Pulang, Mile melihat keramaian di rumahnya. Ada sang ayah, ibu, kakak, dan kedua mertuanya yang baru tiba. Mereka langsung meluncur ke Bangkok dari Huahin, padahal saat itu pekerjaan sedang ribut-ributnya. Tak masalah. Toko-toko milik mereka seketika ditutup, dan keduanya menghambur hanya demi melihat Apo.
"Sayaaang! Apooo!"
Apo rasa, lain kali dia harus berterima kasih dengan Cuanchen. Berkat pilihan sang penguasa mimpi, dia jadi hidup di tempat yang penuh kebahagiaan. Hm, bahkan meski orangtuanya tak sama seperti dahulu, setidaknya Apo tahu mereka menyayangi dirinya.
"Terima kasih, semuanya," kata Apo dengan tangan menangkup. "Tapi, um, aku minta maaf tidak bisa mengingat kalian. Mungkin, lain kali kita bisa bicara lebih banyak?" pintanya sopan.
Menjadi bawahan di dunia kerajaan memang membuat Apo terbiasa melakukan gestur hormat. Dia sempat membuat mereka semua heran, tapi Nathanee cepat-cepat mengibaskan tangan. "Alah, tak masalah. Kami senang asal kau kembali, Sayang," katanya. "Cepat sembuh, ya. Lagipula yang paling sedih tetap puteraku. Kau harus bicara paling banyak dengannya. Kalau kami, jelas tidak perlu berpusing-pusing."
"Baik."
Apo pun tertegun karena obrolan itu berakhir tepat saat Mile masuk. Sang suami tampak senang dengan suasana dalam kamar mereka, tapi tetap tidak sungkan-sungkan untuk memeluk. "Aku pulang," katanya. Lalu meletakkan paper bag bawaannya ke sisi Apo. "Ini, kubawakan sesuatu. Tapi kita harus makan malam dulu, oke?"
Apo pun mendongak untuk memandang wajah Mile. Gila. Kerja seharian saja aroma tubuh sang suami masih harum. Parfum apa yang dipakai? Apo boleh tidak mencobanya juga lain kali?
"Apa aku harus ikut ke ruang makan?" tanya Apo. Karena merasa kakinya masih lemas sekali. Wajar bila agak malas kalau harus diajak pergi. Atau aku tidak yakin bisa jalan atau tidak. Rasanya kebas karena kelamaan tidur--
"Ya, kugendong," kata Mile. Dia tersenyum lebar tanpa peduli keluarganya ikutan tersenyum-senyum. "Tinggal rentangkan tanganmu saja."
Apo pun berdebar kencang. "Serius?" tanyanya. Lalu melirik ke sekitar. "Yakin kuat dengan aku?"
Tanpa basa-basi, Mile perlahan mengangkat Apo dalam pelukannya. "Hiah!" katanya. Membuat Apo refleks berpegangan kepada lelaki itu. "Astaga, ringan sekali. Kau pasti kehilangan banyak bobot selama koma."
Pomchay yang pendiam bahkan tertawa melihat pemandangan itu. "Hahaha. Ya ampun, adik. Benar juga kelihatannya. Apo jadi kurus sejak saat itu," katanya. "Ayolah bawa. Kita makan sama-sama."
"Bagus, ayo," kata Songkit kepada dia besannya. "Mari-mari. Kita rayakan hari besar ini."
Ayah Apo, Wan, dan ibunya Miri pun mengikuti putera mereka dari belakang. Astaga, benar-benar sangat harmonis. Apo juga kaget ketika sudah didudukkan hati-hati ada dua orang lagi yang masuk. Yaitu (katanya) Pin, istri Pomchay yang menggandeng anak laki-laki. Juga kakak perempuan Apo sendiri yang bernama Ran. Mereka minta maaf karena terjebak macet, dan katanya baru belanja di sebuah toko mainan.
"Salam kenal lagi, Apo, aku Pin."
"Salam kenal lagi juga--walau rasanya sangat aneh--Adikku Sayang, aku Ran." Wanita itu lalu menunjuk bocah yang kini digendongnya posesif. "Terus yang satu ini Abby. Keponakan kita berdua. Tampan, kan? Dia juga hampir punya adik lagi."
"Wah ...." Apo baru menanggapi dengan mata tertarik ketika melihat si bocah senyum. "Umn, salam kenal juga, Abby."
Mereka semua lantas makan bersama. Diiringi banyak cerita yang menyangkut keluarga, dan itu membuat Apo makin mengenal tentang mereka. Dia pun mengangguk-angguk memperhatikan, tahu-tahu sudah jam setengah 9.
Mereka bilang, Apo harus cepat istirahat. Apalagi infusnya baru dilepas tadi sore. Mungkin Apo belum terbiasa dengan sistem pencernaannya yang baru dipakai lagi, jadi banyak sekali spekulasi.
"See you, Apo," kata mereka bergantian sebelum pulang. "Dahh." Dan karena orang-orang sering melambaikan tangan setelah mengatakan hal itu, Apo kini paham itu tandanya mereka tengah pamitan.
"Oh, sudah tidak pakai cara menundukkan kepala lagi," batin Apo. Dia pun membalas dengan lambaian yang lebih luwes, sementara Mile senang ketika dia tetap mencoba brownies yang tadi dibawa pulang.
"Enak tidak?" tanya Mile setelah menggendongnya lagi ke kamar. Apo pun melihat sekotak brownies yang sudah dia gigit sekali, kemudian mengangguk pelan.
"Enak kok," kata Apo benar-benar tulus. "Semua makanan di sini enak. Aku sampai lupa makan itu rasanya bagaimana."
Maksud Apo, tidak ada makanan-makanan yang barusan dia coba pada kehidupan sebelumnya. Namun, aneh lidahnya bisa menerima begitu saja. Apa karena memang bawaan selera? Apo tidak benar-benar paham.
"Baguslah," kata Mile. "Lain kali kalau minta apa-apa bilang saja. Aku pasti akan belikan." Lelaki itu lantas mengambilkan ponsel baru Apo yang sudah dipasangi nomor ulang. "Dan yang ini, sudah kuatur semua. Data, sosial media, dan lain-lain. Soalnya ponsel lamamu itu rusak. Jadi, lebih hati-hati lagi berkendaranya, hm?"
Apo pun menerima ponsel itu, meski agak bingung. Mile jadi menjelaskan benda itu untuk menghubungi dia, cukup pencet saja tombol panggil jika mau berbicara.
"Wah," kata Apo. Lalu tampak berbinar seolah baru dapat mainan baru. "Jadi tidak perlu merpati ...."
"Ha ha ha, merpati itu jaman kapan? Apa kau bermimpi lagi selama tertidur lama?" tanya Mile.
DEG.
Apo pun refleks mengangguk. "Ah, iya. Soal itu ... umn. Mimpi banyak. Benar," katanya gugup. Jangan sampai aku kelepasan lebih banyak. Aku bisa-bisa cerita tanpa tersadar.
"Oh, iya, Mile. Terima kasih," katanya. "Untuk segala-galanya. Aku belum bilang sejak baru bangun di sini."
Mile pun meraih kepala Apo untuk mengecup keningnya. Cup. "Good, yeah," katanya. "Jangan pikirkan apapun. Ayo tidur. Besok kutemani seharian."
"Eh?"
"Jalan-jalan mau? Aku ambil cuti kerja dari kantor. Lagipula belum kuambil jatahku entah sejak kapan," kata Mile. "Kalau iya kita ke akuarium."
Apo pun meremas piama bagian lututnya. "Tapi aku masih susah jalan," katanya dengan pipi yang memerah. "Aku tidak mau digendong di luar rumah."
.
Demi apa. Dilihati anggota keluarga saja rasanya malu. Apalagi--
"Tidak apa-apa, jangan cemas," kata Mile. "Kan bisa dikosongkan tempatnya cuma buat kita? Oke?"
DEG
"Eh, bisa begitu?" tanya Apo.
"Bisaaa, ha ha ha," tawa Mile gemas. "Ya ampun, kenapa kau jadi lucu sekali setelah bangun? Aku benar-benar tidak menyangka." Lelaki itu pun mengacak-acak rambut Apo, walau tidak berani kasar karena perbannya baru dibuka. "Maksudku, lebih lucu. Dulu kau juga begini, tapi seringan marah-marahnya. Dasar."
Apo tidak tahu kenapa, yang pasti dia suka sekali diperlakukan seperti itu. "Iyakah?" tanyanya. "Jadi aku ini pemarah?"
"Yeah, kalau cemburu dan tidak suka sesuatu," kata Mile. "Tapi selain itu biasa saja sih. Kau masih tetap sama di depan mataku."
Apo pun menelengkan kepala karena bingung. "Cemburu? Itu apa?" tanyanya. Mile sampai kesulitan menjelaskan, malah hanya memeluk lelaki tercintanya.
"Ha ha ha ha, ya ampun. Sudahlah. Tidak paham juga tak masalah. Malah bagus," kata Mile. "Sekarang ayo tidur segera. Sudah malam."
"Umn."
Mile pun mengambil tempat di sebelah Apo setelah cuci muka dan sikat gigi. Dia sangat tampan dengan piama yang memperlihatkan sedikit dada, bahkan membuat Apo berdebar karena dipeluk di sana.
"Hmmm, good night," kata Mile sebelum menutup mata.
Bukannya ikut, Apo malah meraba dada indah itu perlahan. "Kurasa, aku beruntung sekali mendapatkanmu," batinnya. Sakit sekali bila ingat baru bercinta dua kali dengan sang raja, dia sudah diperlakukan tidak hormat karena lunturnya kepercayaan. Dicekik, diinjak, dan diteriaki pria itu itu--Apo tanpa sadar balas mengeratkan pelukan kepada Mile karena dia benar-benar bahagia.
Selamat tidur juga, Mile.
Bersambung....