Chereads / Seven Footsteps of Fate (Indonesia) / Chapter 14 - Langkah yang Tak Berujung

Chapter 14 - Langkah yang Tak Berujung

Setelah pertarungan sebelumnya, kelompok Ai memulai perjalanan pendakian mereka menuju puncak gunung tempat kastil berada. Langit cerah, angin berhembus ringan, memberikan kesan damai sebelum perjalanan yang ternyata lebih berat dari yang mereka duga.

"Aku tidak tahu ini akan seterjal ini," keluh Souta sambil menyeka keringat di dahinya. "Sepertinya perjalanan ini akan memakan waktu lebih dari yang kita rencanakan."

"Berhenti mengeluh, Souta," jawab Aoi yang berada di depan, menatap tangga batu yang seolah tak ada habisnya. "Tangga ini memang panjang, tapi setidaknya kita tidak sedang dikejar makhluk aneh atau naga lagi."

---

Ren menatap tajam ke arah puncak yang samar-samar terlihat di kejauhan. "Aku rasa, kita bahkan belum mencapai seperempat perjalanan," katanya dengan nada datar.

"Kau tidak membantu, Ren," jawab Kaito sambil menghela napas panjang. "Aku bisa mendengar Itsuki dan Riku sudah terengah-engah setengah mati di belakang sana."

Itsuki terduduk di salah satu anak tangga, wajahnya pucat. "Aku... aku butuh istirahat. Kak Aoi, kenapa gunung ini harus punya tangga sebanyak ini?" tanyanya dengan nada mengeluh, sementara peri-perinya melayang di sekitar, memberikan angin sejuk untuk mendinginkannya.

Riku duduk di samping Itsuki, menyeka keringat dengan saputangan kecil. "Aku pikir perjalanan di hutan itu sudah berat, tapi ini... ini benar-benar membunuh stamina kami."

---

Kebersamaan dalam Kesulitan

Ai berhenti sejenak, menatap kelompoknya dengan prihatin. "Baiklah, kita istirahat sebentar. Tidak ada gunanya memaksakan diri," katanya, meletakkan tasnya di anak tangga terdekat.

"Terima kasih, Ai," ujar Riku dengan nada lega. "Aku tidak tahu bagaimana kau bisa tetap terlihat segar meski perjalanan ini melelahkan."

Ai hanya tersenyum tipis. "Aku hanya mencoba tetap fokus. Tapi kalau boleh jujur, kaki ini juga mulai terasa berat."

"Dasar pemimpin yang sempurna," goda Kaito sambil tersenyum. "Kau bahkan tak terlihat seperti kelelahan, Ai-chan. Atau mungkin ini efek karena kau cantik alami?"

Ai melotot ke arah Kaito sambil memukul pundaknya dengan pelan. "Jangan mulai lagi, anak kecil!"

"Kalau begitu, ayo, Ai-chan, gendong aku. Kaki ini sudah tidak bisa bergerak lagi," Kaito berkelakar, membuat semua orang tertawa kecil.

---

Rasa Syukur Aoi

Aoi memandang Ai dan Riku yang duduk bersama di dekat tangga. "Aku senang sekarang ada wanita lain di kelompok ini," katanya tiba-tiba, membuat Ai menoleh.

"Kenapa kau bilang begitu, Aoi?" tanya Ai.

"Aku sudah terbiasa menjadi satu-satunya wanita di kelompok ini," jawabnya sambil tersenyum kecil. "Tapi sekarang, dengan kalian berdua di sini, setidaknya aku punya teman untuk berbagi cerita... meski kalian berdua juga agak aneh."

"Apa maksudmu 'aneh'?" tanya Riku sambil tersipu, tapi sebelum Aoi menjawab, Itsuki menyela dengan polos.

"Kak Ai tidak aneh. Kak Riku juga tidak. Mereka hanya lebih cantik daripada Kak Aoi," katanya dengan nada polos, membuat semua orang terdiam sejenak sebelum tertawa lepas.

"Hei, Itsuki!" seru Aoi dengan pura-pura kesal. "Itu tidak sopan, tahu!"

---

Semangat yang Mulai Luntur

Mereka kembali melanjutkan perjalanan setelah istirahat singkat, namun kecepatan langkah semakin melambat. Tangga yang mereka naiki terasa seperti tak berujung, dan hawa dingin mulai terasa semakin menusuk.

"Aku tidak yakin kita bisa mencapai puncak sebelum malam," gumam Souta.

"Kau pikir aku tidak tahu?" balas Ai, meski ia juga mulai merasa ragu. "Tapi kita tidak punya pilihan. Kita harus terus naik."

Kaito yang biasanya penuh semangat kini mulai terlihat lebih diam. "Ai-chan, aku mungkin harus mengaku kalah kali ini. Tangga ini benar-benar menghukumku."

"Kalau kau menyerah, aku akan meninggalkanmu di sini," balas Ai sambil tersenyum kecil. "Jangan memanggilku Ai-chan, atau aku akan memukulmu lagi."

---

Tantangan yang Tak Terlihat

Langit mulai berubah menjadi oranye saat matahari mulai terbenam. Kabut tipis kembali menyelimuti sekitar, membuat mereka semakin sulit melihat puncak gunung.

"Kita akan berhenti di sini untuk malam ini," kata Ai, menghentikan langkah mereka.

"Bagus, karena aku benar-benar tidak bisa melanjutkan," kata Ren sambil duduk di tangga dengan wajah letih.

Aoi menurunkan perisainya, memandang ke bawah gunung. "Kita sudah jauh sekali. Tidak ada jalan kembali sekarang."

Souta mengangguk. "Ya, tapi perjalanan ini membuatku bertanya-tanya... apa yang sebenarnya ada di kastil itu? Kenapa kita harus sampai ke sana?"

Ai menatap ke arah puncak yang tersembunyi di balik kabut. "Karena ini adalah langkah yang harus kita ambil. Kita sudah terlalu jauh untuk menyerah sekarang."

Meski kelelahan, semangat mereka tetap terjaga. Di balik gurauan, keluhan, dan candaan kecil, mereka menyadari bahwa kebersamaanlah yang membuat perjalanan ini terasa mungkin untuk diselesaikan.

Dengan suasana malam yang mulai menyelimuti, mereka memutuskan untuk beristirahat, mempersiapkan diri untuk perjalanan yang akan lebih berat esok hari.

***

Di Ambang Puncak

Pagi itu, hawa dingin menyelimuti puncak gunung. Kabut masih tebal, membuat anak tangga di ujung tampak seperti melayang di udara. Itsuki, Riku, dan Ren terlihat sangat kewalahan. Tubuh kecil Itsuki menggigil, wajahnya pucat sambil memegangi lututnya yang lemas.

"Kak Aoi... dingin sekali..." gumam Itsuki lirih.

Aoi berjongkok, lalu tanpa banyak bicara mengangkat adik kecilnya ke dalam pelukannya. "Baiklah, adik kecilku, biarkan kakak membopong bayi kecil yang lemah ini, ya?" katanya sambil mengusap punggung Itsuki dengan lembut.

"Kak... aku bukan bayi..." balas Itsuki lemah, tapi ia menyandarkan kepalanya di bahu Aoi, tampak begitu nyaman. Lalu berjalan naik melanjutkan pendakian.

"Yah, Itsuki kecil pasti senang sekali diperlakukan seperti ini," Kaito berkomentar dari belakang. Ia menatap Riku yang bergetar sambil duduk di anak tangga.

"Riku, ayo, kau juga naik ke punggungku," Kaito menawarkan dengan nada bercanda.

"Mana mungkin aku mau!" seru Riku kaget.

Namun, sebelum Riku sempat melarikan diri, Kaito dengan cepat membopongnya seperti seorang putri. "Halah! Aku tidak akan membiarkanmu tinggal di sini, Tuan Putri," katanya sambil terkekeh.

"K-Kaito! Turunkan aku!" Riku memberontak, tapi tubuhnya yang lemas membuatnya tak berdaya.

"Hei, kalau kau terus melawan, aku bisa saja menjatuhkanmu, tahu?" balas Kaito dengan nada menggoda sambil berjalan terhuyung-huyung mengikuti Aoi.

Di belakang, Ai dan Souta membantu Ren, yang mulai kehabisan tenaga, melanjutkan pendakian. Ren agak terkulai sedikit di bahu mereka berdua, sementara Ai mencoba memberikan semangat.

"Ren, kau masih kuat, kan? Kita hampir sampai," kata Ai sambil tersenyum, meskipun dirinya sendiri mulai kelelahan.

Ren menggeleng pelan. "Aku tidak tahu... rasanya aku sudah tidak punya tenaga lagi," ujarnya lirih.

"Berjuanglah sedikit lagi, Ren," Souta menimpali. "Lagipula, kau kan tidak ingin membuat dua gadis cantik ini kecewa."

Ren mengangkat alis. "Dua gadis?"

"Ya, aku dan Ai. Kami ini gadis cantikmu, kan?" Souta berkata sambil mengedipkan mata dengan gaya genit.

Ai tertawa kecil. "Souta, kalau kau terus seperti ini, aku mungkin akan memberikanmu sertifikat layak untuk menjadi penghibur."

Percakapan mereka terhenti sejenak saat Ai merasa Ren semakin berat. "Ren, kau baik-baik saja?" tanyanya sambil menatap wajah temannya.

"Aku baik-baik saja," jawab Ren dengan cepat, tapi pandangannya tak menentu.

Souta, yang memperhatikan wajah Ren dengan saksama, tersenyum jahil. "Ah, aku tahu apa yang terjadi."

"Apa maksudmu?" Ai menoleh, bingung.

"Ren itu pasti tersipu karena sekarang dia dipeluk Onee-sama yang cantik, memikat, dan... yah, kau tahu, memiliki aset yang luar biasa," Souta menjawab tanpa malu-malu.

Ren langsung terperanjat, wajahnya memerah hebat. "Souta! Jangan katakan hal seperti itu!"

Ai ikut tersipu, tapi ia tetap menjaga ketenangannya. Ia tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, Ren. Aku mengerti... otak pria memang sering kali sulit dikendalikan, bukan?"

Ren hanya bisa menunduk malu, sementara Ai mencoba membuat suasana lebih ringan. "Yuk, kita lanjutkan perjalanan. Aku akan tetap memelukmu erat, jadi jangan merasa bersalah, oke?" katanya sambil merapikan pegangannya di bahu Ren.

Souta memandang Ai dan Ren bergantian, lalu berbisik pelan, "Cih… Dasar wanita dewasa yang mengerti pria... itu malah semakin berbahaya, tahu."

---

Di Puncak Gunung

Setelah perjuangan panjang, akhirnya mereka mencapai puncak gunung. Aoi adalah yang pertama sampai. Ia dengan hati-hati membaringkan Itsuki yang tertidur di tempat empuk yang terbuat dari selimut tipis yang mereka bawa. Wajah Itsuki terlihat damai, seolah tidak peduli dengan perjalanan melelahkan yang baru saja ia lalui.

Tak lama kemudian, Kaito menyusul. Ia hampir tersungkur di anak tangga terakhir, napasnya terengah-engah. "Akhirnya... sampai juga..." gumamnya dengan suara berat.

Namun, tubuhnya yang sudah kelelahan bergetar, tak sanggup lagi menopang dirinya. Ia jatuh berlutut di ujung anak tangga, masih memeluk Riku dengan erat. "Riku... aku tidak kuat lagi..." katanya dengan nada dramatis.

"Kaito! Jangan menyerah!" Riku mencoba bangkit dari pelukan kakaknya. "Kau tidak boleh mati di sini! Kau harus bertahan untukku!"

"Aku... aku rasa... jiwaku akan keluar..." Kaito menunduk, seolah kehilangan harapan.

Riku, dengan wajah cemas tapi juga geli, menepuk pipi kakaknya. "Jangan mati, Kaito! Kalau kau mati, siapa yang akan membantuku membawa barang-barang?"

Aoi yang mendengar percakapan itu hanya menggeleng sambil tertawa kecil. "Kalian benar-benar pasangan kakak beradik yang aneh."

Sementara itu, Ai, Souta, dan Ren masih berjuang menaiki anak tangga terakhir. Tubuh mereka yang lelah hampir tidak bisa bergerak lagi. Ai, yang menopang Ren, mulai kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terhuyung, wajahnya hampir menabrak wajah Souta.

Souta membeku, menyadari jarak antara wajahnya dan Ai hanya beberapa inci. Nafas Ai yang berat, bercampur dengan peluh di wajahnya, membuat otak Souta bekerja terlalu keras.

"Ai... wajahmu... terlalu dekat," gumam Souta dengan suara kecil, tapi Ai tidak menyadarinya.

Ren, yang mulai merasakan mereka berdua menggantung di tubuhnya, mengeluh. "Hei, kalian berdua, jangan semua berat badan kalian ditumpahkan padaku!"

Namun, Ai dan Souta terlalu sibuk dengan situasi mereka sendiri. Ren, yang merasa dirinya seperti tiang gantungan, akhirnya menyeret mereka berdua dengan sisa-sisa tenaganya.

Setelah perjuangan panjang, mereka bertiga akhirnya mencapai puncak. Namun, begitu mereka sampai, tubuh mereka ambruk bersamaan, saling bertumpukan seperti boneka yang tak berdaya.

"Aku... aku tidak bisa bergerak lagi," keluh Ai sambil terengah-engah.

Suara napasnya terdengar seperti desahan ringan, membuat Souta dan Ren yang berada di dekatnya memerah. Mereka menoleh ke arah lain, mencoba mengalihkan pikiran mereka.

"Apa... apa kalian baik-baik saja?" tanya Ai, menyadari reaksi mereka.

"Tentu saja tidak!" jawab Souta dan Ren bersamaan, wajah mereka merah padam.

---

Istirahat di Puncak

Aoi, yang masih segar bugar, membantu membawa Ai, Souta, dan Ren ke tempat yang lebih nyaman. Ia menyiapkan perkemahan dengan cekatan, membuat api unggun untuk menghangatkan semua orang.

Kabut tebal masih menyelimuti area puncak, membuat jembatan menuju kastil terlihat samar-samar, seperti mengarah menuju ketiadaan. Mereka memutuskan untuk menunggu sampai kabut reda.

Itsuki masih tertidur lelap, sementara Kaito berbaring di dekat Riku dengan napas yang mulai teratur. Ai, yang duduk di dekat api unggun, memeluk lututnya sambil memikirkan kejadian tadi.

"Apa yang terjadi tadi benar-benar memalukan," gumamnya pelan, wajahnya memerah saat mengingat bagaimana ia, Ren, dan Souta saling bertumpukan sambil terengah-engah.

"Ai, kau baik-baik saja?" tanya Aoi, menghampirinya dengan secangkir teh hangat.

Ai mengangguk, mencoba tersenyum. "Aku baik-baik saja... hanya sedikit lelah."

Namun, di dalam hatinya, ia merasa wajahnya ingin meleleh saat mengingat momen canggung bersama kedua sahabatnya.

---

Harta yang Tersimpan

Kabut tebal masih melingkupi puncak gunung, membuat suasana terasa sunyi dan dingin. Namun, api unggun yang menyala hangat membantu mereka mengusir rasa dingin dan lelah setelah perjalanan berat kemarin.

"Baiklah, kita tidak bisa bergerak sebelum kabut ini hilang," ujar Aoi sambil menghangatkan kedua tangannya di dekat api.

"Kita juga tidak tahu apa yang menunggu di kastil nanti," tambah Ren, duduk bersandar dengan wajah lelah.

"Aku yakin kita butuh semua persiapan yang bisa dilakukan. Siapa tahu ada bahaya lebih besar di depan," sahut Kaito sambil menggulung lengan bajunya, memperlihatkan ototnya yang tampak sedikit gemetar karena kelelahan.

Kaito, yang sibuk memeriksa tasnya, tiba-tiba terhenti. "Eh? Apa ini?" katanya, menatap layar notifikasi pada tas inventorynya yang tiba-tiba muncul.

"Pedang pendek ramping dan tajam, berkilau seperti bintang…" Kaito membaca deskripsi item yang muncul di papan notifikasi. "Namanya Stellar Fang! +5 Agility dan bisa membuat serangan lebih cepat."

Itsuki yang duduk tak jauh darinya melirik pedang itu dengan mata berbinar. "Wah! Itu terlihat keren sekali!"

"Itu sepertinya cocok untuk Ai," ujar Aoi, yang duduk di seberang api. "Kau selalu bergerak cepat di pertarungan, dan pedang ini akan menambah keunggulanmu." Menolehkan pandangannya ke Ai.

Tak lama setelah itu, Aoi menemukan item lain di dalam tasnya. "Cloak ini… Celestial Aegis? +20% efektivitas penyembuhan yang diterima?" katanya, terkejut.

"Dan ini apa lagi?" gumamnya sambil mengeluarkan batu kecil bercahaya biru. "Batu penyimpan energi, Eternity Core. Bisa menyimpan mana dan mengisi ulang hingga tiga kali."

"Kak Aoi, itu luar biasa!" seru Itsuki, yang tampak sangat kagum.

"Sepertinya semua ini bagus untukmu, Ai," kata Kaito sambil tersenyum kecil. "Kau selalu jadi tulang punggung tim, jadi wajar kalau kau menggunakan barang sehebat ini."

Ai menerima ketiga benda itu dengan rasa terima kasih. "Aku tidak menyangka kita sudah mendapatkan item seperti ini sebelumnya. Aku sampai lupa tas kita memiliki fungsi yang bisa menyimpan, mengidentifikasi, dan menunjukkan detail setiap item."

Mendengar hal itu, semua orang mulai memeriksa tas mereka masing-masing.

"Wow… aku benar-benar tidak menyadari bahwa perisaiku sehebat ini," kata Aoi sambil mengamati perisainya yang besar berwarna emas gelap dengan desain seperti matahari bersinar.

"Titan Shield. Memberikan tambahan Endurance +50 dan memblokir serangan apa pun di bawah Rank 2."

Aoi kemudian mengeluarkan sepasang pelindung lengan yang tampak kukuh namun elegan. "Dan ini… Adamantine Bracers. Menambah Strength +20 dan memberikan resistensi terhadap efek sihir."

Wajahnya berseri-seri, jelas ia senang dengan temuan tersebut. "Sepertinya aku benar-benar seorang ksatria yang tak tergoyahkan sekarang," katanya sambil tersenyum lebar.

---

Itsuki, yang sebelumnya hanya diam, mengeluarkan sebuah liontin bercahaya lembut. "Ini… namanya Ethereal Pendant, ya? Bisa memanggil peri level tinggi?" katanya, menatap liontin itu dengan kagum.

Tak lama kemudian, Kaito kembali menemukan sesuatu, seperti sebuah bola kecil bercahaya biru. "Kau mungkin membutuhkan ini juga Itsuki. Mana Orb. Menambah Intelligence +20 dan mempercepat regenerasi mana."

"Terima kasih, Kak Kaito!" ujar Itsuki dengan mata berbinar.

Ren, di sisi lain, menemukan sebuah katalis berbentuk cincin yang memancarkan panas. "Waaah.. Ini Flame Catalyst. Menambah Intelligence +20 dan memberikan sihir elemen api."

Namun, saat memeriksa tongkat sihir yang ia bawa, ia menyadari sesuatu. "Tunggu, tongkat ini ternyata lebih cocok untukmu Riku."

Ren kemudian memberikan tongkat itu kepada Riku, yang segera mengidentifikasinya. "Ini Support Staff. Meningkatkan efek sihir penyembuhan +20%," kata Riku sambil tersenyum.

Sebagai gantinya, Riku menerima buku sihir yang ia temukan di tasnya kepada Ren. "Arcane Tome. Mengurangi konsumsi mana untuk semua sihir."

Souta yang sedari awal sudah membawa busur, akhirnya menyadari nilai senjata yang ia bawa sejak perjalanan di reruntuhan hutan raksasa.

"Panah ini… Storm Arrows. Memiliki efek acak setiap kali ditembakkan? Crit, elemen, atau yang lainnya? Ini luar biasa!" katanya dengan mata berbinar.

Ia juga memegang busur panjangnya dengan bangga. "Dan ini Bow of Destiny. Menambah Luck +30 dan membuat semua serangan memiliki akurasi sempurna."

Sementara itu, Kaito tertawa keras saat menemukan sepasang sarung tangan besar dan armor berat di dalam tasnya. "Haha! Aku benar-benar seorang petarung sejati!" serunya.

Sarung tangan itu, Gauntlets of Titan, menambah Strength +30 dan meningkatkan kekuatan pukulan. Sedangkan armornya, Bulwark Plate, memberikan tambahan Endurance +20 dan resistensi terhadap serangan fisik.

Namun, penemuan yang paling mengejutkan adalah pedang besar yang ia bawa sejak lama. "Jadi ini sebenarnya Elemental Greatsword. Pedang yang dapat menyesuaikan elemen pengguna?" katanya, kagum.

---

Persiapan Menuju Kastil

Setelah semua orang selesai memeriksa dan membagikan item, suasana menjadi lebih semangat. Ai berdiri, mengenakan jubah barunya dan memegang pedang rampingnya.

"Kita benar-benar mendapatkan banyak kekuatan dari semua ini," katanya dengan senyum percaya diri.

Aoi mengangguk. "Sekarang kita hanya perlu menunggu kabut ini hilang dan kita bisa melanjutkan perjalanan."

Sementara itu, Riku duduk di dekat api unggun, memegang tongkat barunya. "Aku tidak sabar untuk melihat bagaimana semua item ini bekerja di medan pertempuran nanti."

Ren tertawa kecil sambil memegang buku sihirnya. "Jangan terlalu bersemangat, Riku. Kita masih harus melewati jembatan itu dulu."

"Kalian semua terlihat siap untuk berperang, ya," kata Kaito dengan nada bangga, memeriksa sarung tangannya sekali lagi. "Mari kita pastikan tidak ada yang bisa menghentikan kita."

Namun, di sudut, Ai masih memikirkan momen tadi pagi ketika ia, Ren, dan Souta saling bertumpukan. Wajahnya memerah sedikit saat ingatan itu melintas di kepalanya.

"Fokus, Ai. Fokus," gumamnya pelan, mencoba mengalihkan pikirannya kembali ke misi mereka.

Saat kabut mulai sedikit menipis, mereka semua tahu bahwa perjalanan ke kastil akhirnya akan dimulai.