Chereads / Seven Footsteps of Fate (Indonesia) / Chapter 4 - Camping biasa

Chapter 4 - Camping biasa

Souta dan Ren berdiri kaku, wajah mereka pucat seperti melihat hantu. Di depan mereka, Kaito berdiri dengan santai di samping Haruto yang masih belum sadar.

"Ka-kaito?!" Ren menunjuk dengan wajah penuh teror. "Kakimu... kakimu patah! Bagaimana kau bisa ada di sini?!"

Ren, yang sebelumnya memastikan Kaito tertutup rapat di dalam celah pohon, melangkah mundur dengan gemetar. "Aku jelas-jelas meninggalkanmu di sana... di bawah pohon! Bagaimana kau bisa berdiri... apalagi berlari ke sini?"

Kaito, dengan wajah polos dan sedikit kebingungan, hanya menggaruk kepala. "Yah, aku tidak tahu. Rasanya tadi sakit sekali, tapi tiba-tiba saja tidak apa-apa. Tapi sepertinya lebih buruk keadaan paman, emm.. maksudku bibi?"

"Kau bahkan punya waktu untuk bercanda?! Aku serius!" Ren berteriak.

Tapi sebelum percakapan bisa berlanjut, perhatian mereka teralihkan oleh Aoi dan Itsuki. Di atas kepala mereka, peri-peri kecil beterbangan seperti bunga api.

Souta melangkah mendekat, menatap peri-peri itu dengan campuran rasa takjub dan kecurigaan. "Aa... apa ini?"

"Aku juga tidak tahu," balas Aoi, memandang peri-peri itu dengan penuh tanda tanya. "Mereka terus mengelilingi kami sejak tadi. Tapi... tidak ada yang aneh, kan?"

"Tidak aneh?" Souta memekik. "Kita terjebak di hutan misterius, Riku dan wanita itu, Kaito mendadak sembuh, peri-peri kecil terbang di atas kalian, dan kau bilang tidak aneh?"

---

Sementara itu, Haruto mulai bergerak perlahan, merasakan tubuhnya masih terlilit beberapa sulur. Matanya berkedip beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya redup di hutan.

"Apa yang..." Haruto bergumam dengan suara serak, mencoba mengangkat tangannya untuk menarik sulur yang melilit tubuhnya. Namun, dia merasa ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang... *berat*.

"Eh?" Haruto menunduk dan melihat dadanya. Sesaat, ia membeku.

"APA INI?!?!" teriaknya, begitu keras hingga menggema di seluruh hutan.

Semua orang langsung menoleh ke arahnya. Bahkan peri-peri kecil berhenti terbang, melihat ke arah Haruto.

"Ada apa?!" Souta berlari mendekat.

"KENAPA ADA BENDA ANEH DI DADAKU?!" Haruto berteriak lagi, matanya membelalak sambil menunjuk ke dadanya sendiri, yang kini tampak... jauh berbeda.

Lebih terkejut lagi, saat ia mendengar suaranya sendiri. "Tunggu... suaraku... APAKAH INI SUARAKU?!"

---

Kekacauan yang Sempurna

Souta dan Ren saling pandang. "Jadi..." Souta mulai, menelan ludah. "Wanita ini memang Haruto!"

"Kelihatannya begitu," jawab Ren datar karna bosan terkejut.

"Kalian berdua JANGAN bercanda!" Haruto berteriak, mencoba bangkit dari sulur dengan canggung. Namun, ia malah jatuh tersungkur ke tanah.

Aoi mendekat dengan wajah bingung, lalu terdiam saat melihat wajah Haruto. "Onii-sama...?"

Haruto mengangkat wajahnya, menatap Aoi dengan ekspresi penuh keputusasaan. "Aoi! Ini aku! Haruto!"

Aoi yang masih bingung memandangnya dari ujung kepala hingga ujung kaki, matanya berkedip beberapa kali. "Tapi... kau terlihat seperti aku Onii-sama. Apa aku harus memanggilmu Onee-sama sekarang?"

Haruto hampir tersedak mendengar itu. "TIDAK PERLU!"

Di sisi lain, Itsuki, adik kecil Haruto, berlari mendekat. "Haruto-nii? Atau sekarang Haruto-nee" tanyanya polos.

Haruto memegang kepalanya dengan kedua tangan, merasa seperti ingin tenggelam di tanah.

"Kalian semua berhenti mempermainkanku! Ini bukan aku! Ini hanya... efek portal itu, atau apapun yang terjadi tadi!"

Souta mencoba menahan tawanya. "Yah, mungkin kau harus terbiasa dengan tubuh barumu dulu."

Haruto menatap Ren dengan mata tajam. "Aku bersumpah, kalau aku tahu cara memukulmu dengan tubuh ini, kau yang pertama kali akan kucoba!"

---

Misteri Kembali

Namun, sebelum percakapan semakin kacau, suara lemah dari peri kecil tadi menarik perhatian mereka semua.

"Kalian semua..." katanya dengan suara lirih. "Berubah karena cahaya itu. Tapi perubahan itu bukan kebetulan."

Semua mata tertuju pada peri kecil itu.

"Apa maksudmu?" Ren bertanya, nadanya serius.

Peri kecil itu melayang pelan, menatap Haruto dan Riku. "Dua dari kalian bercahaya saat terjatuh, kami merasakan pancaran sihir yang membawa esensi dunia ini. Tubuh kalian berubah karena menyesuaikan diri."

Haruto menghela napas panjang. "Aku hanya ingin kembali ke rumah. Kenapa harus terjadi hal seperti ini?"

Aoi menatap Haruto dengan prihatin. "Onii-sama, tidak peduli bagaimana penampilanmu sekarang, kau tetap Onii-sama."

Souta tersenyum kecil, mencoba meringankan suasana. "Yah, meskipun kau sekarang lebih menarik perhatian."

"Diam kau!" Haruto membentak, membuat semua orang tertawa kecil di tengah kebingungan mereka.

Perjalanan Menuju Keputusan

Langit di atas mereka mulai beranjak redup, memberikan nuansa keemasan yang menyelimuti hutan belantara. Haruto, Aoi, dan Kaito berjalan di depan, sementara yang lain mengikuti di belakang. Suasana hutan penuh dengan suara burung asing dan gemerisik dedaunan, menambah rasa misteri dalam perjalanan mereka.

Haruto masih tampak kesal, tangannya terus-menerus berusaha menarik bagian atas seragamnya yang terasa ketat. Dia mendesah berat sambil memandang ke depan, mencoba untuk mengabaikan rasa tidak nyaman yang begitu asing.

"Kenapa aku harus mengalami ini?" gumam Haruto sambil menghela napas.

"Paman, kau harusnya bersyukur," sahut Kaito sambil menyeringai jahil. "Sekarang kau bisa memahami bagaimana rasanya jadi wanita. Siapa tahu, kau malah lebih sukses dalam kehidupan barumu ini."

"SUDAH KUBILANG JANGAN PANGGIL AKU PAMAN!" Haruto membalas dengan geram, menimpuk kepala Kaito dengan ranting kecil.

Kaito tertawa, tak terlihat gentar sedikit pun. "Baiklah, baiklah... Onee-chan."

Haruto menghentikan langkahnya, menatap Kaito dengan tajam. "Mau cari masalah?!"

Aoi, yang berjalan di sebelah Kaito, mengangkat tangan mencoba meredakan ketegangan. "Sudahlah, Onii-sama. Kita sudah cukup pusing dengan situasi ini. Lebih baik fokus saja pada perjalanan kita."

---

Diskusi di Tengah Hutan

Setelah ketegangan sedikit mereda, mereka melanjutkan perjalanan. Matahari semakin tenggelam di cakrawala, membuat mereka menyadari bahwa mereka perlu segera menemukan tempat untuk bermalam.

"Kalau begitu," kata Souta yang berjalan mendekati kelompok depan, "kita harus mencari tempat yang datar dan terlindungi dari angin. Kalau ada sumber air di dekatnya, itu lebih baik."

Ren mengangguk. "Tapi kita harus berhati-hati dengan sumber air. Biasanya, predator suka berkumpul di dekatnya."

Haruto memutar matanya. "Kalian berdua terdengar seperti pengamat alam liar di acara TV."

"Itu karena kita sering camping," balas Ren dengan bangga. "Kau sendiri, Haruto? Seingatku, kau jarang keluar rumah kecuali diajak."

Kaito tertawa kecil, menyela. "Tapi Haruto paling ahli mengurus peralatan. Jangan remehkan dia!"

Haruto mendesah, merasa sedikit terhibur dengan pujian itu. "Baiklah, kalau begitu. Apa rencana kita?"

Riku, yang sedari tadi diam, akhirnya berbicara. "Kita perlu mencari tempat yang cukup luas untuk kita semua. Kalau bisa, dekat dengan pohon-pohon besar untuk perlindungan tambahan. Tapi jangan terlalu dekat dengan semak-semak lebat. Itu bisa jadi tempat persembunyian hewan buas."

Semua setuju dengan usulan itu. Mereka mulai berjalan lebih perlahan, mengamati lingkungan sekitar dengan cermat.

---

Menemukan Tempat Berkemah

Setelah beberapa saat, mereka menemukan area yang tampak cukup ideal. Sebuah bukit kecil dengan beberapa pohon besar di sekitarnya, dan ada batu besar yang bisa digunakan sebagai pelindung alami dari angin.

"Ini cukup bagus," kata Aoi sambil menunjuk area tersebut. "Tanahnya datar, dan pohon-pohon itu bisa melindungi kita dari hujan kalau tiba-tiba turun."

"Setuju," Ren menambahkan sambil memeriksa tanah. "Tanahnya juga tidak terlalu lembab. Kita bisa mendirikan tempat tidur darurat di sini."

Itsuki, yang terlihat lelah, akhirnya duduk di atas batu besar itu. "Akhirnya... aku bisa istirahat."

"Jangan terlalu santai dulu," Souta memperingatkan. "Kita masih harus memastikan tempat ini aman. Kalau ada tanda-tanda hewan liar, kita harus pindah."

Kaito berdiri di tengah area, memutar badan sambil memperhatikan sekitar. "Kalau menurutku, tempat ini sempurna. Kita hanya perlu membuat lingkaran batu sebagai penghalang tambahan dan menyiapkan kayu untuk api unggun."

"Baiklah," Haruto setuju sambil melepaskan tasnya. "Kalau begitu, mari kita mulai bekerja."

---

Membangun Kemah

Mereka mulai bekerja sama untuk membangun kemah. Haruto, meskipun masih merasa tidak nyaman dengan tubuh barunya, memimpin dalam mendirikan tenda darurat menggunakan ranting dan kain yang ditemukan di tasnya. Beruntungnya tas mereka selalu berisi barang barang kegiatan club yang berguna.

Riku dan Ren bekerja bersama mengumpulkan kayu untuk api unggun. Mereka berjalan beberapa meter dari area kemah, memastikan tidak mengambil kayu dari pohon hidup yang masih kuat.

Sementara itu, Kaito mengatur batu-batu besar menjadi lingkaran, menciptakan batas aman di sekitar kemah.

Aoi dan Itsuki, meskipun tidak terlalu membantu dalam pekerjaan berat, sibuk membersihkan area dari ranting kecil dan dedaunan kering yang bisa menjadi bahaya kebakaran.

"Kalau kita terus seperti ini, mungkin kita bisa membuka jasa camping di dunia baru ini," lelucon Kaito sambil mengelap keringat.

Ren tertawa kecil. "Itu kalau kita selamat dari semua ini. Jangan terlalu optimis dulu."

---

Waktu Istirahat

Setelah kemah selesai dibangun, mereka semua duduk di sekitar api unggun. Suasana hutan terasa lebih tenang sekarang, dengan hanya suara api yang berderak dan suara burung malam yang samar-samar terdengar.

Haruto duduk bersandar pada batu besar, mencoba meredakan pikirannya. Namun, rasa tidak nyaman dari tubuhnya terus mengganggu.

"Haruto," kata Souta tiba-tiba, memecah keheningan. "Kau baik-baik saja?"

Haruto mengangkat alis. "Menurutmu?"

Souta tertawa kecil. "Yah, setidaknya kau tidak kehilangan kemampuan menyindir."

"Jangan salahkan aku," balas Haruto. "Kau tidak tahu rasanya... kehilangan sesuatu di bawah sana dan mendapatkan sesuatu yang baru di atas sini."

Semua orang terdiam sesaat sebelum tawa pecah di antara mereka.

Kaito, yang duduk di antara Haruto dan Riku, menepuk bahu mereka berdua. "Aku kira perubahan ini akan membuat kalian berdua lebih bijak, tapi ternyata sama saja. Kalian masih mudah tersulut."

Riku menatap Kaito dengan mata tajam. "Berhenti menggoda kami."

"Tapi itu menyenangkan!" Kaito membalas dengan cengiran lebar.

Setelah istirahat sejenak, mereka memutuskan untuk menjelajahi area sekitar kemah, memastikan tidak ada ancaman yang tersembunyi.

Mereka berjalan berkelompok, dengan Ren memimpin di depan. Mata mereka terus memperhatikan setiap gerakan di semak-semak dan bayangan di antara pepohonan.

"Kita harus mencari tanda-tanda jejak kaki atau kotoran hewan," Ren menjelaskan sambil menunjuk tanah. "Kalau ada, berarti tempat ini tidak seaman yang kita kira."

"Aku berharap tidak ada yang aneh," gumam Aoi sambil menggenggam tangan Itsuki.

Souta menoleh ke arah mereka. "Jangan khawatir. Selama kita tetap bersama, kita akan baik-baik saja."

Setelah memastikan area sekitar aman, mereka kembali ke kemah. Api unggun masih menyala, memberikan rasa hangat di tengah udara malam yang mulai dingin.

Haruto, meskipun lelah, merasa sedikit lega. Setidaknya mereka berhasil melewati hari ini tanpa insiden besar. Namun, ia tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai.

Cerita bersambung...