Kabut yang menyelimuti puncak gunung mulai perlahan memudar, tertiup angin dingin yang menggigit. Semua anggota kelompok berdiri di tepi jurang, menanti dengan penuh antisipasi. Mereka mengerjapkan mata, mencoba menyesuaikan pandangan mereka dengan perubahan yang terjadi. Dan di sanalah, di balik kabut yang menghilang, sebuah kastil megah menjulang tinggi.
---
Pemandangan Kastil
Kastil itu berdiri di puncak gunung lain, lebih tinggi dari tempat mereka berada. Dinding-dindingnya berwarna gelap dengan aksen perak yang bersinar redup, menciptakan perpaduan mewah namun misterius. Puncak menara-menara kastil menjulang ke langit, mengoyak awan yang menggantung rendah. Dari kejauhan, mereka bisa melihat jendela-jendela tinggi dengan kaca mozaik berwarna-warni, memantulkan cahaya suram yang terasa tidak alami.
"Luar biasa…" gumam Itsuki kecil dengan suara pelan, matanya membulat penuh kekaguman.
"Megah sekali, tapi… ada sesuatu yang aneh," ujar Souta, alisnya berkerut. "Kenapa rasanya seperti kastil itu mengawasi kita?"
"Bukan hanya itu," tambah Ren. "Lihat di sekitar kastil. Tanah di sana… tidak seperti tanah biasa."
Benar saja, tanah di sekitar kastil tampak mati. Tidak ada vegetasi, hanya hamparan batu hitam yang pecah-pecah, seperti bekas terbakar sesuatu yang sangat panas. Udara di sekelilingnya tampak bergetar, seolah ada energi misterius yang keluar dari kastil.
---
Jembatan yang Megah dan Misterius
Untuk mencapai kastil, ada sebuah jembatan panjang yang membentang di atas jurang raksasa. Jembatan itu terbuat dari batu gelap, dihiasi dengan ukiran rumit yang memancarkan cahaya keemasan samar. Pilar-pilar besar di sepanjang jembatan menjulang tinggi, menopang struktur yang tampak kokoh namun penuh teka-teki.
"Aku tidak pernah melihat jembatan seperti ini," kata Kaito sambil menatap takjub. "Setiap detailnya seperti… hidup."
"Ya," sambung Aoi, yang berdiri di depan rombongan. "Ukiran ini… lihat, seperti menceritakan sesuatu. Seperti sejarah."
Mereka semua mendekat untuk melihat lebih jelas. Ukiran-ukiran di sepanjang dinding jembatan menggambarkan pertempuran besar, makhluk-makhluk fantastis, dan pahlawan-pahlawan yang bertarung melawan bayangan gelap.
"Sepertinya ini adalah kisah para penjaga kastil," ujar Ai sambil menyentuh salah satu ukiran. "Tapi kenapa ada begitu banyak bayangan di ukirannya? Apakah itu musuh mereka, atau sesuatu yang lain?"
Ren mengangguk setuju. "Aku merasa seperti kisah ini belum selesai. Ada sesuatu yang menunggu kita di sana."
Jembatan itu sangat panjang, dengan kabut tipis yang masih menggantung di atas jurang di bawahnya, menambah kesan misteri. Mereka tidak bisa melihat dasar jurang, seolah-olah hanya kegelapan yang tak berujung.
---
Keputusan untuk Melanjutkan
"Kita harus menyeberang," kata Ai, suaranya tegas. "Kastil itu adalah tujuan kita, dan kita tidak akan tahu apa yang terjadi sampai kita tiba di sana."
Aoi mengangguk. "Aku akan berjalan di depan. Jika ada bahaya, aku bisa menahannya."
Kaito menepuk bahu Aoi. "Aku akan berada tepat di belakangmu. Kalau ada musuh, kau jadi perisai, aku jadi pedang."
Ai tersenyum kecil. "Rencana yang bagus. Aku dan Souta akan menjaga di belakang, memastikan tidak ada yang tertinggal."
Mereka semua mulai bergerak perlahan di atas jembatan. Setiap langkah mereka menggema di udara, menambah kesan bahwa mereka sedang berjalan menuju sesuatu yang besar dan tidak diketahui.
Saat mereka mencapai tengah jembatan, angin mulai bertiup lebih kencang, membawa suara seperti bisikan.
"Apakah kalian mendengar itu?" bisik Itsuki, memegang erat liontin di lehernya.
"Angin?" jawab Riku, tapi wajahnya menunjukkan keraguan.
"Tidak… seperti suara orang berbicara. Tapi aku tidak bisa memahami apa yang mereka katakan," kata Ren sambil memandang ke sekeliling.
Mereka berhenti sejenak, mencoba mencari asal suara itu, tapi tidak ada apa pun kecuali angin yang bertiup di antara pilar-pilar jembatan.
"Jangan teralihkan," ujar Ai dengan suara tegas. "Fokus pada tujuan kita."
Namun, semakin mereka melangkah maju, semakin jelas suara bisikan itu terdengar. Ai memimpin rombongan dengan penuh kewaspadaan, tapi bahkan dia tidak bisa menahan rasa cemas yang perlahan merayap ke dalam hatinya.
"Ai," panggil Souta pelan. "Kau yakin kita baik-baik saja?"
"Tidak ada pilihan lain," jawab Ai sambil menggenggam pedangnya dengan erat. "Kita harus terus maju."
---
Akhirnya di Depan Gerbang
Setelah perjalanan panjang yang terasa seperti berjam-jam, mereka akhirnya mencapai ujung jembatan. Di depan mereka, berdiri sebuah gerbang raksasa dengan dua patung penjaga yang menjulang tinggi di kedua sisinya.
Patung-patung itu menggambarkan sosok manusia dengan sayap besar dan pedang yang terhunus. Mata mereka terbuat dari batu permata merah, yang memancarkan cahaya redup.
"Ini gerbang, bukan sembarang gerbang," kata Aoi sambil menyentuh salah satu patung. "Sepertinya ada sesuatu yang harus kita lakukan untuk membukanya."
"Lihat," ujar Kaito, menunjuk ukiran di tanah di depan gerbang. "Ada simbol di sini."
Mereka semua berdiri mengelilingi simbol tersebut, mencoba memahami arti dari pola rumit yang tergambar di atasnya.
"Apa pun ini," kata Ren, "pasti petunjuk yang memberitahu bagaimana cara untuk membuka gerbang itu."
"Dan aku yakin ini bukan hanya sekadar gerbang," tambah Ai. "Ini adalah ujian pertama kita sebelum masuk ke dalam."
Mereka berdiri di sana, memandangi gerbang raksasa itu, merasakan berat dari perjalanan yang masih panjang di depan mereka. Tapi satu hal yang pasti: mereka tidak akan mundur.
Ai menyentuh simbol di tanah dengan hati-hati. Pola-pola itu tampak bersinar samar saat jarinya menyentuhnya, seperti merespons keberadaannya.
"Souta," Ai memanggil, "bisakah kau melihat apakah ini ada kaitannya dengan sihir atau mekanisme tertentu?"
Souta berjongkok, memeriksa pola itu lebih dekat. "Ini terlihat seperti penghubung sihir. Aku rasa ini adalah semacam segel... mungkin untuk memastikan hanya orang tertentu yang bisa membuka gerbang ini."
"Orang tertentu?" tanya Ren. "Maksudmu kita mungkin tidak bisa membukanya?"
"Tidak juga," jawab Souta. "Tapi aku rasa ini akan meminta sesuatu dari kita. Mungkin kekuatan, atau bahkan sebuah pengorbanan."
Kaito mendengus, melipat tangannya di dada. "Hmm… pengorbanan, ya? Semoga saja itu hanya pengorbanan waktu. Aku tidak mau kehilangan sesuatu yang lebih berharga dari itu."
"Tenang dulu," ujar Aoi sambil melangkah ke depan. "Kalau ini benar-benar segel, kita harus memikirkannya dengan cermat. Jangan bertindak gegabah."
Tiba-tiba, simbol di tanah mulai bercahaya lebih terang, mengeluarkan suara berdengung yang dalam. Semua orang mundur dengan hati-hati, memegang senjata mereka untuk berjaga-jaga.
"Ini pasti merespons keberadaan kita," ujar Ai dengan nada serius.
Sebuah suara yang dalam dan menggema tiba-tiba terdengar dari arah gerbang, seolah berasal dari patung-patung penjaga.
"Siapa yang berani mendekati Kastil Malgareth? Tujuan apa yang kalian cari?"
Suara itu membuat semua orang terdiam sejenak. Itsuki kecil bersembunyi di belakang Aoi, matanya melebar ketakutan.
"Kita adalah para pengembara," jawab Ai dengan tegas. "Kami datang untuk mencari kebenaran di balik misteri dunia ini. Jika ini adalah ujian, kami siap menghadapinya."
"Benar," tambah Kaito. "Kami bukan musuhmu, tapi kami juga tidak akan mundur."
Ada keheningan sejenak sebelum suara itu kembali terdengar.
"Keberanian dan niat kalian akan diuji. Tidak semua yang datang ke gerbang ini akan diizinkan masuk. Buktikan bahwa kalian layak untuk melanjutkan."
---
Sebuah Teka-Teki
Gerbang itu tidak langsung terbuka. Sebaliknya, patung-patung penjaga mulai bergerak perlahan, mengubah posisi mereka berpindah untuk menghalang jalan keluar satu-satunya dari tempat itu.
Di tanah, simbol bercahaya itu mulai berubah bentuk, menciptakan pola baru yang lebih rumit. Sebuah suara bergema lagi, kali ini terdengar seperti bisikan banyak orang.
"Jawablah pertanyaan berikut ini dengan benar, atau tetaplah terkurung di sini selamanya."
Ren melirik Ai. "Sepertinya ini adalah teka-teki. Kita harus menjawabnya dengan benar."
"Apa pun itu," kata Souta, "kita harus bekerja sama. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi jika kita gagal."
Simbol di tanah mulai bercahaya, membentuk tulisan dalam bahasa kuno. Entah bagaimana, Ai, nampaknya sudah mempelajari beberapa teks kuno itu dari reruntuhan sebelumnya, dan dapat membacanya.
"Pertanyaan pertama," Ai membaca dengan suara keras, "Apa yang paling berharga dalam perjalanan seorang pahlawan?"
"Lho, ternyata kamu bisa membaca, Ai? Ujar Souta terkejut. Ai tercekat mendengar pemilihan kata yang Souta gunakan.
"Bibiku memang terbaik." Kaito menanggapi sambil mengacungkan jempol.
"Jangan panggil aku bibi, anak kecil." Teriak Ai yang kesal sambil menjitak kepala Kaito. "Aduh."
"Daripada menghabiskan tenaga untuk meledekku, lebih baik kalian memikirkan jawabannya." Tambahnya.
"Hmm… Keberanian mungkin?" tebak Kaito sambil mengusap kepalanya.
"Bisa jadi," jawab Aoi. "Tapi… mungkin juga bukan. Banyak hal yang bisa dianggap berharga."
"Bagaimana kalau persahabatan?" tanya Ren. "Tanpa persahabatan, kita tidak akan sampai sejauh ini."
Ai merenung sejenak, memandangi teman-temannya. "Aku rasa jawabannya adalah… tekad. Karena tanpa tekad, keberanian, persahabatan, atau apa pun yang lain tidak akan ada artinya."
Ai menyentuh simbol itu lagi dan berkata dengan lantang, "Tekad."
Simbol itu bersinar terang, dan suara dari patung kembali bergema: "Jawabanmu benar. Lanjutkan."
Patung-patung itu kembali ke posisi semula, dan perlahan, gerbang raksasa di depan mereka mulai terbuka, mengeluarkan suara berderit yang dalam dan memekakkan telinga.
Di balik gerbang, sebuah jalan batu menuju pintu masuk kastil terbentang, dikelilingi oleh taman yang sudah mati. Pohon-pohon tanpa daun berdiri seperti bayangan, menambah suasana seram yang melingkupi tempat itu.
"Kita berhasil," ujar Kaito sambil tersenyum kecil.
"Tapi ini baru permulaan," tambah Aoi. "Kita belum tahu apa yang menunggu di dalam sana."
Ai mengangguk. "Mari kita masuk. Takdir kita ada di dalam kastil ini."
Mereka melangkah maju dengan hati-hati, meninggalkan gerbang besar di belakang mereka, siap menghadapi apa pun yang ada di dalam Kastil Malgareth.
---