Setelah suasana di taman kembali tenang, Lady Seraphina mengambil inisiatif untuk memulai pembicaraan. Dia berdiri dengan anggun di tengah kelompok, memandang satu per satu dengan senyum lembut namun tegas.
"Baiklah," katanya, suaranya tenang namun penuh wibawa. "Kita perlu membahas langkah selanjutnya. Seperti yang sudah kusampaikan sebelumnya, tujuan berikutnya dalam kunjungan diplomatik ini adalah Sylvaria, kerajaan terbesar yang dihuni oleh High Elf. Sebagai pusat pemerintahan ras elf, mereka memegang peran penting dalam stabilitas kerajaan ras elf."
Ai, yang duduk di samping Souta, mengangkat tangan sedikit. "Sylvaria… itu di pusat hutan raksasa, bukan? Bukankah tempat itu juga dekat dengan tempat pertama kali kami tiba di dunia ini?"
Lady Seraphina mengangguk. "Benar. Sylvaria terletak di jantung hutan itu. Namun, kali ini kita akan menuju ibu kota mereka di dekat Pohon Dunia, bukan hanya di tepi hutan seperti sebelumnya."
Kaito bersandar di kursinya, tampak berpikir. "Jadi kita akan kembali ke tempat itu, ya? Kedengarannya menarik. Tapi perjalanan ke sana pasti memakan waktu lama, bukan?"
Lady Seraphina menjelaskan, "Perjalanan ke Sylvaria memang tidak mudah. Hutan raksasa memiliki medan yang mudah, namun tantangan yang sebenarnya adalah jarak menuju pusat hutan raksasa sangatlah jauh. Namun, Raja ras elf telah mempersiapkan cara khusus untuk membuat perjalanan mereka menjadi jauh lebih cepat."
Lyra dan Mira, yang berdiri tidak jauh dari Kaito, saling bertukar pandang sebelum Lyra angkat bicara. "Apakah kami juga akan ikut dalam perjalanan ini?"
Lady Seraphina tersenyum. "Ya, Lyra, Mira. Setelah mempertimbangkannya, kalian akan bergabung sebagai bagian dari rombongan Utusan Khusus Ethereal Lands. Karena kalian adalah pelayan Kaisar Naga sekarang, maka kalian akan ku ijinkan menjalankan tugas kalian."
Mira tampak sedikit ragu. "Kami akan melakukan yang terbaik, Lady Seraphina."
Ai memandang Lyra dan Mira dengan senyum kecil. "Kalau begitu, selamat bergabung. Aku yakin kalian akan menjadi tambahan yang luar biasa untuk tim kita."
Kaito mengangguk setuju. "Benar. Dan sebelum kita berangkat, aku ingin kalian berpamitan dengan keluarga kalian. Aku akan akan menemani kalian."
Lyra dan Mira mengangguk dengan hormat. "Terima kasih, Tuan Kaito."
Lady Seraphina kemudian melanjutkan, "Kita akan berangkat beberapa hari lagi. Selama waktu itu, aku akan memastikan semua perlengkapan dan kebutuhan perjalanan kita siap. Ai, besok pagi kau bisa berpamitan dengan profesor Elric dan memberitahukan rencana kita kepadanya."
Ai mengangguk cepat. "Dimengerti. Aku juga ingin mengucapkan terima kasih atas semua yang telah dia ajarkan."
Setelah itu, Lady Seraphina berpamitan untuk memulai persiapannya. Dia berjalan anggun meninggalkan taman, meninggalkan Souta, Riku, Aoi, dan Itsuki yang masih duduk di sana.
Keheningan sesaat menyelimuti mereka, sebelum Souta bersandar dengan malas di kursinya. "Jadi, sekarang apa? Kita cuma menunggu di sini sampai semuanya siap?"
Aoi, menatap Itsuki dengan lembut. "Nah… sekarang, lebih baik kita pergi mandi, Itsuki. Kau sekarang benar-benar berkeringat dan bau."
"Ayo!" Riku dan Itsuki berteriak bersama dengan antusias.
"Haaah…. kalian beruntung sekali yah, bisa menghabiskan waktu bersama. Sedangkan aku disini sendiri dengan kesepian." Keluh Souta dengan nada lemas tak bersemangat.
Riku, yang duduk dengan santai, menatap Souta dengan datar. "Yeaaah… itu, memangnya kami bisa apa untuk mengatasi kesepianmu?"
Souta mendecak kesal. "Kalian benar-benar tidak membantu."
Itsuki, yang duduk di sebelah Aoi, tiba-tiba menoleh dengan ekspresi polos. "Kalau begitu, Kak Souta, ikut saja mandi bersama kami."
Aoi langsung menoleh ke Itsuki dengan mata terbelalak. "Itsuki! Wanita dan pria dewasa tidak boleh mandi bersama, kecuali mereka sudah menikah!"
Itsuki memiringkan kepalanya, bingung. "Kalau begitu, kalian menikah saja. Jadi kita bisa terus bersama kapan pun dan di mana pun."
Komentar polos Itsuki membuat Aoi dan Souta tersedak hampir bersamaan. Wajah mereka berubah merah padam dalam sekejap.
Riku, yang mendengar itu, langsung tertawa terbahak-bahak, memegangi perutnya. "Hahaha! Itu… sungguh masuk akal, Itsuki! Kau benar-benar jenius!"
Aoi berusaha menenangkan diri sambil menutupi wajahnya yang masih merah. "Itsuki, kau tidak boleh sembarangan mengatakan hal seperti itu!"
Souta, di sisi lain, hanya bisa menghela napas panjang, berusaha mengabaikan rasa malunya. "Itsuki… kau benar-benar tahu cara membuat suasana jadi canggung."
Namun, tawa Riku yang menggelegar terus memenuhi taman, membuat suasana sore itu terasa sangat damai. Bahkan Souta dan Aoi, meski malu, akhirnya ikut tersenyum mendengar gelak tawa itu. Membuat suasana menjadi lebih cair, mengalihkan mereka dari hal yang seharusnya lebih penting untuk dikhawatirkan, yaitu Ren.
Di laboratorium Profesor Elric,
Ai melangkah memasuki laboratorium Profesor Elric dengan hati-hati. Ruangan itu luas dan megah, terdiri dari tiga lantai yang semuanya terbuat dari kaca transparan. Dari lantai satu, ia dapat melihat dengan jelas kesibukan masternya di lantai dua. Profesor Elric tengah membungkuk di meja besar, mencoret-coret rumus di kertas dengan ekspresi penuh konsentrasi. Di sekitarnya, buku-buku berserakan, sementara alat-alat penelitian tersebar tanpa pola tertentu.
Ai, yang tidak tega mengganggu, memutuskan untuk menunggu. Ia duduk di sofa empuk di lantai satu, meletakkan tas kecilnya di samping. Ia mengamati suasana laboratorium yang tenang, hanya diiringi suara goresan pena masternya di lantai atas.
"Sepertinya aku harus menunggu waktu yang tepat," gumam Ai pelan, lalu menyandarkan tubuhnya di sofa. Suasana yang nyaman perlahan membuatnya terlelap tanpa sadar.
Di distrik perdagangan, Istana Adipati Orvahn,
Kereta kuda kaisar meluncur dengan anggun melewati jalanan distrik perdagangan, diiringi oleh pasukan pengawal khusus. Kaito duduk di dalam bersama Lyra dan Mira, memandang ke luar jendela kereta. Distrik perdagangan terlihat sibuk, namun setiap kali kereta mereka lewat, semua orang segera memberi jalan dengan penuh hormat.
"Distrik ini benar-benar megah," ujar Mira, memecah keheningan.
Lyra mengangguk kecil. "Ayahku sangat bangga dengan distrik ini. Dia selalu berkata bahwa perdagangan adalah nadi kehidupan Drakonia."
Kaito tersenyum tipis. "Kau pasti bangga memiliki ayah seperti itu."
Tak lama kemudian, kereta berhenti di depan istana Adipati Orvahn. Istana itu tidak sebesar istana utama Drakonia, namun tetap megah dengan arsitektur khas Draconian. Lorong-lorongnya lebar, memungkinkan naga dalam bentuk asli mereka untuk lewat dengan mudah.
Adipati Orvahn sendiri menyambut mereka di pintu masuk, menundukkan kepala dengan hormat. "Yang Mulia Kaisar Kaito, Putri Lyra, selamat datang. Kehormatan besar bagi kami menerima kunjungan ini."
Kaito sedikit canggung menerima penghormatan itu, namun ia membalas dengan anggukan. "Terima kasih, Adipati Orvahn. Kami datang untuk mengantar Lyra berpamitan dan mempersiapkan perjalanannya."
Adipati Orvahn mengangguk. "Kami sudah menyiapkan segala keperluan. Silakan masuk dan beristirahat."
Mereka dipersilakan masuk ke aula utama yang dihiasi dengan ornamen emas dan kristal. Pelayan istana segera menyajikan minuman dan makanan ringan, namun suasana tetap terasa kaku.
Adipati Orvahn mencoba memulai pembicaraan. "Yang Mulia, perjalanan Anda ke Drakonia berjalan lancar, saya harap?"
"Lancar," jawab Kaito singkat, lalu suasana kembali hening.
Mira, yang duduk di samping Lyra, berbisik pelan, "Ini terlalu formal…"
Kaito akhirnya memutuskan untuk mengubah suasana. Ia tersenyum lebar dan berkata, "Adipati, Anda tidak perlu terlalu formal. Saya hanya seorang pemuda yang kebetulan mendapatkan gelar besar. Mari kita bicara seperti keluarga saja."
Adipati Orvahn terkejut sejenak, namun kemudian tersenyum kecil. "Kalau begitu, saya akan mencoba lebih santai."
Sedikit demi sedikit, suasana mencair. Kaito mulai menceritakan pengalamannya selama di Drakonia, membuat semua orang tertawa. Bahkan para pelayan yang sebelumnya diam kini ikut berbicara dan bergurau.
Ketika Lyra kembali dari mempersiapkan perlengkapannya, ia terkejut melihat suasana yang jauh berbeda. Ia mendapati ayahnya tertawa lepas, pelayan-pelayan berbicara santai, dan Kaito menjadi pusat perhatian.
"Apa yang terjadi di sini?" gumam Lyra heran.
Kembali ke laboratorium Profesor Elric,
Ai terbangun dengan kaget ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia mendapati Profesor Elric berdiri di depannya, menatapnya dengan alis terangkat.
"Kau tertidur di sini? Kenapa tidak memanggilku saja?" tanya Profesor Elric.
Ai buru-buru bangkit. "Maaf, Master. Saya melihat Anda sangat sibuk, jadi saya tidak ingin mengganggu."
Profesor Elric menghela napas, namun tersenyum. "Kau terlalu sopan. Tapi aku menghargai itu."
Ia berjalan ke dapur kecil di sudut ruangan dan mulai membuat teh herbal. "Kalau begitu, mari kita minum teh sambil berbicara. Apa yang membawamu ke sini?"
Ai menerima cangkir teh yang diberikan masternya dan duduk kembali. "Rombongan diplomatik Ethereal Lands memutuskan untuk melanjutkan perjalanan beberapa hari lagi. Tujuan kami berikutnya adalah Sylvaria, ibu kota kerajaan Elf."
Profesor Elric terdiam sejenak, lalu matanya berbinar. "Sylvaria, ya? Itu kampung halamanku."
Ai terkejut. "Master berasal dari Sylvaria?"
Profesor Elric mengangguk. "Benar. Aku lahir dan besar di sana. Sylvaria adalah tempat yang indah, dengan arsitektur yang menyatu dengan alam. Pohon Dunia adalah pusat kehidupan kami, dan para High Elf sangat bangga akan warisan mereka."
Ai mendengarkan dengan antusias, wajahnya penuh rasa ingin tahu. Ia tertawa kecil saat Profesor Elric menceritakan anekdot lucu tentang masa kecilnya di Sylvaria.
"Sepertinya Sylvaria akan menjadi tempat yang luar biasa," ujar Ai dengan mata berbinar.
Di depan rumah Mira,
Kereta kuda berhenti di depan sebuah toko kecil yang sederhana namun bersih. Seorang wanita paruh baya, ibu Mira, berdiri di depan pintu dengan ekspresi bingung melihat rombongan kereta bangsawan.
Ketika pintu kereta terbuka dan Kaito serta Lyra turun, wanita itu langsung berlutut. "Yang Mulia, maafkan saya jika ada kesalahan yang telah saya lakukan…"
Kaito melangkah mundur, bingung. "Apa yang terjadi?"
Mira buru-buru keluar dari kereta. "Ibu, bangun! Mereka datang untuk bertemu, bukan untuk menghukum."
Namun, ibunya tetap berlutut, bahkan menarik Mira untuk ikut bersimpuh. Kaito akhirnya menenangkan mereka dan membawa mereka masuk ke dalam toko untuk berbicara lebih santai.
Bersambung…