Chereads / Seven Footsteps of Fate (Indonesia) / Chapter 17 - Babak Baru di Dalam Kastil

Chapter 17 - Babak Baru di Dalam Kastil

Setelah pintu kastil terbuka dan cahaya biru terang dari lingkaran sihir menghilang, mereka melangkah masuk dengan hati-hati. Suasana di dalam kastil benar-benar berbeda dari apa yang mereka bayangkan. Tidak ada kegelapan atau kehancuran seperti yang mereka lihat dari luar. Sebaliknya, interior kastil dipenuhi dengan arsitektur megah yang berkilauan. Dinding-dindingnya terbuat dari batu putih mengilap, dihiasi dengan ukiran rumit berbentuk simbol-simbol kuno yang memancarkan cahaya lembut.

Lantainya adalah marmer halus yang memantulkan bayangan mereka, sementara pilar-pilar besar menjulang tinggi ke langit-langit yang seolah tak berujung. Di sepanjang lorong, lampu-lampu kristal melayang, memancarkan cahaya lembut yang menerangi jalan mereka.

"Ini... luar biasa," kata Itsuki dengan mata berbinar, melupakan rasa lelah sejenak. "Seperti berada di dunia lain."

"Aku tidak menyangka bagian dalamnya akan seperti ini," tambah Souta, memandang sekeliling dengan kagum. "Dari luar, kastil ini tampak seperti tempat yang ditinggalkan selama berabad-abad."

"Tapi jangan lengah," kata Ai dengan nada tegas. "Kita tidak tahu apa yang menunggu di sini. Tetap waspada."

Mereka terus berjalan menyusuri lorong panjang yang tampaknya tidak berujung. Setiap langkah mereka menggema, menciptakan suasana sunyi yang hampir menyesakkan. Di beberapa tempat, mereka melihat pintu-pintu besar yang tertutup rapat, dengan simbol aneh terpahat di permukaannya.

"Sepertinya pintu-pintu ini tidak bisa dibuka," kata Ren setelah mencoba mendorong salah satu pintu. "Mungkin kita harus menemukan sesuatu untuk membukanya nanti."

"Atau mungkin pintu-pintu ini hanya hiasan," kata Kaito dengan nada santai, meskipun dia tetap berjaga-jaga.

Setelah beberapa saat, mereka tiba di sebuah aula besar yang terbuka lebar. Aula itu memiliki langit-langit yang tinggi, dihiasi dengan mural-mural yang menggambarkan pemandangan pertempuran epik antara manusia dan makhluk-makhluk raksasa. Di tengah aula, terdapat sebuah air mancur besar yang memancarkan air bercahaya. Air itu mengalir dengan tenang, menghasilkan suara gemericik yang menenangkan.

"Apa ini?" tanya Riku, mendekati air mancur tersebut. "Airnya... terasa hangat."

"Ini bukan air biasa," kata Ai, memperhatikan cahaya yang dipancarkan air itu. "Mungkin ini semacam energi sihir."

Aoi, yang masih terlihat lelah, mendekati air mancur dan menyentuh permukaannya. Dalam sekejap, cahaya dari air itu menyelimuti tubuhnya, dan luka-luka yang sebelumnya terlihat di tubuhnya mulai menghilang. Wajahnya yang tadinya pucat kini kembali berseri-seri.

"Air ini... bisa menyembuhkan lukaku," kata Aoi dengan nada terkejut. "Sepertinya kita bisa memulihkan energi kita di sini."

"Bagus sekali," kata Souta, mendekat untuk mencelupkan tangannya ke air mancur. "Akhirnya setelah semua yang kita lalui, ini seperti hadiah."

Mereka semua bergantian mendekati air mancur, membiarkan energi penyembuhan itu mengalir ke tubuh mereka. Rasa lelah dan nyeri yang mereka rasakan perlahan-lahan menghilang. Bahkan Ai, yang biasanya tidak mudah menunjukkan kelemahannya, tampak lebih santai setelah merasakan efek air itu. "Waaah… nyamannya…".

"Setidaknya kita tidak perlu khawatir tentang pertempuran lain untuk sementara waktu," kata Ren sambil meregangkan tubuhnya.

Setelah beristirahat sejenak, mereka melanjutkan perjalanan. Lorong berikutnya membawa mereka ke sebuah ruangan besar yang dipenuhi dengan patung-patung. Setiap patung menggambarkan sosok ksatria yang memegang senjata berbeda. Beberapa dari mereka membawa pedang, tombak, busur, atau bahkan tongkat sihir. Namun, yang menarik perhatian adalah ekspresi patung-patung itu. Wajah mereka tampak hidup, seolah-olah sedang mengamati setiap langkah kelompok itu.

"Patung-patung ini... terlalu realistis," kata Riku dengan nada khawatir. "Aku tidak suka perasaan ini."

"Jangan terlalu dekat," kata Ai, memperhatikan setiap detail ruangan. "Jika mereka bergerak, kita mungkin akan terjebak dalam pertempuran lain."

Namun, patung-patung itu tetap diam, tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Mereka terus berjalan melewati ruangan itu dengan hati-hati, hingga akhirnya tiba di sebuah pintu besar yang dihiasi dengan ukiran rumit. Di tengah pintu, terdapat simbol lingkaran sihir yang sama seperti yang mereka lihat sebelumnya.

"Sepertinya ini adalah pintu utama," kata Kaito, mencoba mendorongnya. Namun, pintu itu tidak bergeming.

"Harus ada cara untuk membukanya," kata Ai, memeriksa simbol di pintu tersebut. "Mungkin ada sesuatu di sekitar sini yang bisa kita gunakan."

Mereka mulai memeriksa ruangan itu dengan teliti. Di sudut ruangan, Souta menemukan sebuah pedestal kecil yang tampaknya memiliki hubungan dengan pintu. Di atas pedestal itu, terdapat sebuah bola kristal yang memancarkan cahaya redup.

"Ini mungkin kuncinya," kata Souta, mengambil bola kristal itu. Saat dia menyentuhnya, cahaya dari bola itu mulai menyala terang, dan simbol di pintu utama mulai bersinar.

"Bagus, sepertinya itu berhasil," kata Ren, yang berdiri di dekat pintu. "Ayo kita buka."

Dengan dorongan ringan, pintu besar itu mulai terbuka, memperlihatkan sebuah ruangan lain yang lebih megah. Di dalamnya, terdapat sebuah singgasana besar yang tampak seperti terbuat dari emas, dihiasi dengan permata-permata yang bersinar. Namun, ruangan itu kosong, tidak ada siapa pun di sana.

"Apakah ini... akhir dari perjalanan kita?" tanya Itsuki, melangkah masuk dengan hati-hati.

"Tidak mungkin ceritanya sudah tamat begitu saja," kata Ai dengan nada bercanda. "Tempat ini terlalu tenang. Pasti ada sesuatu yang kita lewatkan."

Mereka terus memeriksa ruangan itu, mencoba mencari petunjuk. Namun, sebelum mereka menemukan apa pun, suara lembut namun tegas terdengar dari arah singgasana.

"Selamat datang, para pengembara," kata suara itu, menggema di seluruh ruangan. "Kalian telah melewati ujian pertama. Namun, perjalanan kalian baru saja dimulai."

---

Ruangan Singgasana yang Misterius

Kelompok itu langsung memasang kuda-kuda begitu suara misterius menggema di ruangan megah itu. Mata mereka mengarah ke singgasana besar yang tampak kosong. Namun, perlahan, di atas kursi emas itu, bayangan samar mulai terbentuk. Seorang pria berjubah panjang dengan aura yang memancarkan kekuatan muncul. Wajahnya tertutup oleh tudung, tetapi matanya bersinar dengan warna keemasan.

"Siapa kau?" tanya Ai dengan nada tegas, berdiri di depan kelompoknya. Tangan kirinya memegang senjatanya erat, siap bertarung kapan saja.

"Aku hanyalah penjaga tempat ini," jawab pria itu dengan nada tenang. "Kalian telah membuktikan keberanian kalian, tetapi ini baru permulaan. Kastil ini menyimpan rahasia yang tidak dapat diakses oleh sembarang orang. Jika kalian ingin melanjutkan, kalian harus memahami tujuan kalian."

"Apa maksudmu?" tanya Riku, memegang tongkatnya erat. Matanya tetap waspada.

"Setiap langkah yang kalian ambil di tempat ini akan menguji bukan hanya kekuatan, tetapi juga hati dan pikiran kalian," pria itu melanjutkan. "Namun, sebelum kalian melangkah lebih jauh, aku akan memberikan sesuatu yang mungkin kalian butuhkan."

Dengan gerakan tangannya, pria itu menciptakan lingkaran sihir di udara. Dari dalam lingkaran itu, muncul tiga benda bercahaya yang perlahan melayang ke arah kelompok tersebut. Sebuah buku, sebuah kalung, dan sebuah kristal kecil jatuh dengan lembut di depan mereka.

"Apa ini?" tanya Souta sambil menatap benda-benda itu dengan penuh penasaran.

"Buku itu akan memberikan pengetahuan tentang tempat ini. Kalung itu akan melindungi jiwa kalian dari bahaya sihir kegelapan. Dan kristal itu... adalah kunci untuk membuka jalan berikutnya," jelas pria itu.

Ai mengambil buku itu dengan hati-hati, membuka halamannya yang tampak kosong. Namun, begitu dia menyentuhnya, tulisan-tulisan bercahaya muncul di permukaan kertas. "Sepertinya ini semacam panduan," katanya.

"Apa maksudmu dengan jalan berikutnya?" tanya Kaito, memandang pria itu dengan curiga.

"Kalian akan segera mengetahuinya," jawab pria itu sebelum tubuhnya perlahan memudar, meninggalkan ruangan itu dalam keheningan.

---

Melanjutkan Perjalanan

Setelah pria misterius itu menghilang, kelompok tersebut memutuskan untuk memeriksa buku yang diberikan. Ai membacanya dengan suara pelan, mencoba memahami isi dari tulisan-tulisan bercahaya itu. "Ada peta kastil ini," katanya. "Dan... sepertinya ada beberapa ruangan penting yang harus kita kunjungi sebelum mencapai inti kastil."

"Bagus," kata Ren. "Setidaknya kita tidak akan tersesat."

Mereka meninggalkan ruangan singgasana dan mulai mengikuti peta di buku itu. Jalanan yang mereka lalui semakin gelap, tetapi kalung yang diberikan pria tadi memancarkan cahaya lembut, menerangi langkah mereka.

Lorong berikutnya dipenuhi dengan ukiran-ukiran aneh di dinding, menggambarkan pertempuran antara manusia dan makhluk-makhluk raksasa. Beberapa gambar menunjukkan manusia menggunakan sihir dan senjata yang tampak mirip dengan yang mereka temukan di lorong sebelumnya.

"Apakah ini... semacam sejarah tempat ini?" tanya Itsuki, matanya tertuju pada salah satu ukiran.

"Mungkin," jawab Riku. "Tapi kita tidak tahu pasti. Yang jelas, tempat ini memiliki hubungan dengan kekuatan besar."

Setelah beberapa saat, mereka tiba di sebuah ruangan besar dengan lantai kaca yang memperlihatkan pemandangan dunia di bawah mereka. Awan-awan tebal bergerak perlahan, dan sinar matahari yang samar menerobos masuk, menciptakan suasana yang hampir magis.

"Indah sekali," kata Aoi, yang kini tampak lebih segar setelah dipulihkan sebelumnya. Dia memandang ke bawah dengan takjub.

"Tapi jangan terlalu lama terpesona," kata Ai. "Kita masih punya tugas."

Di tengah ruangan, mereka menemukan sebuah altar kecil dengan simbol yang sama seperti yang ada di pintu masuk kastil. Di atas altar itu, terdapat sebuah celah berbentuk kristal.

"Sepertinya ini tempat untuk kristal yang kita dapatkan tadi," kata Souta.

Ai mengeluarkan kristal kecil itu dan meletakkannya di celah tersebut. Begitu kristal itu masuk, lantai kaca di bawah mereka mulai bersinar, dan lingkaran sihir besar muncul, mengelilingi mereka.

"Siap-siap!" teriak Kaito, mengangkat senjatanya, mengira mereka akan diserang lagi.

Namun, tidak ada musuh yang muncul. Sebaliknya, lantai kaca itu perlahan berubah menjadi jalan setapak yang mengarah ke ruangan lain di ujung ruangan.

"Sepertinya ini jalan berikutnya," kata Ren dengan nada lega.

---

Ruangan Akhir

Mereka mengikuti jalan setapak itu hingga tiba di sebuah ruangan kecil yang hanya berisi sebuah meja dan kursi. Di atas meja itu, terdapat sebuah gulungan kertas yang disegel dengan simbol yang sama seperti yang ada di altar.

"Apakah ini... sesuatu yang penting?" tanya Itsuki, mendekati meja itu.

Ai mengambil gulungan itu dan membukanya. Isinya adalah peta yang lebih detail dari bagian dalam kastil, menunjukkan lokasi yang disebut sebagai "Ruang Inti."

"Sepertinya ini adalah tujuan kita," kata Ai sambil menunjukkan peta itu kepada yang lain.

"Kalau begitu, ayo kita lanjutkan," kata Souta.

Namun, sebelum mereka bisa bergerak, suara pintu besar yang terbuka terdengar.

"Sepertinya itu jalannya," kata Kaito.

Mereka berjalan mendekati pintu. Pintu itu kini terbuka lebar, memperlihatkan jalan menuju bagian dalam yang lebih dalam.

"Ayo," kata Ai. "Perjalanan kita belum selesai."

Mereka melangkah masuk ke dalam bagian terdalam kastil, meninggalkan pintu besar yang perlahan tertutup di belakang mereka.

Eksplorasi Menuju Ruang Inti

Setelah melewati pintu besar yang kini tertutup rapat, kelompok itu melangkah masuk ke dalam bagian kastil yang lebih dalam. Udara di dalam terasa dingin, bercampur dengan aroma debu dan sihir kuno. Cahaya redup dari obor-obor yang menyala di sepanjang dinding memberikan suasana yang misterius namun menegangkan.

Lorong-lorong di dalam sana dipenuhi dengan ukiran rumit dan patung-patung yang tampak seperti penjaga, masing-masing menggenggam senjata berbeda. Beberapa patung bahkan tampak seperti hidup, dengan mata mereka yang tampak mengikuti langkah kelompok itu.

"Jangan lengah," kata Ai, memimpin di depan. "Kastil ini sepertinya penuh dengan mekanisme dan jebakan."

Aoi, yang kini telah kembali segar, selalu berjaga di dekat Itsuki, memastikan adiknya tidak terlalu jauh darinya. Souta berjalan di belakang mereka, sesekali mengamati setiap sudut ruangan dengan panah di tangan, berjaga-jaga jika ada ancaman mendadak.

---

Lorong Ilusi

Mereka tiba di sebuah lorong panjang dengan dinding-dinding cermin. Begitu mereka melangkah masuk, bayangan mereka di cermin mulai bergerak sendiri, menciptakan ilusi yang membingungkan.

"Apa ini?" tanya Riku, memegang tongkatnya erat. "Bayangan kita bergerak tanpa kita?"

Ren mengamati salah satu cermin dengan saksama. "Ini sihir ilusi. Mungkin ini cara kastil untuk menguji mental kita."

"Ai-nee, apa yang harus kita lakukan?" tanya Itsuki, berdiri lebih dekat ke kakaknya.

Ai berpikir sejenak sebelum membuka buku panduan yang mereka dapatkan sebelumnya. Di salah satu halaman, tertulis: 'Untuk melewati lorong ilusi, percayalah pada bayanganmu sendiri.'

"Percayalah pada bayangan kita," gumam Ai. "Itu berarti kita harus mengikuti gerakan bayangan kita, bukan melawan mereka."

Mereka mencoba berjalan dengan gerakan yang sama seperti bayangan mereka di cermin. Awalnya sulit, terutama bagi Kaito yang terus mengeluh bahwa gerakannya terlalu aneh. Namun, perlahan mereka mulai menyesuaikan diri. Setelah beberapa langkah, lorong itu mulai berubah, dan mereka tiba di sebuah pintu besar yang berkilauan.

"Sepertinya kita berhasil," kata Souta dengan nada lega.

---

Perpustakaan Kuno

Di balik pintu besar itu, mereka menemukan sebuah ruangan yang dipenuhi rak-rak buku yang menjulang tinggi. Ruangan itu terasa seperti tidak berujung, dengan jutaan atau milyaran buku yang tampaknya berusia ratusan tahun.

"Wow... ini luar biasa," kata Ren, matanya berbinar melihat koleksi buku yang begitu banyak.

"Ini lebih dari sekadar perpustakaan kastil," kata Riku sambil mengamati rak-rak buku. "Ini seperti pusat pengetahuan alam semesta."

Di tengah ruangan, mereka menemukan sebuah meja besar dengan sebuah buku yang terbuka. Buku itu tampaknya menulis sendiri, dengan huruf-huruf bercahaya yang muncul di halamannya.

"Ini pasti sesuatu yang penting," kata Ai, mendekati buku itu.

Begitu Ai menyentuh buku itu, suara lembut terdengar di dalam ruangan. "Selamat datang, para pelancong. Kalian telah melewati ujian awal, tetapi perjalanan kalian belum selesai. Di depan kalian, ada jalan menuju Ruang Inti. Gunakan pengetahuan yang kalian temukan di sini untuk membuka jalan itu."

Kemudian buku itu mulai menampilkan peta detail kastil, menunjukkan rute langsung menuju Ruang Inti. Informasi itu mengalir begitu saja dari buku sihir di perpustakaan menuju buku yang dibawanya. Merekapun mengamati peta itu dengan seksama. Namun di sepanjang rute itu, terdapat beberapa simbol aneh yang tidak mereka kenali.

"Apa arti simbol-simbol ini?" tanya Kaito.

"Mungkin itu adalah segel atau petunjuk mekanisme yang harus kita aktifkan," jawab Ai. "Kita harus lebih teliti."

Mengikuti peta dari buku, mereka tiba di sebuah ruangan yang dipenuhi dengan roda-roda gigi besar dan tuas-tuas kuno. Di tengah ruangan, terdapat sebuah panel dengan beberapa simbol yang sama seperti yang mereka lihat di peta.

"Ini pasti salah satu segel," kata Souta. "Tapi bagaimana cara mengaktifkannya?"

Riku memeriksa panel itu dengan saksama. "Sepertinya ini semacam teka-teki. Kita harus memutar roda-roda ini dalam urutan tertentu."

Dengan bantuan buku panduan, mereka mulai memutar roda-roda gigi sesuai dengan simbol yang ditunjukkan. Setelah beberapa kali mencoba, mereka berhasil mengaktifkan mekanisme itu. Sebuah suara gemuruh terdengar, dan salah satu simbol di peta mereka mulai bersinar.

"Itu baru satu mekanisme," kata Ai. "Masih ada beberapa lagi."

---

Ruang Inti

Setelah mengaktifkan semua segel dan melewati jalan yang terbuka, mereka akhirnya tiba di Ruang Inti. Ruangan itu berbentuk bulat, dengan dinding-dinding yang dipenuhi ukiran bercahaya. Di tengah ruangan, terdapat sebuah portal besar yang memancarkan cahaya biru lembut.

"Ini pasti portal menuju Ethereal Lands," kata Ren, matanya terpaku pada portal itu.

Namun, di depan portal itu, berdiri sebuah patung besar yang tampaknya hidup. Patung itu memegang pedang besar dan tampak seperti penjaga terakhir.

"Apa ini?" tanya Itsuki, bersembunyi di belakang Aoi.

Sebelum mereka bisa bergerak, patung itu berbicara dengan suara berat. "Hanya mereka yang memiliki tujuan mulia yang dapat melangkah ke Ethereal Lands. Buktikan kelayakan kalian."

Ai melangkah maju, berdiri di depan patung itu. Lalu dia menunjukan sebuah medalion.

Patung itu menatap medalion berbentuk serigala yang di pegang Ai selama beberapa detik sebelum perlahan menurunkan pedangnya. "Baiklah, kalian diizinkan melangkah."

Portal itu mulai bersinar lebih terang, dan suara lembut terdengar, memanggil mereka untuk melangkah masuk. Dengan hati-hati, kelompok itu berjalan menuju portal, meninggalkan Ruang Inti dan menuju Ethereal Lands.