Chereads / Seven Footsteps of Fate (Indonesia) / Chapter 10 - Pilihan yang (Tak) Terduga

Chapter 10 - Pilihan yang (Tak) Terduga

Langit pagi mulai memudar dari jingga ke biru muda saat kelompok itu melangkah keluar dari gua. Udara dingin khas pegunungan menyapu wajah mereka, menghilangkan sisa-sisa kantuk setelah bermalam dalam dinginnya gua. Pemandangan di depan mereka benar-benar membekukan langkah.

Mereka berdiri di bibir tebing curam. Di sisi kanan mereka, jalur berbatu menurun dengan kasar menuju hutan yang tampak lebih normal dibandingkan hutan raksasa tempat mereka keluar sebelumnya. Pohon-pohon tampak biasa, tanpa batang menjulang tinggi ke langit atau akar sebesar bangunan. Namun, yang benar-benar menarik perhatian mereka adalah hamparan luas di kejauhan.

Di antara lembah-lembah hijau dan sungai yang mengalir berliku, mereka bisa melihat titik-titik kecil seperti rumah di sebuah kota. Namun, lebih dari itu, tanah-tanah melayang di udara membuat pemandangan ini terasa tidak nyata. Ada pulau-pulau terapung dengan pemukiman kecil di atasnya. Di salah satu pulau melayang, tampak gunung tinggi menjulang, dengan puncaknya yang bersalju memancarkan cahaya. Pulau lain tampak seperti hutan belantara yang dipenuhi pepohonan lebat. Yang lebih aneh, ada pulau terapung yang memiliki bangunan besar bercahaya, terlihat seperti teknologi kuno.

Sementara itu, di permukaan tanah, kota-kota besar dengan bangunan bercahaya biru, ungu, dan merah berdiri megah. Di kejauhan, benteng-benteng tinggi dan kokoh membentengi kota-kota tersebut, seperti raksasa yang siap melindungi dunia dari ancaman luar.

Namun, yang paling mengerikan adalah pilar hitam dipenuhi kegelapan di ujung pemandangan. Menara-menara runcing itu menjulang tinggi, seakan menembus langit. Dari tempat mereka berdiri, menara itu tampak kecil, tetapi mereka sadar bahwa itu hanyalah ilusi jarak, karena mereka melihat bagian bawah pilar itu seakan melayang diatas padang pasir yang lebih jauh dari kota kota itu, semua pemandangan ini seolah berada di atas mejanya. Pilar-pilar itu pasti sangat besar, dan sangat jauh di luar imajinasi mereka.

"Luar biasa…" gumam Aoi sambil menutup mulutnya. Ia tidak bisa menahan rasa kagum sekaligus ngeri.

"Itu… dunia ini…" Ren menambahkan, suaranya tercekat.

"Menara itu… terasa jahat," ujar Souta, matanya menyipit seakan mencoba melihat lebih jelas.

Namun perhatian mereka segera beralih ke kiri, di mana mereka melihat sebuah kastil megah bertengger di sisi gunung runcing. Kastil itu tampak seperti bagian dari gunung itu sendiri, dengan jembatan besar yang melintang, menghubungkannya ke gunung lain di seberang. Jembatan itu terlihat seakan melayang di atas ngarai yang sangat dalam.

"Jangan bilang kita harus melewati jembatan itu untuk ke sana," ujar Kaito sambil tertawa gugup.

"Jembatan itu terlihat rapuh…" Riku bergumam sambil merapatkan diri ke Ai.

"Apa ini bahkan dunia yang sama dengan tempat kita berasal?" Itsuki bertanya polos, wajahnya penuh rasa ingin tahu, tapi matanya berkaca-kaca seolah mulai merasa kecil di hadapan besarnya dunia ini.

Ai menelan ludah, mencoba menenangkan pikirannya. Pemandangan ini membuat otaknya bekerja keras mencari rencana. Mereka harus memilih jalan—menuju kota yang jauh di kejauhan, atau kastil megah yang tampaknya lebih dekat namun sangat sulit dijangkau.

---

Diskusi Dimulai

"Kita harus ke kota," ujar Ren dengan nada yakin. "Di sana pasti ada informasi tentang dunia ini."

"Setuju," Souta mengangguk. "Kastil itu terlalu berisiko. Lihat saja rutenya—harus turun gunung, melintasi lembah, dan bahkan mendaki lagi. Kita tidak punya alat atau stamina untuk itu."

"Tapi kota itu terlalu jauh!" Kaito menyela. "Kita bisa menghabiskan berhari-hari, bahkan berminggu-minggu hanya untuk sampai di sana."

"Dan bagaimana kalau hutan di bawah itu tidak seaman kelihatannya?" tambah Aoi.

Ai mendengarkan semua argumen dengan tenang. Ia memperhatikan bagaimana pembicaraan itu bolak-balik tanpa keputusan pasti.

"Tapi kastil itu terlihat seperti tempat yang penting," ujar Ren lagi. "Mungkin ada artefak, petunjuk, atau bahkan seseorang yang bisa menjelaskan apa yang terjadi pada kita."

"Kalau kita bisa sampai di kastil itu, tentu saja," kata Kaito dengan sarkasme. "Melihat jalurnya saja sudah membuatku ingin mundur."

"Tapi kastil itu lebih dekat," Aoi menimpali, suaranya terdengar sedikit ragu.

"Lebih dekat, ya, tapi rutenya seperti neraka," jawab Souta.

Itsuki mengangkat tangan kecilnya, mencoba masuk ke dalam diskusi. "Aku pikir kita harus pergi ke kota. Aku suka kota! Mungkin ada makanan enak di sana!"

Semua tertawa kecil mendengar celotehan Itsuki, membuat suasana sedikit lebih ringan.

"Kau selalu memikirkan makanan," ujar Aoi sambil mengacak rambutnya.

"Karena aku lapar, Kak Aoi!" Itsuki bersikeras, membuat semua orang tertawa lagi.

Namun, diskusi mereka kembali menjadi serius saat mereka menyadari bahwa mereka tidak bisa memutuskan. Setiap kali satu pihak setuju menuju kota, argumen tentang kastil muncul. Begitu juga sebaliknya. Hingga akhirnya…

"Baiklah, cukup!" Ai berseru, memotong diskusi yang tak ada ujungnya. Semua mata tertuju padanya.

"Apa kau sudah memutuskan, Ai?" Ren bertanya, matanya penuh harap.

Ai menarik napas dalam, lalu mengangguk. "Ya. Kita tidak akan pergi ke kota atau kastil."

"Hah?!" Semua orang terkejut.

"Lalu kita mau ke mana?" Kaito bertanya dengan nada setengah mengejek. "Apa ada tempat lain yang lebih masuk akal?"

"Ada," jawab Ai dengan yakin, menunjuk ke salah satu pulau melayang yang tampak seperti hutan belantara. "Kita akan pergi ke sana."

Souta hampir menjatuhkan busurnya. "Ke pulau melayang? Bagaimana caranya? Kita bahkan tidak bisa terbang!"

"Aku tidak tahu," Ai mengaku jujur. "Tapi aku merasa kita harus ke sana. Itu mungkin tempat yang tepat untuk memulai."

"Ini gila," gumam Aoi, tetapi ada secercah keyakinan dalam suaranya. "Tapi… ini Onii-sama. Dia belum pernah salah sebelumnya."

"Kalau Ai-nee yang bilang, aku ikut!" ujar Itsuki sambil tersenyum lebar.

Kaito tertawa kecil. "Baiklah, Ai-chan. Kau yang memimpin. Tapi kalau ini gagal, jangan salahkan kami kalau kami menyebutmu bibi lagi."

"Jangan panggil aku bibi, anak kecil!" Ai membalas dengan kesal sambil memukul lengannya.

Diskusi itu akhirnya berakhir dengan keputusan yang benar-benar tak terduga. Mereka tidak tahu bagaimana cara mencapai pulau melayang itu, tetapi semangat Ai dan keyakinannya menjadi pendorong utama.

---

Momen Keakraban

Setelah diskusi itu, suasana menjadi lebih ringan. Mereka duduk di tepi tebing, menikmati pemandangan sambil memulihkan tenaga.

"Aku tidak percaya sekarang kita punya tiga gadis di kelompok ini," ujar Kaito sambil menyeringai. "Aku merasa seperti berada di surga."

"Berhenti bicara begitu!" Aoi memprotes sambil memukul bahunya. "Kau membuatnya terdengar salah!"

"Tapi dia benar, Kak Aoi," ujar Itsuki polos. "Kalian bertiga cantik sekali!"

"Lihat? Bahkan Itsuki mengakuinya," tambah Kaito dengan nada menggoda.

Ren, yang biasanya tenang, hanya tersenyum canggung. Ia jelas setuju, tetapi memilih untuk diam.

"Kalau kau tidak berhenti, aku akan menghajarmu, Kaito," ancam Ai sambil mengangkat tangannya.

"Oh, jangan begitu, Ai-chan," Kaito menjawab sambil tertawa kecil. "Atau lebih baik kupanggil kakak cantik?"

Ai memerah, lalu dengan cepat memukul bahunya. "Jangan panggil aku begitu, anak kecil!"

Semua orang tertawa, dan momen itu mempererat hubungan mereka. Meski ada banyak tantangan di depan, mereka tahu bahwa persahabatan ini adalah kekuatan terbesar mereka.

---

Akhir Chapter

Mereka akhirnya memutuskan untuk beristirahat semalaman di tempat itu sebelum memulai perjalanan. Namun, di balik canda tawa mereka, bayangan perjalanan menuju pulau melayang masih menghantui pikiran. Dunia baru ini penuh dengan keajaiban, tetapi juga bahaya yang tak terbayangkan.

Mereka hanya bisa berharap bahwa keputusan Ai adalah langkah yang benar.