Ditengah percakapan mereka di pemandian, para pelayan mendekati mereka dengan senyum ramah. Salah satu pelayan anggun dengan suara lembut berkata, "Sebelum makan malam, kami akan membantu kalian berganti pakaian dan berdandan agar lebih nyaman."
Semua orang langsung mengangguk dengan antusias. Para pelayan kemudian memandu mereka ke kamar masing-masing. Namun, untuk Ai dan Aoi, ada perlakuan khusus. Mereka dibawa ke kamar Ai, karena para pelayan merasa bahwa anak kembar harus didandani bersama agar terlihat lebih identik.
"Silakan masuk, Nona Ai dan Nona Aoi," ujar seorang pelayan sambil membuka pintu kamar yang luas dan mewah.
Begitu masuk, Ai dan Aoi disambut oleh suasana ruangan yang harum dengan aroma bunga-bungaan. Di tengah ruangan, pakaian-pakaian indah telah disiapkan, menggantung dengan rapi. Namun, belum sempat mereka mengagumi lebih jauh, para pelayan langsung mendekat dengan penuh semangat.
"Anak kembar seperti kalian harus terlihat sempurna bersama!" kata salah satu pelayan dengan senyum ceria.
"Tunggu... Apa maksudnya—" Ai belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika para pelayan tiba-tiba menanggalkan jubah mandi yang mereka kenakan secara bersamaan.
"A-Apa yang kalian lakukan?!" seru Ai dengan wajah merah padam, sementara Aoi langsung menutup tubuhnya dengan kedua tangan, merasa sangat malu.
Namun, di tengah rasa canggung mereka, para pelayan justru memancarkan aura antusiasme yang luar biasa. Mata mereka berbinar-binar seperti predator yang baru saja menemukan mangsa empuk.
"Ya ampun, kulit mereka sehalus sutra!" seru salah satu pelayan sambil memeriksa tubuh Ai.
"Dan lihat ini, proporsi tubuh mereka benar-benar sempurna. Seperti boneka porselen hidup!" tambah pelayan lainnya, memandangi Aoi dengan kagum.
Keduanya tidak tahu harus berbuat apa selain membiarkan para pelayan bekerja. Ai mencoba menutupi rasa malunya dengan bicara, "Tolong cepat selesai... Ini terlalu memalukan."
Namun, para pelayan malah tampak semakin senang. Mereka mulai mempermainkan Ai dan Aoi seolah-olah sedang mendandani boneka. Rambut mereka diatur dengan hati-hati, kulit mereka diberi wewangian lembut, dan pakaian yang dikenakan pun dipilih dengan penuh perhatian.
"Ini cocok sekali untukmu, Nona Ai," ujar salah satu pelayan sambil memasangkan gaun biru muda yang elegan.
"Dan untuk Nona Aoi, gaun ini akan membuat kalian terlihat identik!" tambah pelayan lainnya dengan semangat, memasangkan gaun serupa pada Aoi.
Ai mendesah, berusaha untuk tidak terlalu banyak bergerak. "Rasanya seperti aku sedang dipermainkan..."
Aoi, yang awalnya canggung, mulai sedikit terbiasa. Dia tersenyum kecil dan berbisik kepada Ai, "Kak, ini seperti bermain boneka, tapi kita bonekanya."
Ai melirik adiknya dengan senyum tipis. "Aku tidak yakin ini hal yang harus dinikmati, Aoi."
Para pelayan tertawa kecil mendengar percakapan mereka. "Maafkan kami, Nona. Tapi kalian berdua terlalu cantik untuk tidak kami dandani dengan sepenuh hati!"
Ketika akhirnya mereka selesai, Ai dan Aoi berdiri di depan cermin besar. Mereka terdiam sesaat, terkejut melihat hasilnya.
"Kak, kita... benar-benar terlihat seperti putri," ucap Aoi sambil memandang bayangannya sendiri dengan mata berbinar.
Ai mengangguk, matanya melembut. "Ya, dan kita benar-benar terlihat identik."
Para pelayan tersenyum puas, memandangi hasil karya mereka. "Kalian berdua benar-benar sempurna. Semua orang pasti akan terpesona melihat kalian nanti."
Meski sedikit malu, Ai dan Aoi akhirnya tersenyum juga. Setidaknya, mereka merasa puas dengan perhatian dan usaha yang diberikan para pelayan. "Terima kasih," ujar Ai dengan tulus.
"Ya, terima kasih banyak," tambah Aoi sambil membungkuk kecil.
Setelah itu, mereka pun bersiap untuk bergabung dengan yang lain, merasa lebih percaya diri dengan penampilan baru mereka.
Penampilan Baru yang Mencuri Perhatian
Pintu kamar mulai terbuka satu per satu, dan masing-masing dari mereka keluar dengan didampingi oleh pelayan pribadi. Para pelayan tampak bangga dengan hasil kerja mereka, dan dengan senyum penuh percaya diri.
Aoi dan Ai keluar terakhir dari kamar mereka. Keduanya mengenakan gaun biru muda yang identik, dihiasi dengan sulaman perak berbentuk bunga-bunga kecil yang bersinar lembut di bawah cahaya lilin. Rambut mereka diatur rapi dalam gaya kepang yang melingkar di bagian atas kepala, memberikan kesan anggun namun sederhana. Mereka mengenakan anting-anting kecil berbentuk bintang, yang menambah pesona mereka. Ai masih merasakan sensasi terbakar ketika telinganya ditusuk anting untuk pertama kalinya.
Ketika keduanya muncul, semua orang langsung terpaku. Mata mereka tak bisa lepas dari pemandangan yang menakjubkan itu.
"Kalian berdua..." Souta berusaha berkata sesuatu, tetapi tidak menemukan kata yang tepat.
Ren, yang biasanya tenang, hanya bisa melongo. "Luar biasa... Aku bahkan tidak bisa membedakan siapa yang Ai dan siapa yang Aoi."
Aoi tersenyum kecil, lalu melirik Ai. Dengan isyarat mata, mereka sepakat untuk bermain rahasia. Ai menanggapi dengan nada santai, "Mungkin kalian tidak perlu tahu. Cukup panggil kami berdua Ai-Aoi saja."
Souta mengerutkan dahi. "Itu tidak membantu."
Sementara itu, Itsuki langsung berlari mendekati kedua bibinya. "Ai-nee! Aoi-nee! Kalian cantik sekali!" serunya dengan penuh semangat.
Ai membungkuk sedikit, mengusap kepala Itsuki. "Terima kasih, Itsuki. Tapi siapa yang Ai dan siapa yang Aoi, hmm?"
Itsuki tampak bingung, tetapi ia hanya tertawa kecil. "Aku tidak peduli, kalian berdua sama-sama cantik!"
Kaito, di sisi lain, mencoba mendekati dengan gaya sok santai. "Kalau begitu, bagaimana kalau aku panggil kalian berdua 'Sayang' saja?"
Namun, sebelum ia bisa melanjutkan, Ren memukul bahunya. "Jangan bikin suasana jadi aneh, Kaito."
Riku keluar dari kamarnya mengenakan gaun panjang berwarna hijau zamrud dengan aksen emas di bagian leher dan pinggang. Rambutnya yang biasanya tergerai kini diikat ke belakang dengan pita emas. Ia tampak anggun namun tetap menunjukkan sisi kepribadiannya yang ceria.
Souta dan Ren, yang mengenakan setelan formal sederhana dengan warna gelap, terlihat rapi dan bersahaja. Mereka tidak banyak bicara, tetapi tatapan mereka menunjukkan rasa kagum terhadap para wanita di kelompok itu.
Kaito, meskipun mengenakan pakaian yang sama dengan Souta dan Ren, mencoba menambahkan sentuhan pribadi dengan mengancingkan setelan hingga ke leher. Namun, penampilannya tetap kalah mencolok dibandingkan yang lain.
"Baiklah, cukup dengan kekaguman kalian," kata Ai sambil tersenyum. "Kita akan terlambat makan malam kalau terus seperti ini."
Makan Malam yang Mewah
Di ruang makan, meja panjang sudah disiapkan dengan hidangan mewah yang tersusun rapi. Lampu gantung kristal di atas meja memancarkan cahaya lembut yang memantulkan kilauan dari peralatan makan perak. Hidangan mulai dari sup hangat, roti segar, hingga hidangan utama berupa daging panggang dan sayuran eksotis tersaji dengan indah.
Mereka duduk sesuai keinginan masing-masing. Ai dan Aoi memilih duduk bersebelahan di tengah meja, sementara Itsuki duduk di antara mereka. Riku mengambil tempat di sebelah Aoi, sedangkan Souta dan Ren duduk di sisi lain meja. Kaito, dengan senyum lebar, mencoba duduk di depan Ai, tetapi segera mendapat tatapan tajam dari Riku, yang membuatnya pindah ke ujung meja dengan cemberut.
Selama makan malam, suasana penuh kehangatan. Mereka saling berbagi cerita tentang pengalaman mereka sejauh ini, sesekali bercanda tentang bagaimana penampilan mereka sekarang.
"Jujur saja," kata Souta sambil menyuap daging panggang. "Aku merasa seperti sedang berada di pesta kerajaan."
Ren mengangguk. "Aku bahkan tidak yakin kapan terakhir kali aku makan makanan seperti ini."
Itsuki, yang menikmati setiap gigitan makanannya, berkata dengan polos, "Aku suka supnya! Rasanya seperti pelukan hangat."
Ai tertawa kecil. "Kau benar, Itsuki. Makanan ini benar-benar luar biasa."
Kaito, yang mencoba mencuri perhatian, berkata dengan nada bercanda, "Tapi aku lebih suka kalau makan malam ini ditemani musik romantis. Mungkin aku bisa memainkan sesuatu?"
Ren langsung menyela. "Tidak perlu, Kaito. Kami sudah cukup bahagia tanpa gangguanmu."
Makan malam berakhir dengan hidangan penutup berupa kue lembut dengan lapisan krim dan buah-buahan segar. Setelah selesai, para pelayan datang untuk membereskan meja dan mengantar mereka kembali ke kamar masing-masing.
Saat kembali ke kamar, suasana berubah menjadi lebih tenang. Ai dan Aoi berjalan berdampingan, saling tersenyum dengan hangat. Mereka merasa lebih dekat satu sama lain setelah semua yang mereka lalui hari ini.
Itsuki berjalan di depan mereka, menggandeng tangan Riku. "Riku-nee, terima kasih sudah membawaku ke sini. Aku sangat senang."
Riku tersenyum lembut, memeluk Itsuki. "Aku juga senang, Itsuki. Kau adalah bagian dari keluarga kami."
Di belakang mereka, Souta dan Ren berjalan berdampingan. Souta melirik Ren dengan ekspresi santai. "Kau tahu, malam ini benar-benar menyenangkan."
Ren mengangguk. "Ya, meskipun aku harus mengawasi Kaito agar tidak melakukan hal aneh."
Souta tertawa kecil. "Itu memang tugas berat."
Kaito, yang berjalan paling belakang, hanya mendesah sambil mengangkat bahu. "Aku tidak aneh. Aku hanya selalu jujur dengan perasaanku."
Setelah sampai di kamar masing-masing, mereka semua beristirahat dengan nyaman. Hari yang panjang dan penuh kejutan telah berlalu, dan mereka bersiap untuk menghadapi hari baru yang mungkin akan membawa tantangan dan petualangan baru.
Malam yang Tak Terduga
Malam itu, kastil Ethereal Lands yang megah dan sunyi hanya diterangi cahaya bulan yang masuk melalui jendela besar di sepanjang lorong. Kaito menggeliat gelisah di tempat tidurnya. Perutnya terasa tidak nyaman, dan ia tahu penyebabnya: makan malam yang terlalu lezat dan porsinya yang berlebihan.
"Aduh, kenapa sekarang sih?" gumamnya sambil bangkit dari tempat tidur. Ia menggeliat, lalu menatap pintu kamarnya dengan wajah lelah. "Aku harus ke toilet... tapi di mana tempatnya?"
Dengan langkah tergesa, ia mulai menyusuri lorong, mencoba mengingat penjelasan para pelayan sebelumnya tentang letak fasilitas itu. Namun, setiap belokan tampak sama, dan setiap pintu terlihat identik. "Kenapa kastil ini besar sekali sih?" keluhnya sambil memegangi perut.
Saat akhirnya menemukan toilet dan menyelesaikan urusannya, Kaito merasa lega. Ia berjalan kembali ke kamarnya dengan langkah lebih santai. Namun, ketika melewati salah satu lorong, ia melihat sesuatu yang membuatnya terhenti.
Seorang wanita berambut panjang, mengenakan pakaian tidur sederhana, berjalan pelan menuju salah satu kamar. Ia mengenalinya—itu Ai.
"Eh? Ai? Tengah malam begini?" gumam Kaito. Ia memperhatikan dari balik sudut, melihat Ai membuka pintu kamar Souta dan masuk ke dalam.
Kaito langsung tertegun. "Apa yang dia lakukan di kamar Souta? Jangan-jangan...!" pikirannya mulai dipenuhi dugaan aneh.
Tak bisa menahan rasa ingin tahunya, ia mendekati pintu kamar dan mengintip dari celah kecil. Di dalam, ia melihat Souta, Ren, dan Ai duduk di lantai, tampak berbicara dengan tawaan sambil memperhatikan sesuatu yang ada di depan mereka.
Namun, dalam kegelapan dan jarak yang terbatas, Kaito tidak bisa melihat dengan jelas. Imajinasi liarnya mulai mengambil alih. "Apa-apaan ini? Tengah malam, satu kamar, dua pria, satu wanita... Jangan-jangan mereka... Astaga, ini dosa besar!"
Dengan tanpa ragu, Kaito membuka pintu lebar-lebar dan masuk. "Apa-apaan kalian ini?! Tidak tahu malu! Berbuat tidak senonoh di tengah malam seperti ini! Apalagi TANPA mengajak aku yang masih perjaka ini!" serunya penuh emosi.
Ketiganya langsung terbelalak, kaget dengan tuduhan tiba-tiba itu. Ren, yang sedang memegang buku, menjatuhkannya ke lantai. Ai, yang duduk bersila, membeku di tempat dengan wajah memerah. Souta, yang sedang memegang cangkir teh, hampir tersedak.
"K-Kaito?!" Ren akhirnya bersuara, wajahnya memerah. "Apa maksudmu?! Kami tidak melakukan sesuatu seperti yang kau katakan!"
Kaito menunjuk mereka dengan ekspresi penuh tuduhan. "Tidak usah menyangkal! Aku lihat sendiri Ai masuk ke kamar ini! Dan kalian... bertiga... di kamar yang sama, tengah malam! Jangan coba-coba menipu aku!"
Ai, yang baru menyadari situasinya, langsung menunduk dengan wajah merah padam. "A-aku... aku hanya..." Ia kehilangan kata-kata.
Ren mencoba menjelaskan dengan terbata-bata. "Kami... kami hanya... berdiskusi! Ya, berdiskusi!"
"Berdiskusi?" Kaito mendengus. "Diskusi apa tengah malam begini? Dan kenapa harus di kamar pria?!"
Ai semakin gugup. "Aku... aku hanya ingin menunjukan buku itu ke Souta! Aku benar benar tidak berpikir tadi, dan kupikir tidak apa-apa... Aku tidak memikirkan kalau ini... eh... tidak baik."
Souta mengangguk cepat. "Benar! Ai hanya menunjukkan buku itu, lalu kami mulai ngobrol soal rencana besok!"
Kaito menyipitkan mata, tidak yakin. "Bahasan apa yang begitu penting sampai harus ngobrol di kamar pria tengah malam?"
Ren mengangkat buku yang tadi ia jatuhkan. "Ini, kami sedang membahas buku yang kita dapatkan di kastil. Tidak ada yang aneh!"
Kaito memandang mereka satu per satu, masih curiga. Namun, ekspresi malu-malu mereka membuatnya mulai ragu. "Jadi... kalian tidak...?"
"TIDAK!" jawab ketiganya serempak, wajah mereka merah padam.
Ai akhirnya berdiri, memegang kedua tangannya di depan dada dengan gugup. "Aku minta maaf... Aku benar-benar tidak memikirkan kalau ini bisa dianggap tidak pantas. Aku akan kembali ke kamar sekarang."
Ia membungkuk cepat, lalu berbalik dan berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, ia menoleh dengan wajah yang masih memerah. "Itsuki tidur sendirian, jadi aku harus menemaninya."
Setelah Ai pergi, keheningan menyelimuti kamar. Souta dan Ren saling bertukar pandang, lalu memandang Kaito.
"Kenapa kau selalu berpikir yang aneh-aneh?" Souta menghela napas.
Kaito menggaruk belakang kepalanya, merasa malu. "Yah, aku cuma... khawatir. Kalian tahu, aku kan pria yang peduli moral."
Ren mendengus. "Moral? Kau tadi bilang kesal karena tidak diajak!"
"Eh... itu cuma bercanda," kata Kaito sambil tersenyum canggung.
Souta menggelengkan kepala. "Sudahlah. Lebih baik kita tidur. Hari ini sudah cukup melelahkan."
Ren mengangguk setuju. "Hey Kaito, lain kali, pikirkan dulu sebelum menuduh."
Kaito hanya mengangkat bahu, lalu berjalan keluar kamar. "Baik, baik. Aku akan tidur sekarang. Selamat malam."
Mereka berdua menghela napas lega setelah Kaito pergi, lalu melanjutkan tidur mereka masing-masing. Di sisi lain, Ai kembali ke kamarnya dengan wajah yang masih merona, berjanji dalam hati untuk lebih berhati-hati di masa depan.