kita memang ditakdirkan untuk di sini selamanya?"
Ai mendongak dari buku catatan kecil yang dia temukan di tasnya. "Aku belum yakin soal takdir, tapi aku tahu satu hal: kalau kita terus saling mendukung, kita pasti bisa bertahan."
"Benar," kata Aoi sambil menepuk bahu Itsuki. "Lagipula, kita punya senjata, kekuatan, dan otak cemerlang Onee-sama."
Itsuki tertawa kecil, meskipun matanya terlihat gelisah. "Tapi... dunia ini terlalu besar. Apa kita benar-benar bisa keluar dari hutan ini?"
Kaito menyenggol Ai dengan sikunya sambil tersenyum jahil. "Hei, Paman—eh, maksudku Bibi—Ai. Apa kau yakin bisa memimpin kami keluar dari sini? Kau tampak cukup... tidak berpengalaman dalam tubuh itu."
Semua orang tertawa kecil, sementara Ai menghela napas panjang. Dia menatap Kaito dengan ekspresi datar. "Kalau aku bisa memilih, aku akan memilih tubuh lamaku. Tapi, ini yang kita punya sekarang, jadi berhenti mengeluh."
"Dia marah," Souta berbisik pada Ren, yang langsung terkikik.
Namun, momen ringan itu tiba-tiba terhenti ketika suara langkah berat terdengar dari hutan. Semua orang langsung siaga, tangan mereka meraih senjata. Aoi berdiri dengan posisi bertarung, sementara Souta merentangkan busurnya.
Dari balik kegelapan, muncul makhluk besar yang menyerupai beruang, tapi dengan mata bercahaya merah dan cakar yang tampak seperti pedang.
"Bersiap!" Ai berteriak.
Namun, sebelum mereka sempat menyerang, makhluk itu tiba-tiba berhenti, mengendus udara, lalu berbalik dan pergi.
---
Jejak Misterius
Mereka semua terdiam, napas tertahan. Riku yang biasanya tenang pun terlihat gelisah. "Apa itu? Dan kenapa dia pergi begitu saja?"
"Entahlah," kata Ren sambil menyimpan kembali pedangnya. "Tapi aku tidak suka perasaan ini."
Ai mendekati jejak yang ditinggalkan makhluk itu, memperhatikan tanah yang terinjak. "Ini... bukan kebetulan. Dia melihat kita, tapi tidak menyerang. Seolah-olah dia tahu sesuatu."
"Seperti sedang mengawasi," tambah Aoi.
Diskusi berakhir dengan suasana waspada. Mereka memutuskan untuk berjaga bergantian malam itu, meskipun sebagian besar dari mereka sulit tidur.
---
Fajar Baru, Rencana Baru
Ketika fajar menyingsing, Ai bangun lebih awal untuk mencatat rencana perjalanan berikutnya. Tapi matanya terus tertarik ke arah Aoi, yang sedang membantu Itsuki mempersiapkan peralatan. Ada sesuatu yang berbeda dari cara Aoi bergerak. Dia terlihat... dewasa.
"Hei, Onii-sama—maksudku, Ai. Apa yang kau lihat?" tanya Aoi tiba-tiba, menangkap tatapan Ai.
Ai tersipu dan segera berpaling. "Tidak, tidak ada apa-apa. Hanya memastikan semua siap."
"Yakin?" Aoi mendekat, senyum menggoda di wajahnya. "Kau jarang sekali salah tingkah. Ada yang kau pikirkan?"
Sebelum Ai bisa menjawab, Souta datang dengan senyum lebar, membawa sarapan sederhana dari hasil berburu. "Sarapan sudah siap! Ayo makan sebelum kita mulai perjalanan lagi!"
Setelah mereka mengemasi barang-barang dan melanjutkan perjalanan, mereka menemukan sungai besar yang tampak jernih namun memiliki dasar hitam legam. Airnya mengalir tenang, tapi ada aura aneh yang menyelimutinya.
"Jangan minum airnya," kata Ai dengan cepat, memperingatkan semua orang.
"Aku setuju," kata Riku, yang memeriksa air dengan menggunakan sebuah alat sederhana. "Tingkat keasamannya tinggi. Bisa membakar organ dalam kita."
Mereka memutuskan untuk berjalan menyusuri sungai, berharap menemukan jalan menyeberang. Namun, langkah mereka dihentikan oleh suara gemuruh. Dari kejauhan, terlihat makhluk menyerupai buaya raksasa muncul dari dalam air, menatap mereka dengan mata merah menyala.
"Siapkan formasi!" perintah Ai.
Namun, sebelum makhluk itu sempat menyerang, sebuah kilatan cahaya biru muncul dari atas. Dari langit, turun sesosok manusia bersayap yang membawa pedang besar. Dalam satu tebasan, makhluk itu terbelah dua.
Mereka semua terdiam, menatap sosok asing itu.
"Siapa itu?" bisik Aoi.
Sosok itu menoleh ke arah mereka, lalu berbicara dengan suara tegas. "Kalian bukan dari hutan ini, kan? Ikuti aku. Aku tahu tempat yang aman."
Meskipun ragu, mereka memutuskan untuk mengikuti sosok itu, berharap akhirnya menemukan jawaban atas misteri dunia ini.