"Akan kubuat senyummu hadir, bagaimana pun caranya."
[Mile Phakphum Romsaithong]
Usai menonton kembang api, Apo benar-benar menuju gedung opera. Mile memesan kursi terdepan agar mereka melihat adegan secara jelas. "Bagaimana, Sayang? Takut tidak? Di sini memang agak gelap. Nanti lampu dimatikan kalau opera dimulai."
Gelap? Apo sudah terbiasa dengan itu. Apalagi di kerajaannya belum ada listrik. Dulu lampu-lampu bertenaga batrei dihasilkan hanya dalam kota besar, wilayah istana, dan Apo sering make-up dalam ruang remang-remang sebelum menari. "Tidak kok. Kan ada Mile di sini. Memang pertunjukannya seram? Ada hantu-hantu ya?"
"Kemungkinan ...." Mile mengendikkan bahu. "Soalnya di selebaran gambar Geisha-nya menari dengan baju putih."
"Oh ... Geisha itu nama penarinya?"
Mile jadi bingung menjelaskan. "Ya, singkatnya begitu. Mereka memakai riasan seputih tembok, tapi lebih putih lagi. Siapa tahu kau tak suka penampilan seperti itu--"
"Suka! Pasti suka!" sela Apo sambil senyum lebar. "Semua tarian aku akan suka. Yang melompat ... yang berputar ... soalnya aku sering belajar gerakan baru sekali lihat."
DEG
"Woah? Really?"
"Iya ... he he he. Aku sangat suka menari."
Mile pun tersenyum, walau dia bingung bagaimana harus berkomentar. Dipandanginya wajah sang istri. Lalu tatapan mata berbinar Apo. Mile pikir Apo tetap saja Apo (dia yakin bukan kerasukan) tapi semakin ke sini, Mile akui ada yang berbeda. Apo yang sekarang (mungkin secara tidak sadar) mengkonfirmasi "Inilah aku", ketika bicara hal-hal yang dia suka. Mile pun memperhatikan Apo lebih sering. Caranya berkedip ke arah panggung. Lalu menyedot minuman bersusu yang dia belikan. Mengapa kau jadi sangat manis. Sangat indah, tapi rapuh dan seperti ingin kulindungi (padahal Apo yang dulu membuat Mile hati-hati memandang). Sebab Apo akan marah jika Mile ketahuan, lalu membentaknya kasar.
"Mile, STOP IT! Mau kucolok matamu biar buta? Aku di tempat umum jadi merasa telanjang--heran ... cih ...."
"WOAHA HA HA HA HA HA! Sudah dimulai! Mile, lihat!" tawa Apo tiba-tiba. Suaranya diiringi tepuk tangan dari para tamu. Lalu Apo ikutan bertepuk tangan. Dia tolah-toleh dengan wajah yang ceria. Tampak belajar hal baru, tapi apakah orang amnesia sampai segitunya? Apakah orang amnesia bisa lupa kebiasaan yang dibawa lingkungan sekitar? Mile sungguh sulit membedakan apa saja yang sudah berubah dari istrinya. Dia diam saat penonton lainnya diam. Dan dia memperhatikan saat mereka juga begitu ....
"...."
"Ah, ada penari yang kecil juga, ternyata. Cantik sekali ...." puji Apo saat gerombolan gadis keluar dengan kimono ber-obi panjang. Lengan yang mereka kenakan nyaris menyentuh kaki, tapi gerakan yang diberikan tetap sangat anggun. Apo seperti mempelajari bagaimana cara mereka melangkah. Mengayunkan lengan dan jemari. Lalu senyum-senyum sendiri.
"Itu namanya Maiko, Sayang. Mereka adalah calon para Geisha. Masih masa pelatihan sebelum senior."
"Wah, iyakah? Semangat, Maiko!" kata Apo pelan. Dia tampak beradaptasi dengan suasana ruang. Lalu menatap si Geisha kagum. "Terus yang paling heboh penampilannya itu apa? Dia seperti ratu mereka ...." tunjuknya ke penari tengah.
Mile pun mengalihkan pandangan ke panggung. "Itu Oiran. Mereka memang tingkatan tertinggi. Pekerja seks mahal. Biasanya melayani pejabat yang kaya raya."
DEG
"Eh? S-Seks?"
"Ya ...."
Apo pun mengalihkan mata dengan pipi bersemu. "A-Aku tak menyangka yang kecil menjual diri ...." gumamnya sambil meremas lengan. Sebab Apo pernah di posisi itu, dan dia paham bagaimana kerasnya hidup mereka--
"Ah, bukan. Jangan khawatir, Sayang. Maiko itu hanya trainee, kalau Geisha penghibur tamu, dan cukup Oiran yang melayani," jelas Mile.
"Oh ...." kata Apo. Dia tampaknya begitu lega, walau pembahasan ini sedikit mengganggu. Sebab Apo ditiduri ksatria dan pejabat saat masih bocah, bahkan waktu itu dia belum mimpi basah. "Baguslah kalau begitu ...."
"Seniman Jepang ternyata cukup teratur," Batin Apo. "Mereka beruntung kaisar Zaman Edo memperhatikan. Dan kuharap tak ada yang sepertiku ...."
Mile sendiri susah fokus dari panggung. Dia lebih tertarik menatap Apo yang membaca pamflet. Sebab di sana ada pembahasan dalam Bahasa Inggris tentang asal-usul Maiko, Geisha, dan Oiran. Namun, perlahan tatapan Apo berubah sedih. "Kenapa, Sayang?" tanyanya.
"Eh?"
"Apa ada masalah? Jika iya bilang saja padaku."
Apo pun tersenyum manis. "Tidak kok, Mile. Maaf ya. Aku tadi hanya, umm ... merasa pertunjukannya sangat indah, ha ha ha ...." Dia mengusap mata yang mendadak basah. ".... mereka hebat sekali ...."
Mile pun paham Apo tidak nyaman, lalu mengenggam tangannya. "Hei, ayo keluar?" tawarnya. "It's okay, Sayang. Selama kita jalan hati-hati takkan mengganggu yang lain. Kau tidak harus selesaikan pertunjukannya."
"Tidak, tidak. Aku suka kok, Mile. Mereka semua luar biasa ...."
Mile pun membiarkan Apo bertahan, tapi dia terganggu ekspresi itu. Demi menghibur, dia pun membawa Apo masuk toko khas Jepang, dan tentunya ada banyak oleh-oleh untuk dibawa pulang.
"Serius, Mile? Aku boleh ambil yang mana saja?" tanya Apo saat berkeliling. Dia tampak semangat melihat deretan boneka Geisha. Lalu menepuk beberapa diantara. "Mereka imut sekali ...." pujinya.
"Hm, nanti bisa menjadi pajangan. Dan kau akan ingat momen kita kemari kalau melihatnya," kata Mile.
"Terima kasih ...." kata Apo. "Tapi, aku mau ambil 2 atau 3. Apa tidak apa-apa?"
Mile langsung mendekatkan sebuah boneka. "Ini ... bawa saja ke mbak-mbak-nya. Dua, tiga, atau sepuluh---bilanglah padaku kalau sudah cukup. Biar kuurus pembayarannya."
DEG
"Ugh, siap ...." Apo pun mundur karena kaget Mile sedekat itu. Bibir mereka nyaris menempel di tempat umum, dan Apo belum pernah diperlakukan seromantis tadi ketika di luar. "Tunggu, ya. Aku akan memilih yang lain ...."
"Hm."
Akhirnya Apo memilih 8 boneka (termasuk dari Mile). Isinya mini Maiko, Geisha, dan Oiran. Lalu tersenyum lebar saat diberi paper bag besar. Apalagi masih dibonusi gantungan kunci, foto, freebies, merchandise, dan art-book pula. Apo pun menenteng oleh-olehnya keluar, tanpa tahu berapa harganya.
"Ini bill-nya, Tuan. Total 420.000 yen," kata si penjaga toko ramah. "Kami pas-kan saja karena beli banyak. Dan terima kasih Anda memilih toko kami ...." (*)
(*) Kalau dirupiahkan kurang lebih 49 juta. Per boneka 6 juta-an.
Mile pun segera mengeluarkan dompet. "Ah? Ya, sebentar ...." Dia memberikan kartu karena yen kertas tak cukup. Lalu mereka memintanya menunggu. Sejenak kemudian Apo sudah memainkan salah satunya di depan toko, lalu lari-lari mengejar gadis kecil berumur 3. Tampaknya bocah itu baru dimarahi sang ibu. Sebab dia menunjuk toko boneka mahal di saat tak mampu beli. Tak, tuk, tak, tuk, tak, tuk--langkah kaki Apo pun ribut sekali. "Ehhhh! Tunggu! Tunggu! Tunggu! Ini hadiah untukmu ....!" katanya sambil menyodorkan boneka.
Mile melihat kejadian itu tepat setelah keluar. Dan si bocah langsung berhenti menangis. Dia yakin sang ibu tak paham omongan Apo karena Bahasa Thailand, tapi mereka yakin Apo memberikan benda di tangannya.
"Hiks, hiks, hiks ... hontou ka?" tanya bocah itu sambil mengucek mata.
"Iyaaa, ayo ambil," kata Apo. Dia pun tertawa setelah si bocah diam, tapi sang ibu segan menerima bonekanya.
"Arogatou, na," kata wanita itu. Dia pun mengobok-obok tas untuk menemukan sesuatu. Lalu Apo diberi hadiah balik. "Nee, ano na ... Edoo Furin natte--" dan bla ... bla ... bla ... (yang tidak Apo mengerti). Yang pasti, Apo juga menerima benda itu. Lalu mereka berpisah sambil melambaikan tangan.
"Dadah ...." kata Apo dengan raut cantik. Mile pun sulit berkedip menatap istrinya, walau tahu glass bell/lonceng angin yang dinamai Edo Furin itu murah. Sekitar 85 banding 1, mungkin? Tapi Apo bahagia saat menjinjingnya ke depan Mile. "Mile ... Mile ... lihat aku punya apaaa!"
Klinting, klinting, klinting ....!
Mile pun terkekeh saat menerima benda itu. Lalu mengacak ubun Apo Nattawin. "Bagus, pintar. Kau membuat dia tersenyum lagi ...."
"Iyaaa, kan? Hihihi ...." cengir Apo. "Ya sudah. Ayo pergi. Aku mau lihat-lihat tempat yang lain ...."
"Oke."
Mile pun diseret ke sembarang tempat. Diajak menirukan boneka kucing dengan tangan goyang, walau ke-aktifan Apo lenyap ketika diajak foto. Dia auto kaku saat berekspresi, dan tiap jepretan jadi menggelikan.
"Ha ha ha, kenapa tampak konstipasi? Apa kau sedang sembelit?"
Apo pun mengecek foto-fotonya malu. "A-Aku tidak tahu ponsel bisa dipakai mengambil gambar," katanya. "Wahh ... ini bahkan lebih bagus daripada lukisan."
"Lukisan?"
"Iyaaa, kan harus melukis dulu kalau mau dapat gambar ...."
Untuk kesekian kalinya, Mile pun terdiam pada malam itu. Dia berpikiran harus apa untuk tahu alasan berubah, tapi juga bingung dengan tindakan yang harus diambil. "Tidak perlu ...." katanya. "Ini namanya fitur kamera, Sayang. Kau bisa mengambil gambar apapun yang yang tersebar di kota ini. Tidak perlu dilukis satu per satu."
"Oh ...."
Mile menerima ponselnya kembali. "Baiklah. Mau mencoba ramen sebelum pulang? Aku yakin kau akan menyukainya."
Apo pun menelengkan kepala. "Ramen?"
"Mie, Sayang. Khas Jepang. Ada banyak daging di dalamnya, udon, rupa-rupa ... kalau iya kita belok ke kedai depan."
Apo pun menoleh ke rumah makan itu. "R-Ramai sekali ...." desahnya. "Apa tidak ada tempat lain? Aku takut orang besar yang di sana ...." Dia menatap gerombolan preman bertato mangkal. Dan mereka duduk untuk menikmati Ramen sambil terbahak. HA HA HA HA HA!
Mile pun menghela napas. "Tentu, ayo. Di restoran ujung pasti ada lagi," katanya. Sungguh dia bukannya keberatan biaya, tapi jaraknya jauh untuk mereka yang sudah berjam-jam keliling. Dengan sandal kayu, pula. Mile yang biasa menyetir mobil jadi sangsi, tapi dia tetap menuruti Apo.
Keduanya pun menikmati hidangan resto setelah 5 jalan, dan Apo habis dua mangkuk karena enak. "Yang itu ... aku juga mau coba yang itu ...." katanya sambil menunjuk gelas Mile.
"Wait, what? Yang ini jangan, Sayang. Kau bisa mabuk kalau minum."
"Mabuk? Seperti aku muntah di pesawat?"
Mile pun mulai habis kesabaran. Jujur dia lelah menjelaskan karena Apo tak tahu nyaris segala hal, bahkan membedakan beberapa istilah saja kebingungan.
"Bukan, Sayang. Mabuk minum itu hilang kesadaran dan pusing. Tapi tidak selalu muntah juga. Soalnya ini arak beras. Kau kan tak kebal dengan yang berbau alkohol ...."
Apo justru penasaran saat gelas Mile dituang. Sebab warnanya seputih susu. Lalu dia lirik-lirik pada sang suami. "Tapi kan jadinya berbahaya. Kenapa Mile malah minum itu?" tanyanya.
"Aku?" Mile menenggak satu gelas sebelum menjawab. "Ya kan toleransi tubuhku tinggi. Butuh 3-4 botol sampai aku mabuk. Tapi kau? Jangan sampai menggila seperti di kantor hanya karena salah minum ... ahh ...."
Tak!
Apo pun menatap gelas Mile takjub. Dia melihat orang-orang di sekitar ngawur, geleng-geleng sambil ngomong sembarangan. Bahkan ada yang tertawa sebelum pingsan. "Hoo ...." desahnya karena paham. Namun, lelaki itu malah nyengir lebar. Lalu menyambar gelas Mile berikutnya.
Srath!
"Hei, Sayang--"
"Aku dapat! Ha ha ha ha ha!"
Gulp, gulp, gulp, gulp, gulp, gulp--
Mile pun melotot melihat Apo antusias. Bahkan mendongak saat meminum sake-nya. "Astaga, ya Tuhan ... kau baru saja melakukan apa?"
"Ahhhh!"
Tak!
Apo pun tertawa setelah membanting gelas. Meniru Mile. Lalu mengusap bibirnya dengan lengan yukata.
"Sekarang bagaimana? Apa yang kau rasakan? Apo? Pusing tidak? Atau panas di tempat tertentu?"
"... he he he he he he. Tidak kok. Itunya enak. Aku berhasil mencobanya. Yasss!" kata Apo sumeringah. Dia pun makan lagi. Bahkan menyeruput kuah Ramen dari mangkok langsung. "Hmmm, slurrrp ... enaknya ...." Dia kini memanggang daging sendiri. Semuanya tampak normal sampai Mile heran. Karena Apo yang dulu begitu lemah--
Brughhhhh!
"HEI ASTAGA, APO!"
SIAL! UNTUNG SAJA MILE CEPAT MENANGKAP BAHU ISTRIYA! Jika tidak, wajah Apo pasti sudah masuk mangkuk--ya ampun ... Mile bahkan harus memutari meja dulu. Tetap memegangi. Lalu menepuki pipi lelaki itu.
"Apo, Sayang? Apo ...."
"Hmmh, Mile ... pusing ...." keluh Apo di dadanya. Sang istri pun tampak lemas, matanya terpejam, tapi sanggup memeluk pinggang Mile untuk mendusel ke sana. "Hnngh, buminya seperti bergerak ...."
OH FUCK! TENTU SAJA, ASTAGA!
Mile pun menggeser meja. Menggedong Apo. Lalu minta tolong ke pelayan untuk membawakan paper bag mereka.
BRUGH!
"Hmmhh ...." lenguh Apo setelah direbahkan di ranjang hotel. Mile memang sedikit membanting karena tak tahan. Punggungnya sakit, sebab harus membopong mulai turun taksi, naik lift, dan masuk ke kamar mereka. "Hhh ...." Dia menggeliat hingga yukata bawah tersingkap--glek!
Jangan menggodaku di saat seperti ini, Apo. Kau benar-benar sangat curang, Batin Mile. Sakit di punggungnya pun langsung hilang. Apalagi Mile membelai paha mulus Apo hingga naik ke celana dalamnya.
"Hnngh, hnnh ...." desah Apo dengan bibir berkuluman.
Mile pun meneguk ludah untuk kedua kalinya. Menatap dalam. Lalu melumat bibir ranum Apo tepat saat membuka mata.
DEG
"Mile--"
"Hmmm ...."
Apo pun langsung terbelalak, hanya sedetik. Lalu lelaki itu merangkul leher Mile untuk membalasnya lebih dalam.