Chereads / Tujuh jejak takdir (Seven Footsteps of Fate) / Chapter 3 - Pusaran Cahaya dan Awal yang Baru

Chapter 3 - Pusaran Cahaya dan Awal yang Baru

Saat tubuh Haruto tersedot ke dalam portal, sensasi aneh mulai menyelimuti dirinya. Rasanya seperti ditarik ke dalam sedotan karet yang sempit, tubuhnya terkompresi seolah-olah seluruh ruang di sekitarnya mencoba menolak keberadaannya. Dia merasa berputar-putar tanpa arah, seperti terombang-ambing dalam arus deras tanpa ujung.

Di sekelilingnya, warna-warna menyilaukan berkedip seperti petir, dengan garis-garis cahaya yang melesat ke segala arah. Suara berdesir menyerupai angin kencang bercampur gema samar, seolah-olah dunia ini sedang berbisik dan berteriak sekaligus. Haruto mencoba memanggil nama teman-temannya, namun suaranya seolah terserap ke dalam kehampaan.

"Ini… gila. Apa yang sebenarnya terjadi?" pikirnya dengan panik.

Tiba-tiba, sebuah cahaya putih melesat cepat di antara warna-warna yang berputar. Cahaya itu tampak hidup, bergerak seolah-olah mencari sesuatu. Haruto hanya bisa memandang dengan ketakutan saat cahaya itu menabrak tubuhnya.

"Gyaaah!" jerit Haruto. Sensasinya seperti tertabrak bola plasma panas, tubuhnya bergetar hebat, dan rasanya seperti ada energi luar biasa yang memaksa masuk ke dalam dirinya. Dengan keras, ia terlempar ke arah lain, menabrak Riku yang tak sempat menghindar.

"Pmmmn! Ama wanm auw yawuwan?!" teriak Riku teredam, meskipun tubuh mereka berdua terus terlempar seperti boneka yang tidak berdaya.

Di sisi lain, teman-temannya tampak melayang tanpa arah, tetapi mereka tidak terkena cahaya tersebut. Wajah mereka tampak bingung dan ketakutan, namun suara mereka teredam oleh kekosongan di dalam portal.

Kemudian, semuanya berubah. Warna-warna memudar, dan rasa jatuh bebas mulai menggantikan putaran sebelumnya. Haruto menyadari bahwa portal itu telah selesai memuntahkan mereka.

---

Terjun dari Langit

Ketika Haruto membuka matanya, dia menyadari tubuhnya sedang meluncur bebas dari langit yang tinggi. Angin kencang menghantam wajahnya, dan di bawah sana terbentang sebuah pemandangan yang tak pernah dia lihat sebelumnya.

Hutan belantara yang luas dengan pohon-pohon raksasa, sulur-sulur tanaman yang membelit, dan hamparan bunga aneh berwarna-warni menyambut mereka. Di kejauhan, pegunungan berduri menjulang dengan puncaknya yang diselimuti awan gelap. Sebuah sungai berkilauan mengalir seperti pita perak, melingkar di antara hutan dan tanah berbatu.

Namun, Haruto tak punya waktu untuk menikmati pemandangan itu. Dia jatuh dengan cepat, dan tepat di bawahnya ada tanaman sulur raksasa yang melilitkan dirinya seperti jaring laba-laba besar.

"Brak!"

Tubuh Haruto menghantam sulur itu, menyebabkan getaran kecil. Sulur tersebut cukup tebal untuk menopang tubuhnya, tetapi benturan keras itu membuat Haruto kehilangan kesadaran. Ia tergantung terbalik, seperti boneka kain yang lemas.

Di sisi lain, Souta mendarat dengan percikan keras ke dalam sebuah kolam kecil. "Aarghblblb! Ini air? (blublubub) Kenapa dingin sekali! (blublubub)" jeritnya dalam air, mencoba berenang ke tepian sambil menggigil.

Ren, yang jatuh tak jauh dari Souta, mendarat di atas jamur raksasa yang kenyal. "Hah… syukurlah ini lembut," katanya dengan nafas terengah-engah.

Sementara itu, Riku jatuh ke dalam semak belukar yang penuh dengan daun-daun besar. Semaknya cukup empuk untuk meredam benturan, meskipun Riku tampak kesal dengan keadaannya yang kini penuh dengan dedaunan.

Namun, Kaito tidak seberuntung itu. Ia menabrak sebuah batu besar saat terjun, dan kakinya tampak tertekuk dengan sudut yang tidak wajar. Ia meringis kesakitan, berusaha untuk tidak menangis, tetapi luka itu jelas serius.

---

Hutan yang Misterius

Hutan tempat mereka mendarat terlihat seperti diambil dari dunia dongeng. Pepohonan raksasa dengan batang setinggi gedung pencakar langit menjulang, dedaunan mereka bersinar dengan warna hijau kebiruan yang menyala lembut dalam gelap. Di sekitar mereka, bunga-bunga aneh berbentuk bintang memancarkan aroma harum yang manis.

Jamur-jamur raksasa dengan warna-warni cerah berdiri di sekitar, ada yang mengeluarkan cahaya redup seperti lentera. Di tanah, sulur-sulur kecil bergerak perlahan seperti makhluk hidup, mengikuti angin. Burung-burung berwarna cerah beterbangan di langit, sementara suara gemericik air terdengar dari kejauhan.

Namun, keindahan ini tak dapat dinikmati sepenuhnya oleh mereka. Kaito berteriak minta tolong dari tempat dia terjatuh.

"Aaaah! Tolong! Kaki... kakiku sakit sekali!" suaranya menggema di antara pepohonan.

Souta dan Ren segera berlari ke arahnya, sementara Riku masih sibuk mencoba membebaskan diri dari semak belukar. Mereka tidak menyadari bahwa Haruto masih tergantung tak sadarkan diri di sulur di atas kepala mereka.

"Kaito! Bertahanlah, kami di sini!" Ren berlutut di samping Kaito, melihat dengan ngeri pada kaki yang terluka parah.

Namun, sebelum mereka bisa melakukan sesuatu, suara aneh terdengar dari kejauhan. Sebuah geraman rendah, diikuti oleh langkah-langkah berat yang mengguncang tanah.

"Ini… suara apa?" Souta berbisik, menoleh dengan waspada.

Dari balik pepohonan, bayangan besar perlahan muncul, tetapi apa yang mereka lihat hanya awal dari teror baru mereka…

Ketegangan di Hutan yang Asing

Kaito masih merintih kesakitan di tanah, sementara Souta dan Ren berjaga di sekelilingnya, rasa takut mulai menggerogoti keberanian mereka. Riku yang terjerembap di semak belukar berusaha bangkit perlahan, tetapi masih jauh dari jalan keluar. Sementara itu, Haruto tetap tergantung di sulur tanaman, tak sadarkan diri, terlindungi secara tak sengaja dari ancaman yang semakin mendekat.

Langkah berat dan geraman rendah itu semakin mendekat, menggema di antara pepohonan raksasa. Jamur bercahaya di sekitarnya memendar redup, seakan ikut merasakan bahaya yang mendekat. Souta menahan nafas, matanya menyipit mencoba menembus gelapnya hutan.

"Ren… kau lihat sesuatu?" bisiknya.

Ren menggeleng, wajahnya pucat. "Tidak. Tapi suara ini... seperti sesuatu yang besar. Kaito, kita harus menyembunyikanmu."

"Tapi kakiku! Aku tidak bisa bergerak!" Kaito memprotes, wajahnya basah oleh keringat.

Dengan terpaksa, Souta dan Ren mengangkat tubuh Kaito sebaik mungkin, menyeretnya ke belakang batang pohon besar yang roboh. Mereka berusaha tak menimbulkan suara, namun Kaito tak kuasa menahan erangan pelan karena rasa sakit.

Dari balik pepohonan, sosok raksasa akhirnya terlihat. Makhluk itu berbentuk seperti serigala, namun tubuhnya jauh lebih besar dari kuda, dengan bulu hitam legam yang berkilauan seperti kaca obsidian. Mata merahnya menyala terang, penuh kebencian dan amarah. Cakar-cakarnya menggores tanah dengan mudah, menciptakan jejak dalam seperti parit kecil.

Ren menahan nafas, dadanya berdebar keras. "Kita harus tetap diam…" bisiknya hampir tak terdengar.

Makhluk itu mengendus-endus udara, seakan mencari sesuatu. Souta menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri. Namun, ketika makhluk itu menginjak ranting kering, suara patahan yang keras membuat Kaito tersentak panik.

"Aku takut! Aku takut sekali!" bisik Kaito, air matanya mengalir deras.

Souta menutup mulut Kaito dengan tangan gemetar. "Diam, kalau tidak kita semua mati!"

---

Pelarian Dramatis

Makhluk itu mendekat, langkahnya semakin dekat ke arah mereka. Hanya beberapa meter dari tempat mereka bersembunyi, cakar-cakar raksasa itu menggores batang pohon yang roboh. Ren memejamkan mata, berharap makhluk itu segera pergi.

Namun, naasnya, Kaito tak sengaja menggeser kakinya yang terluka, membuat batu kecil berguling keluar dari tempat persembunyian mereka. Batu itu berhenti tepat di depan makhluk tersebut.

Makhluk itu menoleh, mengeluarkan geraman mengerikan. Mata merahnya menatap langsung ke arah mereka.

"Ketahuan!" Souta berseru. "Lari! Cepat!"

Ren membantu Kaito berdiri, meskipun sulit, sementara Souta mengambil ranting besar untuk mengalihkan perhatian makhluk itu. "Hei, sini kau, monster jelek!" teriaknya sambil melempar ranting ke arah makhluk itu.

Makhluk itu menggeram dan langsung mengejar Souta, yang berlari secepat mungkin ke arah lain.

"Jangan mati, Souta!" Ren berteriak, berusaha membawa Kaito menjauh.

Souta berlari di antara pepohonan, melompati akar-akar besar dan memutari semak-semak yang lebat. Jantungnya berdetak kencang, tetapi ia tak punya waktu untuk merasa lelah. Ia terus berteriak dan berusaha membuat sebanyak mungkin suara untuk menarik perhatian makhluk itu menjauh dari teman-temannya.

Di sisi lain, Ren berhasil membawa Kaito ke tempat yang lebih aman di bawah pohon besar dengan lubang alami di pangkalnya. "Kau tunggu di sini. Aku akan mencari cara untuk menutupi kita," katanya.

"Aku takut," kata Kaito, air matanya terus mengalir.

Ren mencoba tersenyum meskipun wajahnya penuh kecemasan. "Kita akan baik-baik saja. Kau hanya perlu bertahan sebentar lagi."

Ren memungut daun-daun besar dan ranting untuk menutupi lubang tempat Kaito bersembunyi, lalu mencoba melihat keadaan Souta yang sedang dalam pelariannya.

---

Souta dalam Bahaya

Sementara itu, Souta kelelahan. Makhluk itu masih mengejarnya, menggeram marah saat ia berlari di sekitar pohon-pohon besar. Ketika kakinya tersandung akar, ia terjatuh dengan keras.

Makhluk itu melompat, cakar raksasanya mengarah tepat ke Souta. Namun, pada saat yang sama, sebuah suara keras menggema dari arah lain.

"WOOAAH!"

Ternyata, sebuah ranting besar jatuh dari atas pohon, menarik perhatian makhluk itu. Makhluk itu menghentikan serangannya dan menoleh. Suara itu berasal dari sulur tempat Haruto tergantung. Sulur tersebut bergetar karena salah satu ujungnya putus, menyebabkan suara seperti ledakan kecil.

Makhluk itu kehilangan minat pada Souta dan berlari ke arah suara itu. Souta memanfaatkan momen ini untuk melarikan diri.

Makhluk itu sekarang berada di bawah sulur tempat Haruto tergantung, tetapi sulur itu cukup tinggi sehingga makhluk tersebut tidak bisa menyadari keberadaannya. Haruto masih pingsan, tidak menyadari bahwa keberuntungannya menyelamatkannya.

Di tempat lain, terdengar suara erangan lemah. "Tolong...," suara itu terdengar dari arah semak-semak. ternyata suara tersebut datang dari Riku, yang masih terperosok di semak belukar.

---

Aoi dan Itsuki: Bertahan di Tengah Kekacauan

Di sisi lain dari hutan, Aoi yang tercebur ke dalam air masih berusaha keras mencapai tepian sungai. Dia menggigil kedinginan, tubuhnya basah kuyup dan sedikit tergores oleh bebatuan tajam di dasar sungai.

"Kenapa aku selalu apes begini?" keluhnya sambil mengibas-ngibaskan rambut basahnya.

Namun, saat ia merangkak ke tepi, sesuatu di air bergerak cepat. Sebuah bayangan besar melintas di bawah permukaan, mendekat ke arah Aoi.

"Ah, apa itu?!" Aoi panik, mencoba berdiri dan berlari, tapi kakinya terpeleset lumpur basah.

Saat bayangan itu muncul ke permukaan, ternyata itu hanyalah sekelompok ikan besar dengan tubuh bercahaya. Aoi menghela napas lega, namun rasa aman itu hanya bertahan sesaat.

Suara gemerisik dari semak-semak di sekitar sungai membuat Aoi kembali waspada. Dengan sisa keberaniannya, dia mengambil batu dari tepi sungai, bersiap untuk melawan apa pun yang mendekat.

Sementara itu, Itsuki yang jatuh di atas jamur raksasa masih berusaha bangun dari permukaan empuk tetapi licin. Setiap kali ia mencoba berdiri, jamur itu bergerak-gerak seperti trampolin, membuatnya terjatuh kembali.

"Ini… menyebalkan! Aku seperti badut di arena sirkus!" Itsuki bergumam kesal, mencoba menjaga keseimbangannya.

Namun, dari atas pohon, suara aneh seperti gerakan makhluk-makhluk kecil mulai terdengar. Daun-daun berjatuhan, dan Itsuki mendongak.

"Ada apa lagi sekarang?!" katanya dengan nada frustasi.

Ternyata, sekelompok makhluk kecil seperti peri, tetapi dengan tubuh serangga, sedang memperhatikan Itsuki dari atas. Mereka memancarkan cahaya hijau yang lembut, seakan penasaran dengan tamu tak diundang yang tiba-tiba mendarat di wilayah mereka.

---

Reuni dan Ketegangan

Setelah perjuangan masing-masing, Aoi akhirnya menemukan jejak yang mengarah ke tempat Itsuki. Ketika dia melihat Itsuki berusaha bangkit dari jamur besar sambil mengomel, Aoi hampir tertawa.

"Kelihatannya kau menikmati trampolin itu, Itsuki," ejek Aoi sambil menyeringai.

"Diam kau kak! Bantu aku turun!" balas Itsuki, wajahnya memerah.

Aoi memutuskan untuk membantu Itsuki dengan menyodorkan ranting panjang. Namun, saat Itsuki berhasil turun, suara geraman rendah terdengar di dekat mereka. Makhluk besar berbulu hitam yang sebelumnya mengejar Souta kini mengarah ke lokasi mereka, tertarik oleh suara mereka.

"Lari!" Aoi berteriak, menarik tangan Itsuki dan berlari menuju tempat yang lebih aman.

Mereka menemukan celah kecil di antara dua batu besar dan bersembunyi di sana, dengan napas terengah-engah.

Suara geraman makhluk besar semakin mendekat, menggema di antara pepohonan lebat. Aoi dan Itsuki menggigil di balik celah batu tempat mereka bersembunyi. Namun, saat geraman itu hampir terdengar tepat di depan mereka, suara lembut seperti lonceng kecil menggema dari udara.

"Chirin… chirin…"

Aoi melongok keluar sedikit, mengintip asal suara itu. Di udara, peri-peri kecil yang sebelumnya memperhatikan Itsuki kini beterbangan, memancarkan cahaya hijau terang. Mereka mengelilingi makhluk besar itu, membuatnya tampak bingung dan gelisah.

Lalu muncul sesuatu—sebuah makhluk kecil berwarna perak dengan mata bulat yang bersinar biru. Ia menyerupai anak kucing, namun dengan ekor panjang seperti ular. Makhluk itu melompat ke kepala makhluk besar dan menjilat hidungnya. Dalam sekejap, makhluk besar yang tadinya mengancam berbalik arah dan lari ketakutan.

Aoi dan Itsuki saling pandang.

"Makhluk itu… menyelamatkan kita?" Itsuki berbisik, setengah tidak percaya.

Aoi mengangguk pelan. "Sepertinya begitu. Tapi, apa itu tadi?"

Peri-peri kecil perlahan mendekat ke arah mereka, seolah memberikan tanda untuk mengikuti.

"Kurasa mereka ingin kita pergi ke suatu tempat," ujar Aoi sambil berdiri.

"Sejujurnya, aku lebih suka tetap di sini, tapi... kurasa ini pilihan terbaik," balas Itsuki dengan enggan.

Dengan mengikuti peri-peri kecil, mereka akhirnya bertemu Souta, yang masih basah kuyup dari danau, dan Ren, yang tampak kelelahan setelah mencoba bertahan dari makhluk sebelumnya.

"Lihat siapa yang muncul! Orang basah dan orang panik!" ejek Aoi sambil tertawa kecil.

"Diam kau! Aku hampir mati tadi!" Souta membalas dengan jengkel, sementara Ren hanya mengangkat alis, lelah untuk merespons.

"Ini bukan waktunya bercanda," Ren akhirnya berkata. "Kita harus menemukan yang lain. Riku, Kaito Dan… Kakakmu?"

Semua terdiam, menyadari bahwa mereka belum menemukan MC dan Riku. Mereka memutuskan untuk mengikuti jejak yang tampak mengarah lebih dalam ke hutan. Setelah beberapa waktu, mereka menemukan semak yang tampak seperti pernah ditabrak sesuatu.

Di balik semak itu, mereka menemukan Riku yang masih terduduk dengan wajah bingung. Namun, ada sesuatu yang aneh pada dirinya. Rambutnya yang biasanya pendek kini menjuntai panjang, wajahnya yang maskulin berubah menjadi fitur feminin yang halus, dan ada sepasang (slime) kecil di bagian dadanya.

"Apa…" Itsuki melotot, mulutnya terbuka lebar.

"Aku… aku tidak tahu! Apa yang terjadi padaku?!" Riku berseru, memegang wajahnya sendiri, panik.

Souta menatap Riku dengan bingung, lalu berkata, "Apa aku satu-satunya yang merasa ini… menyeramkan?"

"Aku juga…" tambah Ren pelan.

Namun, sebelum mereka bisa mencerna situasi, suara lain terdengar dari atas.

"Ada yang tergantung di sana!" Aoi menunjuk ke arah tanaman sulur besar.

Semua mata mengarah ke sulur besar, di mana sesosok wanita asing tergantung pingsan. Sosok itu memiliki rambut panjang berkilauan, wajah cantik seperti model, dan tubuh ramping namun dengan fitur yang… mencolok, terutama di bagian dada.

"Siapa itu?" Souta bertanya, setengah ternganga.

"Tidak tahu," Ren menjawab dengan nada datar, meskipun wajahnya sedikit memerah.

Perlahan, mereka mendekat, mencoba menurunkan sosok tersebut. Aoi yang lebih dekat segera mengenali sesuatu. Seragam yang dipakai wanita itu…

"Ini… seragam Onii-sama?!" Aoi berseru kaget, menutupi mulutnya dengan tangan.

Souta dan Ren langsung menoleh ke arah wanita itu, memeriksa dengan lebih teliti.

"Tidak mungkin…" Souta bergumam. "Jangan-jangan dia…"

"Mungkinkah… dia Kakakmu?" Ren melanjutkan, masih sulit percaya.

Aoi terlihat sangat bingung. "Onii-sama? Atau… onee-sama sekarang? Aaaah" Dia memegang kepalanya dengan kedua tangan, seolah ingin meledak.

Sementara itu, Ren menatap Riku yang juga sudah berubah, lalu ke sosok wanita asing di depan mereka. Ia menyimpulkan sesuatu dengan tenang, meskipun situasinya sangat aneh.

"Ini pasti ulah cahaya tadi," katanya. "Dia… Haruto. Aku yakin."

Ucap Ren yang tiba tiba muncul diantara mereka.

"Kalau itu Haruto-nii, aku harus panggil dia apa sekarang? Haruto-nii? Haruto-nee? Kakak cantik? Kakak yang besar?" tanya Itsuki polos.

Situasi langsung ricuh.

"Apa aku harus menyebutnya Bibi sekarang?" Kaito menambahkan, mencoba mengerjai.

"Berhenti bercanda!" Aoi membentak mereka semua, meskipun wajahnya masih merah.

"Kalau benar dia Onii-sama… aku tidak tahu bagaimana menghadapi ini," bisik Aoi.

"Ini terlalu rumit!" Souta berseru sambil memegang kepalanya.

Di tengah kekacauan, wanita asing itu mulai bergerak perlahan, menunjukkan tanda-tanda bangun. Semua orang terdiam, menunggu dengan tegang.

Cerita bersambung…