"Nngh--nnh." Apo pun merintih dengan desisan pelan. Antara malu dan berhasrat, dia memilih mengikuti naluri. Apo berpegangan pada lengan Mile selama dihentak kasar. Dia beradu pandang dengan sang suami tanpa menoleh. Membayangkan bagaimana cara lelaki itu menyayanginya sebelum kecelakaan. Jujur, Apo seperti merasa bersalah. Dia seperti merebut kehidupan "Apo Nattawin", walaupun sosok itu merupakan pecahan jiwanya sendiri.
Mengapa harus lupa ingatan segala? Mengapa tidak langsung tergabung menjadi satu? Apo yakin dia tak masalah dengan dua memori, toh manusia pada umumnya punya banyak pengalaman hidup. Karena itulah, tanpa sadar dia menangis.
Apo membuat Mile khawatir dengan pipi yang mendadak basah, sampai-sampai menghentikan hentakannya sejenak. "Apo, Apo. You're oke? Apo, kemari tatap mataku," kata sang suami sembari menggamit dagunya.
Apo pun memeluk leher Mile seolah manja. Padahal dia hanya ingin menyalurkan kekalutan hati yang tak kunjung habis, bahkan meski mereka masih menyatu. "Apa aku boleh mencintaimu, Mile? Kau ini terlalu baik," katanya di sela-sela isakan. "Aku hanya, ugh ... apa aku sudah merebutmu dari seseorang? Aku takut melukai "dia" karena melakukan ini."
Mile yang bingung pun mengelus belakang kepalanya. Dia mengesun ubun Apo beberapa kali, tapi tidak tahu harus menenangkan dengan cara apa. Sejujurnya Mile juga begitu gelisah. Sebab Apo seperti sedang menekan sesuatu, tapi Mile juga tak bisa membacanya.
"Dia" siapa, maksudmu? Kita hanya berdua di sini," kata Mile. "Kau dan aku juga tidak punya mantan istimewa sebelum menikah. Mungkin kau hanya banyak pikiran."
Apo pun mengusap matanya ketakutan. "Benarkah?" tanyanya. "Maksudku, sungguh-sungguh tak masalah? Mile, aku takut pergi kalau sudah terlanjur menyukaimu."
Entah apa alasannya, Mile juga tertular kesedihan Apo. Dia pun merengkuh lelaki itu seolah jadi tubuh sendiri, lalu berbisik pelan. "Dengar, kau tak akan pergi kemana-mana. Kalau pun mau, takkan pernah kuizinkan, paham? Kau dimana pun tetap milikku."
Apo pun sedikit lega, meski kecemasannya tak mau pergi. "Mm."
Mereka pun melepaskan peluk untuk saling memadu kasih. Apo bahkan bisa tertawa, meskipun wajahnya sedikit bengkak. Dan dia menutup muka karena dipenuhi sekali tak cukup. Mile pun ikutan tertawa, meski lelaki tercintanya tidak bilang apa-apa. Dia paham Apo masih menginginkan malam ini berlanjut semakin panjang. Karena itulah, Mile pun keluar sebentar untuk memberikan jeda napas Apo. Dia merangsek untuk menggelitik sisi panggul ramping lelaki itu. Bibirnya mengecup melumat. Dan Apo membalasnya dengan merogoh penis.
"Haha, nakal. Kau ingin menyentuhnya juga sekarang?"
"Boleh?" Apo sudah balas maju saat mengatakan itu. Dia mendorong Mile hingga ambruk ke belakang, tapi Mile malah mengajaknya berguling-guling di ranjang besar itu.
Atas, bawah. Miring, tengkurap--Mile dan Apo rebutan posisi seks yang mereka yakini paling menyenangkan, walau akhirnya Apo tetap berakhir tergencet dinding. "Ah!" Sambil berlutut, dia mencakar permukaan bercat gelap itu dengan jari-jari. Wajahnya tampak jelas dibakar nafsu, dan Mile segera memasukinya ulang dari belakang.
"Sayang, coba buku mulutmu sedikit."
"Ahhh, nnhh," desah Apo yang bibirnya dirabai Mile dari belakang. Dua jari masuk ke dalam rongga hangatnya, dan Mile mengambil saliva dari sana untuk dipakai melicini penis Apo. Sambil terus keluar masuk, bungsu Romsaithong itu mengocok benda tegang Apo tidak henti-henti. Makin berbuih, makin cepat. Mile bahkan tidak menurunkan kecepatan meski Apo sampai memekik. Lalu meloloskan klimaks lelaki itu ke dinding. "Aaaaahhh! Mmmfff. Mmh!"
Cairan putih pun membanjir di mana-mana. Dari dinding, mengalir lambat semakin turun. Dan yang baru dilepaskan Mile di bokong Apo ikutan tercurah keluar.
Leleh. Hangat. Kekentalannya menghiasi paha-paha Apo hingga basah, dan beberapa muncratan ikut menghiasi seprai. Namun, pergumulan mereka tak berhenti di sana. Sesaat setelah dibanting rebah ke ranjang, Apo terkejut karena tiba-tiba matanya ditutup. Dia tak sempat bertanya, karena Mile membukanya tidak lama kemudian. Tapi tangannya sudah dalam kondisi ditali sabuk.
"Mau coba permainan kecil?" tawar Mile dengan seringai tipisnya. Lelaki itu menalikan sabuk ke salah satu pondasi ranjang, barulah melepas celananya secara total.
"Ah, ya. Tapi, sebentar ...." pinta Apo yang kepalang malu. Dia berdebar keras karena belum pernah melihat Mile telanjang bulat, dan sekarang dia sungguh bersemangat. Dipandanginya tiap detik proses Mile meloloskan garmen itu dari kaki. Dan Apo tak berkedip hingga Mile melemparnya ke lantai.
Oh, lihat itu. Otot-otot paha kekar yang ingin sekali Apo sentuh. Dia membuat tawa kecil Mile terdengar gemas. Barulah menarik kedua pahanya untuk mendekat. Srattth! Apo pun menatap nanar ketika merasakan tusukan yang berikutnya. Namun, kali ini dia hanya bisa menggeliat di depan Mile. Mau menutupi mata dengan lengan tak bisa, padahal rasanya malu sekali.
"Mile, ugh. Pelan-pelan--" batin Apo dengan tangan terberangus beremasan. Selama ditumbuk, tubuh Apo pun terhentak ke belakang beberapa kali, tapi Mile tidak membiarkan dia jatuh. Sang suami sigap melepaskan hisapan pada puting saat kepala Apo mulai menerobos pondasi. Dia memeluk dan menjadikan lengannya sebagai bantal, tapi tetap bergerak cepat. Plakh! Plakh! Plakh! Plakh! Suara persetubuhan mereka memenuhi ruangan itu.
Kalau pun Apo tidak sanggup menatap Mile lama-lama, dia malah merona tebal karena bayang-bayang hubungan intim mereka membias di dinding. Lampu tidur temaram benar-benar sangat ramah di saat seperti ini. Dan makin membuat situasi panas.
Apo terlonjak karena tubuhnya ditarik duduk di ronde ketiga. Dia serasa hampir terjatuh, untungnya Mile memegangi pinggangnya. Astaga, sesak! Mile bahkan tidak mengeluarkan penisnya dulu sebelum mengubah posisi mereka. Malah terkekeh-kekeh karena Apo mengeluh.
"Mile, ini agak--"
"Apa? Menyenangkan? Hhh."
"Iya, tapi--ugh, nnnh ...." Keringat Apo pun mengucur lebih deras sekarang. Dia tidak habis pikir bisa menunggangi sang suami, apalagi memberinya pemandangan semesum itu di depan matanya. Ahh! Penis Apo bahkan mengacung ke atas, sayang dia tidak bisa menyentuhnya. Di lain pihak, Mile terus fokus menuntun pinggulnya agar keluar masuk. "Ahhhh ... nikmat, Mile. Ampuni aku, ahhh!!"
Leher penuh tanda Apo tampak indah ketika dia terlonjak. Kepalanya mendongak ke atas karena diserang nikmat hingga ke langit. Dan lampu tidur tidak lagi tampak pada matanya. Segala hal jadi buram. Dia mencakari pergelangan tangannya sendiri karena tak bisa meraih benda lainnya. Dan muncratan klimaksnya tercurah di perut Mile.
Ada senyum bodoh di bibir Apo, meski dalam kondisi terpejam. Dia membuat Mile merasa sukses sekali, walau sang suami belum puas juga. Lelaki itu menarik tengkuk Apo untuk berciuman setelah membuat becek di bawah sana. Pertemuan kulit mereka dihiasi benih-benih kental.
"Mmnhh, mmh," keluh Apo yang kesulitan menunduk. Mile pun melepasi sabuk di pergelangan lelaki itu agar bisa saling berpeluk.
Pelukan yang terasa hangat sekali. Mereka seolah mengisi kekosongan satu sama lain, sampai-sampai Apo bisa tertawa meski diserbu lelah. Dia tidak mau protes lagi karena Mile masih menginginkannya. Sang suami menusuk-nusuknya lagi di dalam sana, lengkap dengan pijatan pada dua belahan bokongnya.
Persetan dengan seberapa licin tempat becek itu, Mile malah rakus memasukkan dua jari diantara penisnya, dan itu membuat Apo tersentak kaget.
"Akhh!"
"Sssshh ...."
DEG
"Mmhh, Mile--" panik Apo ketika melihat rembesan darah di bibir Mile. "Kau berdarah, m-maaf! Ya ampun aku menggigitmu!!"
Mile tampak keperihan, tapi justru menariknya untuk berciuman lagi. "Kemari, kau harus bertanggung jawab mengobatinya."
"Ugfff! Mnnn--"
Apo pun menuruti sang suami meski dia agak ketar-ketir. Rasa anyir merembes dalam bibirnya hingga asin dan seperti karat, tapi tak ada seorang pun yang memisahkan diri. Mereka saling meneguk saliva yang sudah tertukar, meskipun agak aneh di sana-sini.
Lapar. Harusnya mereka belum puas meski badan sudah melemas pada ronde kelima. Tentu saja, Apo yang lebih dulu ambruk di pelukan Mile.
Brugh!
Dia sudah tak mampu bergerak. Mile jelas terlambat mengeluarkan penisnya sebelum klimaks, dan beban tersebut membuat Apo merasakan sepenuhnya masuk ke dalam. "Mmhh, hahh ... hahh ... hahh ...." desahnya yang coba mengatur napas. Apo pun terpejam berkali-kali karena kantuk. Dan mungkin tidak merasakan sensasi Mile mengecup keningnya di saat terakhir.
"Capek? Tidur saja kalau tidak kuat bangun," kata Mile yang suaranya memelan di indra pendengaran Apo. Apo pun langsung menutup mata, padahal dia masih ingin mengucapkan selamat tidur. Agaknya separuh nyawa lelaki itu sudah menguap, sehingga membuat Mile gemas untuk menyela-nyela surai rambut lembabnya.
"Ya, mana mungkin aku melepasmu begitu saja," gumam Mile yang kepikiran lagi dengan tangisan Apo tadi. "Coba saja pergi dariku, maka aku akan mengejarmu ke ujung bumi."
Cup.
"...."
"Selamat malam. "
Istirahat dan berikan senyum manismu lagi besok pagi nanti.
Bersambung ....