Sinar matahari pagi menembus lembut melalui jendela besar kamar tamu, menerangi pemandangan yang begitu damai. Di atas tempat tidur besar, Lady Seraphina, Ai, Aoi, Riku, dan Itsuki tertidur dengan harmonis, saling berpelukan dalam formasi yang terlihat begitu hangat. Senyum-senyum kecil menghiasi wajah mereka, seolah malam sebelumnya penuh dengan mimpi-mimpi indah.
Para pelayan yang datang mengantarkan teh pagi sejenak tertegun di ambang pintu, enggan mengganggu momen penuh kedamaian itu. Namun, tugas tetaplah tugas. Seorang pelayan muda memberanikan diri mendekat, sementara yang lainnya menatap penuh simpati.
"Mohon maaf, Tuan Putri," ujar pelayan itu dengan suara selembut mungkin, "sudah pagi. Kami harus membantu kalian bersiap."
Aoi mengerjap pelan, matanya terbuka setengah. "Hmmm... lima menit lagi… ehehe" gumamnya, memeluk Ai lebih erat.
Riku yang tertidur di pinggir tempat tidur menggeliat dan hampir jatuh, tapi seorang pelayan dengan cekatan menangkapnya. "Oh, maaf!" ujar Riku, kini terbangun sepenuhnya, wajahnya merah karena malu.
Lady Seraphina, yang berada di tengah formasi itu, perlahan bangun. Rambut panjangnya terurai indah meski sedikit kusut. Dengan suara yang masih lembut karena baru bangun tidur, dia berkata, "Maafkan aku, aku sudah merepotkan kalian. Aku akan segera kembali ke kamarku."
Pelayan pribadinya, seorang wanita setengah baya bernama Miriam, masuk dengan tergesa-gesa. "Lady Seraphina, Anda tidak boleh menghilang seperti ini. Semua orang mencarimu dari tadi!"
Lady tersenyum lembut. "Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersama tamu-tamu istimewa kita, Miriam. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Miriam mendesah, tapi senyumnya tetap terlihat. "Baiklah, tapi setidaknya beri tahu kami lain kali. Kami akan membantumu jika kau ingin menginap di tempat tamu."
Setelah itu, para tamu dan Lady dipisahkan untuk bersiap. Lady kembali ke kamarnya untuk mandi dan didandani oleh pelayannya, sementara Ai, Aoi, Riku, dan Itsuki juga mendapatkan perhatian penuh dari para pelayan istana.
Setelah semuanya selesai bersiap dan berpakaian indah, Lady Seraphina mengumpulkan mereka di aula besar. Dengan senyuman khasnya, dia berkata, "Hari ini, aku akan mengajak kalian berkeliling Ethereal Lands. Aku ingin kalian melihat sendiri keindahan dan kemegahan tempat ini."
Perjalanan dimulai dengan kereta kuda yang disediakan khusus untuk para tamu. Lady menjelaskan setiap tujuan dengan detail saat mereka mendekati lokasi pertama.
Kereta berhenti di depan kompleks besar yang terdiri dari bangunan-bangunan bergaya klasik dengan pilar-pilar tinggi yang megah. Bendera keluarga Lex berkibar di setiap sudut, melambangkan dedikasi mereka terhadap pendidikan.
"Ini adalah Pusat Akademi," jelas Lady Seraphina. "Keluarga Lex telah mengelola institusi pendidikan di Ethereal Lands selama berabad-abad. Mereka terkenal dengan disiplin dan dedikasi mereka dalam mencetak para pemimpin."
Para tamu turun dari kereta dan segera disambut oleh pemandangan para pelajar berpakaian seragam rapi yang sedang berjalan dalam barisan menuju aula besar. Langkah mereka terkoordinasi, mencerminkan nilai-nilai kedisiplinan yang diajarkan di sini.
"Wow," gumam Riku. "Mereka ini terlihat begitu... berintelektual."
"Dan rapi," tambah Aoi, memperhatikan taman-taman yang terawat dengan sempurna di sekeliling kompleks.
Ai, yang sejak tadi mengamati dengan tenang, berkata, "Disiplin seperti ini pasti sulit diterapkan. Keluarga Lex pasti sangat luar biasa."
Lady Seraphina mengangguk. "Mereka memang luar biasa, meskipun pendekatan mereka yang mengacu pada hukum terkadang dianggap terlalu kaku oleh beberapa orang."
Dari Pusat Akademi, perjalanan dilanjutkan ke Pusat Perdagangan. Tempat ini berbeda drastis dari sebelumnya. Suara bising kendaraan terbang, para pekerja yang sibuk mengangkut barang, dan hiruk-pikuk para pedagang menyambut mereka.
"Selamat datang di Pusat Perdagangan," kata Lady Seraphina sambil tersenyum. "Keluarga Mercator mengelola seluruh perdagangan di Ethereal Lands. Mereka adalah jantung ekonomi kami."
Kereta melintasi pasar besar yang penuh warna. Berbagai barang dari seluruh penjuru negeri dipajang, mulai dari kain sutra halus hingga perangkat teknologi mutakhir.
"Lihat itu!" seru Itsuki, menunjuk kendaraan terbang besar yang mengangkut peti-peti kayu. "Apa itu?"
"Itu adalah kargo udara," jawab Lady Seraphina. "Barang-barang ini akan dikirimkan ke seluruh penjuru dunia menggunakan kendaraan itu."
Aoi terlihat kagum. "Mereka benar-benar sibuk. Sepertinya tidak ada yang berhenti bekerja di sini."
Lady mengangguk. "Benar. Keluarga Mercator dikenal dengan efisiensi mereka. Mereka menerapkan sistem kerja bergilir yang berlangsung sepanjang waktu memastikan tidak ada yang tertunda."
Tujuan terakhir adalah Pusat Pelayanan Masyarakat, sebuah tempat yang mencerminkan kesejahteraan dan keindahan. Bangunan-bangunannya lebih ditonjolkan, dengan desain yang elegan dan penuh warna.
"Ini adalah wilayah keluarga Concordia," ujar Lady Seraphina. "Mereka bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat Ethereal Lands, termasuk kesejahteraan negerinya sendiri."
Mereka berjalan melewati taman besar dengan air mancur yang indah, teater terbuka yang sedang dipadati penonton, dan banyak gedung-gedung perkantoran yang ramai dengan orang-orang berlalu-lalang.
"Ini seperti kota dalam kota," komentar Ai, matanya mengamati setiap sudut dengan kagum.
"Dan semuanya terlihat begitu menyenangkan," tambah Riku, tersenyum melihat anak-anak bermain di taman.
Lady Seraphina tersenyum. "Itulah tujuan utama keluarga Concordia. Mereka memastikan setiap warga Ethereal Lands merasa dihargai dan sejahtera."
Setelah berkeliling, Lady membawa mereka kembali ke istana. "Jadi, bagaimana pendapat kalian tentang Ethereal Lands?" tanyanya dengan lembut.
"Tempat ini benar-benar luar biasa," jawab Aoi. "Setiap sudutnya terasa seperti karya seni."
"Dan setiap keluarga memainkan peran yang sangat penting," tambah Ai. "Aku rasa itulah yang membuat Ethereal Lands menjadi sehebat ini."
Lady tersenyum. "Terima kasih. Aku berharap kalian bisa menikmati lebih banyak lagi selama di sini."
Perjalanan itu menanamkan kesan mendalam pada para tamu. Ethereal Lands bukan hanya tempat megah, tetapi juga bukti harmoni dan kerja sama yang luar biasa.
Setelah perjalanan panjang berkeliling Ethereal Lands, rombongan Lady Seraphina kembali ke istana dengan penuh rasa kagum. Namun, sesampainya di aula utama, mereka menyadari ada sesuatu yang aneh.
"Eh, kemana perginya para pria?" tanya Aoi sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Seorang penjaga yang berjaga di dekat pintu memberi hormat sebelum menjawab. "Para pria—Ren, Kaito, dan Souta—sejak pagi-pagi sekali sudah pergi ke markas militer keluarga Solis."
"Sejak pagi?" Riku mengerutkan dahi. "Apa yang mereka lakukan di sana?"
"Latihan," jawab penjaga itu singkat.
Rasa penasaran membuat rombongan itu memutuskan untuk pergi ke markas militer keluarga Solis. Dengan ditemani beberapa pelayan, mereka menaiki kereta menuju lokasi.
---
Markas Militer Keluarga Solis
Markas itu berdiri megah dengan desain yang mencerminkan kekuatan dan ketangguhan. Bangunan utama dikelilingi lapangan luas tempat para prajurit berlatih. Sesampainya di sana, mereka melihat ketiga pria itu sedang sibuk dengan latihan masing-masing.
Kaito sedang berlatih dengan seorang pendekar wanita senior. Gerakannya penuh semangat, meski terkadang terlalu berlebihan hingga membuat mentornya menghela napas.
"Lakukan dengan lebih tenang, Kaito!" seru mentornya. "Kekuatanmu luar biasa, tapi jika kau tidak mengendalikannya, kau hanya akan menghancurkan dirimu sendiri."
"Aku mengerti!" balas Kaito sambil mencoba lagi, meski gerakannya masih sedikit terlalu kuat.
Di sisi lain, Souta sedang berlatih strategi pengintaian bersama seorang pria pemanah profesional. Dia memegang busur dengan penuh konsentrasi, menyesuaikan sudut tembaknya sebelum melepaskan anak panah yang melesat sempurna ke sasaran.
"Bagus, tapi jangan terlalu percaya diri," ujar mentornya. "Pengintaian membutuhkan kesabaran dan kehati-hatian. Satu kesalahan kecil bisa mengungkap keberadaanmu."
"Dimengerti, Sensei," jawab Souta sambil mengangguk.
Sementara itu, Ren sedang berdiskusi sengit dengan pria tua yang menjadi mentornya tentang sihir. Bola-bola energi melayang di udara, menciptakan pola-pola rumit yang terus berubah.
"Tidak, tidak, tidak! Kau harus memperhatikan aliran mananya!" tegur mentornya.
"Tapi jika aku menambah tekanan di sini, hasilnya akan lebih efektif," bantah Ren sambil mencoba menunjukkan eksperimennya.
Diskusi mereka terdengar seperti debat ilmiah yang serius, membuat para wanita yang mengamati dari kejauhan ternganga.
"Hey hey… Sejak kapan mereka jadi rajin begini?" gumam Aoi, matanya terpaku pada ketiga pria yang terlihat sangat serius.
Riku mengangguk setuju. "Baru sehari di Ethereal Lands, tapi mereka sudah seperti ini. Apa mereka terkena semacam mantra motivasi?"
Ai menyilangkan tangan, wajahnya datar. "Kalau aku, sih, tidak perlu berlatih seperti itu. Aku terlalu malas."
Aoi dan Riku menoleh bersamaan, lalu tersenyum tipis. "Tentu saja," jawab Aoi sambil terkekeh kecil.
Namun, perhatian Lady Seraphina terfokus pada Kaito. Matanya mengikuti setiap gerakan pria itu, yang meski terlihat sedikit ceroboh, tetap memancarkan semangat dan ketulusan. Dalam hati, Lady merasa kagum. "Dia benar-benar berusaha keras…" gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Ai, Aoi, dan Riku mendengar gumaman itu. Mereka saling pandang, lalu tersenyum kecil, meski dengan nada sarkastis.
"Betapa beruntungnya Kaito," ujar Aoi pelan.
"Dan betapa sialnya Lady Seraphina," tambah Riku sambil menghela napas.
Setelah selesai mengamati latihan, mereka pergi ke taman untuk beristirahat. Para pria bergabung dengan mereka di taman kecil yang dipenuhi bunga-bunga berwarna cerah.
"Kalian benar-benar rajin ya," komentar Riku sambil duduk di atas rumput.
"Tentu saja," jawab Kaito dengan bangga. "Aku ingin menjadi lebih kuat. Kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi selanjutnya."
Souta mengangguk. "Dan aku merasa tempat ini memberi kita banyak kesempatan untuk belajar hal baru."
Ren, yang terlihat sedikit lelah, menambahkan, "Lagipula, ini Ethereal Lands. Jika kita tidak memanfaatkan semua fasilitasnya, rasanya seperti menyia-nyiakan peluang."
Ai, yang berbaring santai di bangku taman, hanya mengangkat bahu. "Aku sih tidak tertarik. Kalau ada masalah, aku tinggal minta kalian yang menyelesaikannya."
"Tipikal Ai," komentar Aoi sambil terkekeh.
Percakapan mereka terus berlanjut dengan penuh canda tawa, menciptakan suasana yang ceria dan harmonis di bawah langit biru Ethereal Lands. Meski lelah, mereka merasa puas dengan apa yang telah mereka pelajari dan alami hari itu.
Setelah beristirahat sejenak mereka kembali ke istana untuk bersantai menikmati camilan dan teh.
Di bawah naungan pohon besar yang rindang, suasana di taman terasa tenang. Ai, Aoi, Riku, Itsuki, dan Lady Seraphina duduk santai di sebuah meja kecil yang dihiasi set teh elegan. Sementara itu, Kaito, Souta, dan Ren mendekati mereka dengan wajah penuh semangat meski tubuh mereka penuh keringat dan debu akibat latihan keras di markas militer.
Namun, Ai segera mengangkat tangannya, menghentikan langkah mereka. "Tunggu, diam disitu," katanya dengan nada santai namun tegas. "Kalian bau, kotor, dan tidak pantas mendekati tempat minum teh kami."
Ketiga pria itu terdiam, ekspresi mereka berubah dari semangat menjadi bingung dan sedikit terluka.
"Ai…" gumam Kaito dengan nada memelas.
Namun sebelum suasana menjadi terlalu suram, Ai tersenyum kecil. "Jangan cemberut begitu. Setelah kalian bersih-bersih, aku akan mengijinkan kalian bergabung. Riku, tolong obati luka mereka dulu, ya."
Riku menghela napas, lalu berdiri. "Baiklah, baiklah. Kalian bertiga, duduk di sana. Jangan terlalu dekat," katanya sambil mengeluarkan sihir penyembuhnya. Cahaya lembut menyelimuti tubuh ketiga pria itu, menyembuhkan luka-luka kecil yang mereka dapatkan dari latihan.
Sementara itu, Ai mengambil gelas berisi air dari meja, berjalan mendekati Kaito, dan tanpa peringatan menyiramkan air tersebut ke wajahnya.
"Hei!" protes Kaito, meski belum sempat menyelesaikan kata-katanya, Ai sudah mengeluarkan sapu tangan dan dengan lembut menyeka wajahnya.
"Jangan protes," kata Ai santai, tatapannya tajam namun penuh perhatian. "Kenapa kalian bersungguh-sungguh sekali pagi ini? Apa yang kalian kejar?"
Kaito menggaruk belakang kepalanya, sedikit canggung. "Yah… ada banyak alasan. Aku ingin lebih kuat, ingin bisa melindungi teman-temanku, dan…" Dia berhenti sejenak, menatap Ai dengan senyum jahil. "Siapa tahu ada satu atau dua gadis yang tertarik, kan?"
Ai tertawa kecil, senyum tipisnya penuh arti. "Itu alasan yang sangat khas dirimu, Kaito. Tapi baguslah kalau kau punya motivasi."
Kaito tersenyum lebar, merasa sedikit bangga. Namun, senyumnya semakin lebar saat Ai menambahkan, "Kau sudah berjuang dengan sangat keras, bagaimana apakah kau ingin hadiah?"
"H-hadiah?" tanya Kaito, matanya berbinar.
"Ya," jawab Ai santai. "Apa yang kau inginkan?"
Tanpa berpikir panjang, Kaito dengan lantang berkata, "Aku ingin kita berkencan!"
Semua orang di taman terdiam. Aoi menatap Kaito dengan mulut setengah terbuka, Riku menghela napas panjang, dan Lady Seraphina membeku di tempatnya, wajahnya langsung memerah.
Namun, yang paling mengejutkan adalah jawaban Ai. "Baiklah," katanya tanpa ragu sedikit pun.
"Kau serius?!" Kaito hampir melompat dari tempat duduknya, matanya membelalak.
Ai mengangguk, tetap tenang. "Tentu saja. Kau belum sempat berkeliling Ethereal Lands hari ini, kan? Jadi, sebagai gantinya, aku akan menemanimu setelah ini."
Aoi memandang Ai dengan tatapan penuh pertanyaan. "Kau yakin?" tanyanya.
"Tentu saja," jawab Ai santai. "Lagipula, Ren dan Souta juga harus berkeliling setelah ini. Kalian bisa membawa mereka juga. Ajak Riku dan Aoi untuk menemani kalian."
Lady Seraphina, yang sejak tadi diam, tiba-tiba berdiri. Wajahnya penuh kebingungan dan kecemasan, namun tidak satu pun kata keluar dari mulutnya. Dia terlihat seperti ingin menghentikan sesuatu, tapi tidak tahu bagaimana caranya.
Ai menoleh ke arahnya, ekspresinya tetap tenang. "Lady Seraphina, apa kau mau ikut?" tanyanya dengan nada santai namun penuh perhatian.
Lady Seraphina menundukkan wajahnya, wajahnya semakin merah. Dengan suara pelan dan malu-malu, dia menjawab, "Kalau… kalau boleh…"
Ai tersenyum kecil, lalu berkata, "Tentu saja boleh. Semakin ramai, semakin seru, kan?"
Lady hanya mengangguk pelan, sambil mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. Sementara itu, Aoi dan Riku saling pandang, tidak tahu harus tertawa atau merasa kasihan pada Lady.
"Baiklah," kata Ai akhirnya. "Kalau begitu, ayo kalian bersih-bersih dulu. Kita akan lanjutkan rencana ini setelah kalian siap."
Para pria segera bergegas ke kamar mereka untuk membersihkan diri, sementara para wanita tetap di taman, saling berbincang dengan suasana yang mulai kembali ceria. Di tengah tawa kecil mereka, Lady Seraphina hanya bisa menatap Ai dengan campuran rasa kagum dan sedikit rasa iri.