Pagi di keluarga Takayama dimulai seperti biasanya. Suara burung berkicau di luar jendela berpadu dengan aroma roti panggang yang menguar dari dapur. Haruto duduk di meja makan, dengan wajah masih setengah mengantuk. Di seberang meja, Aoi sedang menyiapkan teh hangat sambil tersenyum lembut.
"Ayah masih di ibu kota, ya?" tanya Haruto sambil melirik kalender di dinding. "Sepertinya proyeknya belum selesai juga."
Aoi mengangguk pelan sambil menuangkan teh. "Ibu juga bilang semalam, dia harus tinggal beberapa hari lagi di pulau lain karena masalah gudang."
Haruto mendesah, lalu menyandarkan punggung ke kursi. "Jadi, kita benar-benar sendirian minggu ini. Untung saja Souta dan Ren masih sering menemani."
Aoi tertawa kecil. "Kau lupa? Kita juga punya Riku dan Kaito yang selalu berisik setiap pagi."
Seolah dipanggil, pintu depan terbuka keras, diikuti suara dua anak remaja. "Paman Haruto! Kami datang menjemput!" teriak Riku lantang.
Haruto langsung menatap mereka tajam sambil menggulung koran di tangannya. "Sudah kubilang jangan panggil aku paman, anak kecil!" Serangan gulungan koran itu berhasil mengenai kepala Riku, sementara Kaito tertawa terbahak-bahak di belakangnya.
"Kalian ini selalu membuat keributan. Ayo masuk dan sarapan dulu," kata Aoi dengan nada lembut, namun tatapannya tajam membuat Riku dan Kaito langsung duduk rapi di meja makan.
Sambil makan bersama, pembicaraan mereka kembali pada orang tua Haruto.
"Paman Takayama, eh maksudku Ayahmu, terlihat sangat sibuk akhir-akhir ini. Tapi dia bilang minggu depan mungkin sudah bisa pulang," ujar Kaito sambil mengunyah roti. Dia mendengar percakapan Kakeknya dengan orang tuanya di telepon.
Riku menambahkan, "Iya, dan Ibumu bilang gudang di pulau lain itu benar-benar kacau. Tapi katanya masalahnya akan selesai lebih cepat dari dugaan."
Haruto hanya mengangguk, lalu memandang ke arah luar jendela. Hari ini terasa indah seperti biasanya, tetapi ada rasa ganjil yang mengganjal di dalam dirinya. Perasaan asing itu sulit ia abaikan, seolah ada sesuatu yang besar akan terjadi.
Setelah sarapan, Aoi menggandeng adik kecil mereka, Itsuki, yang sedang libur sekolah.
"Kak, kau akan menitipkanku di rumah Paman Hiroshi, kan?" tanya Itsuki ceria.
Hiroshi Tanaka adalah kakak jauh Haruto beda keturunan, meskipun Hiroshi adalah kakaknya, namun seumuran dengan ayahnya, apa lagi anak anaknya hanya terpaut 1 tahun dibawahnya. Itu membuat dinamika hubungan keluarga yang canggung dan membingungkan.
Aoi mengangguk sambil tersenyum. "Iya, kau bisa bermain di sana sampai kami pulang. Jangan terlalu berisik, ya."
Itsuki mengangguk antusias, tetapi Haruto menepuk kepalanya dengan pelan. "Jangan terlalu ceroboh, Itsuki. Kau ingat kan, terakhir kali kau hampir menjatuhkan vas Kak.., eh maksudku Paman Hiroshi?"
Itsuki hanya tertawa kecil, tidak merasa bersalah sama sekali.
Setelah berpamitan dengan Kak.., uhum Paman Hiroshi, yang menyambut mereka dengan senyum khasnya, mereka memulai perjalanan ke sekolah. Di tengah perjalanan, mereka berpapasan dengan Souta di jalan.
"Souta, pagi," sapa Haruto sambil melambaikan tangan.
Souta, yang sedang menenteng tas penuh buku, membalas sapaan itu dengan semangat. "Haruto, pagi! Hari ini ujian kan? Kau pasti sudah siap, ya."
Tidak lama kemudian mereka sampai di stasiun kecil, kereta dari kota sebelah tiba, dan Ren turun dari sana. Dengan langkah ringan, ia menghampiri mereka.
"Selamat pagi semuanya," ujar Ren dengan senyum lembut. "Haruto, aku sudah menyiapkan catatan tambahan untukmu. Kau pasti ingin membacanya sebelum ujian, kan?"
Haruto hanya menggeleng sambil tertawa kecil. "Kau terlalu rajin, Ren."
Mereka berjalan bersama menuju sekolah, menikmati pagi yang cerah. Meski semuanya terasa normal, Haruto tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang terus mengganggu pikirannya.
***
Ujian, Kejutan, dan Sebuah Perjalanan Tak Terduga
Hari itu adalah hari ujian pertama untuk Haruto dan teman-temannya. Pagi yang cerah tidak menandakan apa-apa yang istimewa, namun di dalam kelas, suasana mulai memanas begitu ujian dimulai.
Haruto duduk di bangkunya, menyeka keringat yang mulai muncul di dahinya. "Aduh, soal yang ini agak susah," gumamnya sambil memandang ke sekeliling kelas.
Souta, sahabatnya yang duduk di samping, tidak kalah panik. "Aku tak yakin bisa jawab semua soal? Aku rasa aku sudah menyiapkan semuanya, tapi soal ini... menguji kejelian," katanya sambil mengusap wajahnya.
Di kelas yang berbeda, Riku dan Kaito yang seharusnya duduk rapi malah sibuk dengan aksi jahil mereka. Riku dengan cerdiknya membisiki Kaito, "Kaito, coba lihat jawaban di samping. Kau pasti bisa mencontek tanpa ketahuan."
Kaito yang penasaran mengangguk, kemudian dengan hati-hati melihat ke kiri. Namun, saat itu juga, gurunya yang berdiri di depan papan menatap mereka dengan tajam. "Apa yang kalian lakukan di sana?"
Riku dan Kaito langsung membeku. "Kami hanya... eh... kami hanya memeriksa soal lagi, Pak!" jawab Riku dengan canggung.
Tentu saja, jawaban itu membuat guru hanya menggelengkan kepala dan melanjutkan pengawasan ketatnya. Sementara itu, Haruto yang mendengar kejadian itu hanya bisa tertawa pelan dalam hati. "Itulah kenapa aku lebih memilih mengerjakan sendiri daripada terjebak dalam masalah seperti mereka."
Namun, saat ujian berlanjut, tak bisa dipungkiri, Haruto pun mulai merasa sedikit terdesak. Ada beberapa soal yang terasa sulit, dan sepertinya jika itu Ren, sahabatnya yang satu lagi, tidak akan mengalami kesulitan. Ren memang dikenal sebagai siswa yang pintar, bahkan lebih rajin daripada Haruto. Namun, Haruto tak menyerah.
Saat istirahat tiba, Haruto, Souta, Riku dan Kaito berkumpul di luar kelas, duduk di bangku panjang yang biasa mereka tempati.
"Apa tadi kalian ketahuan mencontek?" tanya Haruto dengan senyum nakal.
Riku yang tampak sedikit panik menggeleng. "Kami tidak mencontek, hanya melihat sedikit saja... dan beruntung guru tidak melihat!"
"Apa yang kalian pikirkan? Kami seharusnya sudah belajar lebih serius, bukan mencari cara curang," ujar Souta dengan sedikit nada serius.
"Ayo, jangan mengelak. Maksudnya biar aku bantu kalian untuk belajar agar kalian bisa menghadapi ujian," kata Haruto, mencoba menenangkan.
Di saat yang sama, Ren datang menghampiri mereka, wajahnya sedikit kelelahan karena kelasnya berada sedikit lebih jauh diujung gedung, yup… hanya sedikit, hee-hee(≧▽≦). "Aku sudah selesai ujian pertama. Bisa dibilang cukup sulit, tapi aku sudah menyiapkan catatan untuk kalian semua."
"Kau selalu lebih siap daripada kami, Ren. Terima kasih," kata Haruto sambil tertawa.
Setelah istirahat selesai, mereka kembali ke kelas untuk melanjutkan ujian. Begitu ujian berakhir, mereka semua menuju lobi sekolah untuk bersiap pulang. Haruto merasa lega, akhirnya ujian pertama selesai dengan cukup baik.
Namun, begitu ia memasuki lobi, pandangannya tertuju pada sebuah pemandangan yang cukup mengejutkan.
"Eh, Itsuki? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Haruto, melihat adik kecilnya sedang berdiri sendirian di dekat gerbang masuk.
Itsuki, yang belum pernah masuk ke sekolah menengah, terlihat sedikit bingung. "Aku sedang jalan-jalan dengan Paman Hiroshi, kebetulan aku sedang didekat sini, tuh paman." Sambil menunjuk Paman Hiroshi yang sedang terlihat bingung didalam toko.
Haruto mengernyitkan kening. "Paman Hiroshi? Lalu apa yang kau lakukan di sini sendirian? Dia tidak memberi tahu kau untuk menunggu?"
Itsuki menggelengkan kepala. "Aku cuma mau lihat sekolah ini, tapi aku melihat kalian."
Haruto bergegas menghampiri dan meraih tangan adiknya. "Kau ini harus lebih berhati-hati, Itsuki. Ayo, kita pulang."
Namun, saat mereka berjalan menuju pintu keluar, sebuah fenomena aneh terjadi. Di luar, langit mendadak gelap, dan angin kencang mulai berhembus. Tanah bergetar dengan keras, membuat lantai sekolah terasa bergoyang.
"Ini... apa yang terjadi?" Haruto terkejut.
Saat itu, sebuah kilatan cahaya besar muncul. Sebuah portal berputar di depan mata mereka, mengeluarkan suara berdesir yang menggetarkan seluruh tubuh. Haruto berpegangan pada tiang, sementara Itsuki menggenggam tangannya dengan erat.
Kilatan cahaya itu semakin terang dan besar, hingga akhirnya memutar seperti pusaran angin. Semua orang di sekitar mulai panik, berlarian, dan berteriak ketakutan. Namun, Haruto merasa tubuhnya terangkat.
"Apa yang... terjadi?" Haruto berteriak, namun suaranya tenggelam dalam hiruk-pikuk.
Tubuhnya terasa seperti disedot ke dalam pusaran tersebut. Rasanya seperti terbang dalam kecepatan luar biasa, tubuhnya ditarik tanpa bisa melawan.
Dan saat ia merasa seolah dunia berputar dengan sangat cepat, semuanya tiba-tiba menjadi gelap...