"Segalanya, hanya kuberikan untukmu ...."
[Mile Phakphum Romsaithong]
"ANGKAT ANAK KECIL ITU!! MASUKKAN YANG PALING PARAH KE AMBULAN! CEPAT! CEPAT! CEPAT!!" teriakan polisi, petugas medis, dan pemadam kebakaran pun bercampur menjadi satu. Mereka bekerja sama membereskan kejadian dan perkara. Mulai pengedar narkoba yang sembunyi dalam truck, sopir taksi meninggal, pria beranak satu pingsan setelah terbentur palang, bocah sesak napas karena asap, dua wanita di aspal, satunya lagi Apo Nattawin. Lelaki itu diseret keluar dari kursi penumpang, dipegangi lengannya. Lalu dibaringkan di atas trotoar.
Pandangan Apo kabur diantara keributan yang terjadi. Dia lemas dengan badan luka-luka dan siapa pun yang bicara tidak mampu dia lihat. Apo hanya bergumam sakit sambil memegang kepala. Lalu meringis karena pipinya terus ditepuk. "Hei, sadar, kan? Sadar? Kau merasakan keluhan apa saja, Nak? Aku Redmund sedang bicara denganmu."
Apo tetap saja sakau. Dia diberi alat bantu napas agar lebih nyaman, tanpa tahu 14 meter dari tempatnya ada ledakan dan api berkobar-kobar. Dua motor yang tadi terseret dirapikan polisi ke pinggir jalan. Kemacetan terjadi dalam hitungan detik, secara terpaksa jalan dialihkan. Para pengendara yang mengomel pun disorot wartawan. Secara live peristiwa itu masuk dalam berita dadakan.
[Pemirsa kecelakaan tiba-tiba terjadi diantara arus lalu lintas Jalan Wattana, Bangkok pada pukul 1 siang hari ini. Sebuah truck melaju kencang dari arah timur---]
Apo pun duduk setelah merasa baikan. Dia diberi minum dalam kondisi separuh sadar, tapi mampu meneguk segera. Jakun tajam pada lehernya pun naik turun. Air mengalir dari sudut bibir ke bahu yang bersimbah darah. Untung seorang petugas medis menemaninya. Gadis itu terus mengecek kondisinya, siap mengobati di tempat karena ambulan terbatas. Tak ada lagi tempat untuk Apo dibawa ke rumah sakit. Dia tertinggal diantara seluruh korban, terus ditanyai. Sementara Apo diam di tempat mencoba mencerna situasi. "Aku kecelakaan?" tanyanya.
"Ya, Tuan. Sekarang bisa buka dulu kemeja Anda? Saya bersihkan biar lukanya tidak infeksi."
"Dimana?"
"Wattana, Tuan."
"Jam berapa?"
"Sekarang pukul 1 lebih 13 menit."
"Aku di Wattana sedang apa?"
Si petugas medis tak tahu harus menanggapi bagaimana. Dia hanya membantu Apo bersih-bersih. Apo diam. Sampai menyadari di lehernya ada kalung yang menyala. "Mile ...." sebut lelaki itu dalam hati. Apo pun berdiri setelah merasa kuat. Dia mengambil ponsel retak serta dompetnya di jalan, padahal polisi baru akan mengambilkannya.
"Ini ponselmu?"
"Ya, Pak."
"Oh, baiklah. Maaf, tadi niatnya kupungut untuk barang bukti."
"Tidak perlu, tidak perlu. Ini milikku, akan kubawa."
"Oke." Polisi itu menepuk lengannya. "Kau sungguh baik-baik saja? Maaf juga bantuan kami tak sebaik itu."
"Tak masalah."
"Kalau mau menunggu, pasti ada ambulan lain yang menyusul. Bagaimana dengan duduk dulu? Akan kuambilkan kursi dari mobil pemadam--"
"Aku baik-baik saja, cukup," kata Apo sambil menelepon Jirayu. "Aku punya sopir sendiri."
Si polisi mengangguk lalu pamit mengerjakan tugas lain. Sesekali dia mengamati Apo apakah memang setangguh itu, sebab si korban luka langsung memungut kemeja sambil memarahi sopirnya. "BANGSAT SIAPA YANG BUTUH IZIN?! CEPAT KEMARI! ATAU KUPOTONG PELIRMU ITU! DASAR KAU BEDEBAH KECIL!" Dia teriak murka total, tapi setelah sambungan putus justru menangis tidak karuan. "Hiks, hiks, hiks ... bodoh ... harusnya Mile tahu diri. Persetan dengan Lee si tua jalang. Demi Tuhan takkan kubiarkan penismu masuk sebulan .... hiks ... hiks ...." Dia lalu berjalan sendiri membelah orang. Apo terlalu risih dengan kebisingan, dia kesal. Apalagi kepalanya dimasuki jutaan memori yang baru kembali. Lelaki itu menyikut dua wartawan yang ingin berita. Membentak mereka. Bahkan menantang berkelahi hanya karena masih ingin menangis.
"Tuan, tuan--sedikit saja--"
"MAU KUCOLOK MATAMU ATAU BAGAIMANA?! HAH?! AKU INI BARU KENA MUSIBAH!!" bentak Apo, sampai si wartawan mundur-mundur. "TERUSKAN SAJA MIK-MU DATANG!! Maka jangan salahkan kalau mik-mu satunya lagi menghilang ...."
DEG
"Apa, Tuan?!"
BUAGHH!
"HISSSSHHHHH! MINGGIR KALIAN SEMUA!!" bentak Apo sambil meninju. Dia mengamuk dengan tempramen jelek. Untung wartawan lain langsung memisahkan mereka. Ada yang minta dibawakan kamera. Ada yang meletakkan mik di jalan untuk menolong. Tapi tak ada yang berani komentar saat Jirayu datang. Sopir Apo langsung menghentikan mobil. Dia syok. Lalu keluar sambil berteriak.
"TUAN NATTA, BERHENTI!!"
BUAGH! BUAGH! BUAGH!!
"PERSETAN DENGANMU! KAU INI MAU MATI ATAU BAGAIMANA?!"
BUAGH! BUAGH! BUAGH!
"TUAN NATTA, JANGAN!!"
Sang majikan tetap berguling-guling di jalan raya dan menghajar semau hati.
BUAGH! BUAGH! BUAGH! BUAGH!
Apo melampiaskan kesal hingga menang, meski usai berkelahi berdirinya malah pincang. Dia bahkan kuat menendang dengan kaki babak belur. Lalu menunjuk wartawan lainnya satu per satu. "Kalian, kalian, kalian, kalian ... bisa jaga etika sedikit? Lain kali tahu kondisi orang kalau tak mau celaka," katanya.
Jirayu pun menyadari ada yang berbeda. Dia sempat mundur, tapi kena mental juga karena ikut dibentak. "Tuan--"
"KAU JUGA TUNGGU APA LAGI?!! KEMARI BANTU! AKU INI TIDAK BISA JALAN!"
DEG
"Ah! B-Baik! Baik! Saya datang ... saya datang ...." kata Jirayu tergagap-gagap. Dia memapah Apo masuk mobil. Tancap ke rumah sakit, tapi si majikan langsung melepas infus begitu dokter keluar. "TUAN--?!"
"DIAM KAU."
"Tapi, Tuan Natta--"
"Aku ini ada janji dengan Ibu," kata Apo, masih dengan piama medis berwarna biru. Tubuh dalamnya boleh terbalut perban, kening dan bibirnya juga diplester, tapi Jirayu malah disuruh gantian pakaian. "Sini lepas suit-mu. Nanti kami ada diskusi pukul 5. Kau beli baju baru saja di toko. Kuberi uang--"
"Eeeeeehhh .....!"
"Ini adalah masalah hidup dan mati."
Apo pun menjambaki jas Jirayu karena lama tak direspon. Mau tak mau Jirayu pun telanjang di tempat. Minus singlet dan boxer saja Apo tak mengambil, dia biarkan Jirayu garuk-garuk lengan karena dilempar piama.
"Wahhhhhh!"
"Itu, pakai. Kalau ketahuan aku kabur, pokoknya kau tanggung semuanya."
"Apa?!"
"Kunci mobilnya kubawa."
Apo pun keluar kamar rawat, meski kadang-kadang mendesis ngilu. Dia masih memakai dasi sepanjang jalan, dan masuk lift-nya dengan cara jalan aneh. Dia memang berusaha tegar. Lalu mendecih karena sang suami menelepon.
[Mile]
Calling ....
"Ck, nanti saja ...." kata Apo. Lalu mengantungi ponsel di saku kemeja. Untung Jirayu menggunakan parfum yang lumayan mahal, jadi bau badan sopirnya tak terlalu mengganggu. Dia menyetir mobil menuju ke alamat sang ibu, tapi rasa sakit sehabis kecelakaan terasa juga di jalan. Kedua maniknya pun meneteskan air mata, langsung jatuh di pipi. Lalu Apo mengusapnya menggunakan jari luka. "Hiks, hiks ... ya ampun--sial ... perih sekali rasanya. Hiks ... hiks ... BISA TIDAK SIH LANGSUNG SEMBUH BEGITU?! ARRGH!!"
BRAKKKH! BRAKHH! BRAKHH! BRAKH!
Apo marah-marah sendiri di dalam sana. Dia memukul setir dan menyetel musik. Seketika mobil disko seolah-olah sedang tawuran.
"CRAAAWWWLING IN MY SKIIIIINNNN! THESE WOUNDS THEY WILL NOT HEAAAAALLLAALLLL!! FEARRR ISSSSS HOWWWWWWW I FAAAAAAALLLL!! CONFUSIIIIIIIING IS HOW I FALLLLL!!"
Lelaki itu ikut menyanyi bersama lagu rock milik Linkin Park berjudul "Crawling" untuk melupakan rasa sakitnya.
"HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA!!"
Dia tertawa mirip orang gangguan bipolar, lalu mengeraskan volume sekali lagi.
"Wah, wahhh ... wah ... Jirayu. Seleramu ternyata bagus juga, ya ...." puji Apo sambil melirik video-music yang terputar dalam mobil.
Lama-lama Apo menikmati perjalanan itu, tapi mematikan ponsel karena Mile terus menelepon. Ah, biarkan. Suami tak tahu diuntung sepertinya harus dihukum. Enak saja tanya kabar usai mementingkan orang lain? Apo tidak semurahan itu.
"Nak, apa kau baik-baik saja?" tanya Cuanchen yang mendadak datang. Penguasa alam mimpi itu tampak khawatir. Dia berkeringat. Entah dari tugas apa, tetapi langsung kemari. "Kudengar kau baru kecelakaan ...."
"Iya, barusan," kata Apo sambil memelankan musik. Dia melirik Cuanchen yang berjubah tradisional. "Tapi oke, kok. Aku tidak mati. Patah satu dua tulang normal, lah. Tapi terapinya nanti saja sepulangnya bertemu Ibu."
"Baiklah, aku hanya kaget tiba-tiba ada perintah menjenguk kemari."
"Cih ... aku tidak apa-apa ...." kata Apo, tetap mengusap pelupuk terus-menerus. "Tapi heran juga sih. Memang aku secengeng itu ya, waktu jadi penari? Lihat? Mata ini menangis sendiri dari tadi ...."
"Ya, kau tidak ingin kembali, Nak," kata Cuanchen. "Duniamu yang dulu terlalu keras ...."
Apo pun memutar bola matanya. "Aku tahuuuuu," katanya ketus. "Aku ini lebih dari tahuuuu, Tuan Chen. Ck ck ck ... aku ingat semua hal sekarang."
Cuanchen pun akhirnya tenang, lalu meninggalkan Apo yang termenung selama menyetir. Dia sempat merasa janggal karena dapat gambaran lain dari dirinya. Apalagi kehidupan di kerajaan. Apo ingat selama masuk sanggar disuruh diet. Karena kata guru penarinya gendut itu jelek. Tidak elok! Kurang indah! Tak menawan! Maka Apo harus jadi sempurna untuk mendapat bayaran tinggi.
"Hiks ... hiks ... hiks ... h-hanya minum teh di pagi hari? Tidak ada gulanya?" tanya Apo setelah menahan tiga hari tak protes.
"Iya, tidak ada," kata pengawas sanggar. "SUDAHLAH JANGAN REWEL!! KALAU MAU MAKAN ENAK YA JADI PRAJURIT SANA!! SEGALA DAGING ADA! SAYUR! KOIN EMAS! WANITA! TAPI JANGAN SOK PAHLAWAN KALAU PEDANG MUSUH MEROBEK ORGANMU!"
Apo yang ketakutan pun mengangguk patuh. "I-Iya, maaf ...." Dia segera minum berteguk-teguk. Terlalu lapar. Itu pun masih dimarahi lagi.
"HEEEEEEHHHH!! MANA ADA PENARI MINUMNYA BEGITU!! ULANGI!! ULANGI! MUNTAHKAN TEHMU DI LUAR!!" kata si pengawas sanggar lagi. "HARUS CANTIK! HARUS ANGGUN! CEPAT NANTI KUAJARI ULANG!!"
Apo pun diseret ke halaman, digebuk punggungnya. Lalu terbatuk hingga cairan perutnya keluar. Semata-mata itu hukuman karena sudah sembarangan. Tak ada ampun bila ingin menjadi penari tersohor.
"Ha ha ha ha ha ha. Brengsek juga semua orang di sana ...." kata Apo, sembari menghentikan mobil. Dia tak sanggup mengabaikan percampuran memori lagi. Terlalu kesal. Karena ujung-ujungnya menangis. Lelaki itu sesenggukan sambil memeluk setir. Cukup lama sampai tak tahan menelepon Mile Phakphum. "Hiks ... hiks ... hiks ... Mile ... minta jemput ...." katanya merajuk. "Sakit tahu, sakit ... hiks ... hiks .... hiks ...."
"(#+")$)$(#)$)?!!"
"Iyaaa, aku baru kecelakaan ... hiks ... hiks ... hiks ...."
"#+)$!$)$)_(_!!"
"TIDAK MAU TAHU!! CARI SENDIRI TEMPATNYA!! SIALAN KAU BEGITU SAJA TAK BISA!! KEPARAT TOLOL!! SUAMI TIDAK BERGUNA!! ARRRRGHHHHHH!" bentaknya, lalu melempar ponsel ke jok belakang. Toh sudah remuk juga layarnya. Sekalian rusak biar makin puas rasanya.
BRRRRRMMMMMMMM!!!
Apo kembali melanjutkan perjalanan. Dia tak menangis lagi, tapi kedua matanya bengkak parah. Apo juga meminta Miri agar pertemuannya di luar saja. Sebab dia belum siap bertemu Zizi dengan rupa seperti penjahat. "Maaf, Adik beda universe ... kakakmu ingin memang jahannam. Lebih baik kau tahunya belakangan saja," katanya.
Miri akhirnya menyetujui. Wanita itu sigap mem-booking restoran yang privat. Lalu membawa sang suami seperti janji. Namun, Han kaget melihat Apo tertatih di tempat parkir, padahal dalam bayangannya, sang putera memiliki nasib baik di sini. Maksud Han, bukankah Miri bilang Apo punya suami pebisnis?
Mile Phakphum Romsaithong, bukan?
Lantas kenapa sekarang bonyok dimana-mana?
"Sayang, Nak ....?" tanya Han.
"Ayah ...."
BRUGHHH!!
"Eh! Eh! Sayang--!!"
"Ayah, aku kangen ...." kata Apo, lalu mempererat pelukan. "Kukira kita takkan bertemu lagi, serius ... Ayah berubah tampan sekali--ha ha ha ha ha... Ayah keren memakai jas begini. Ya ampun ... kenapa dulu capek-capek di pasar?"
Han pun ikut tertawa haru. "Ha ha ha, tidak tahu? Kau juga cocok kok memakai suit," katanya sambil menepuk punggung Apo. "Makin gagah. Sangat cerah. Siapa bilang kau cuma bagus menari?"
"Ha ha ha ha ha ...."
"Ha ha ha ha ha ...."
Mereka berdua pun menuntaskan rindu, tak peduli orang lewat memandang seperti apa. Saat masuk ternyata Miri sudah pesan berbagai menu. Mereka tinggal makan sambil berbincang-bincang. Sejak itulah Apo tahu setiap penyeberang punya pendamping sendiri. Sebab Han dan Miri tidak diurus Cuanchen. Mereka akhirnya bertukar informasi terkait "Nona Lee", yang pasti kena sihir Ratu Praya karena dia adalah pecahan jiwa sang ratu di sini.
"Lee itu nama panggungnya Gong Li, kan? Dia aktris hebat kelahiran Tiongkok," kata Miri. "Ibu tahu karena mengikuti trailer film terbarunya tahun ini."
"Film?"
"Ya, Mulan versi live action. Kau tahu, kan? Yang jadi penyihir di sana? Poster film itu sudah keluar di bioskop sekarang ...." jelas Miri. "Hanya saja, miris. Dia juga korban diantara kita. Akting jadi penyihir, malah disihir betulan, huh? Oke, Sayang .... kau boleh menghukum Lee, tapi dia jelas ikut hancur jika tujuanmu membalas Yang Mulia Ratu."
"Ya ampun ... terus aku harus bagaimana, Bu?" tanya Apo bingung. "Apa ada cara untuk menghilangkan pengaruh sihir? Setidaknya biar Nona Lee aman tanpa mengejarku lagi ...."
Han dan Miri pun berpandangan. Orangtua Apo ikutan bingung. Sebab keduanya hanya orang kecil di dunia kerajaan. Satunya pedagang sayur, satunya lagi penjahit. Apo bisa sekolah penari saja karena beasiswa "Tuan Hitam", lantas dari mana mereka tahu soal ilmu sihir?
Tunggu, tunggu, tunggu ... tunggu ....
"Tuan Hitam."
"Tuan Hitam."
"Tuan Hitam ....."
Mendadak ketiga orang itu mengatakan hal yang sama. Baik Han, Miri, dan Apo serasa dapat jalan keluar. Sebab jika ada 7 pecahan jiwa, maka si "Tuan Hitam" yang bisa sihir pun harusnya di sini juga. Tapi, siapa? Bagaimana cara menemukannya? Atau setidaknya ... kalau pun ketemu orang itu harus apa untuk melawan sihirnya? Tiga kepala pun dipenuhi satu pemikiran.
"Ehem, baik ... baik ... biar Ayah luruskan dulu," kata Han, membuat Miri dan Apo fokus menatapnya. "Begini, Nak Sayang ... setahuku si "Tuan Hitam" memang punya sihir, dan tandanya adalah tato di dada. Kau pernah lihat tidak? Bagian kiri, mungkin? Di sini. Gambar phoenix atau apa aku lupa," jelasnya sambil menunjuk dada sendiri. "Tapi core itu bisa dilepas ke dalam benda lainnya, dengan kekuatan setara dan bisa dipercaya. Misal tombak atau pedang milik majikan."
DEG
"Apa? Serius, Yah?"
Apo pun ingat pedang yang dititipkan kepadanya usai si "Tuan Hitam" tidak kembali. Terakhir setelah peperangan waktu itu. "Tuan Hitam" hilang tanpa jejak, dan parahnya dia baru tahu ada core yang menempel di sana.
"Ya. Biar orang lain tidak tahu identitas aslinya sebagai orang penting," jelas Han. "Misal dikejar musuh atau semacamnya. Atau dia butuh bersembunyi karena ada bahaya, tapi Ayah tidak tahu lebih dari itu."
"Oh ...."
Miri pun ikut menimpali. "Jadi, kalau core sihir dipakai tatonya muncul, tapi kalau dilepas tatonya hilang? Begitu, Yah?" tanyanya.
"Hmm, betul ...." kata Han. "Makanya penyihir itu tidak paten. Mereka jadi orang biasa setelah core dilepas, tinggal ilmu bela dirinya saja yang menempel, kalau pun punya," jelasnya. "Tidak "Tuan Hitam" atau siapa pun. Tapi tenang senjata itu hanya bisa dibuka oleh orang yang dipercaya."
DEG
"J-Jadi aku dipercaya beliau ...." batin Apo langsung membuang muka. Sebab dia pernah membuka sarung pedang itu, membuat telinganya memerah malu. Padahal kehidupan penari bukanlah hal yang pernah dia alami sendiri, hanya saja kenangan dan sensasi bercinta dengannya pertama kali tetaplah ada.
Apo lama-lama bisa gila.
Tapi daripada itu ...
NGOMONG-NGOMONG SIAPA SIH "TUAN HITAM"?! HAH?!
SEGALA PAKAI CADAR SEGALA!!
CUIHHH!!
APO JANJI AKAN MENJAMBAKNYA KALAU BISA BERTEMU!
"Oh, begitu ... oke paham, Yah ...."
Sayang hanya siluet lah yang bisa Apo ingat jelas, atau suara ringkikan kuda hitamnya ketika pergi.
"Ah, tapi intinya tidak berguna," kata Miri. "Kalau pun kita bertemu pecahan jiwa "Tuan Hitam", dia hanya manusia biasa di sini. Tanpa core orang itu takkan bisa apa-apa. Jadi, buat apa mencarinya? Kita cari cara lain saja."
"Hmmhhh ...." desah Han. "Ini memang menyebalkan, tapi benar juga."
Mata Apo pun berkaca-kaca. "Ugh, jadi belum ada jalan keluar?" tanyanya, malah mengasihani diri sendiri.
"Belum," kata Miri. "Karena sihir tetap harus dibalas dengan sihir, Nak. Kecuali si "Tuan Hitam" ikut menyeberang kemari, atau orang lain yang bisa sihir kemari."
"...."
"Itu baru bisa menolong," timpal Han. "Jadi sementara waktu kau tetap harus lari dari tanda-tandanya. Jangan menyerah, tapi wajar bila penyihir sulit matinya."
"Hm," sahut Miri. Berusaha menguatkan Apo dengan remasan lengan. "Kurasa mengharapakan "Tuan Hitam" datang tak mudah, Sayang. Beliau kuat. Pasti masih hidup di sana, walau kudengar tidak jadi ksatria lagi."
Apo pun mengangguk kecil. Dadanya sesak, tapi bagaimana lagi. Malah dia jahat jika mengharapkan pria yang pernah menolong segera mati tak adil. Pertemuan itu akhirnya tidak menghasilkan apapun, hanya pengobat rindu. Tapi pulangnya Apo justru menanggung rindu yang lain. "Aku tidak tahu bagaimana kabarmu sekarang ...." batinnya, meski mata lurus ke jalan raya. "Apakah sehat? Sakit? Bahagia? Sudah beristri? Atau sama-sama tak bisa melupakanku ...." Dia meremas setir untuk melampiaskan rasa. ".... aku hanya ingin mengatakan bahwa aku mencintaimu---setidaknya sekali seumur hidup. Tapi nyatanya kau tak pernah kembali ...."
BRRRRMMMMMMMMM!!!
Tepat pukul 6 sore, saat matahari tenggelam Apo pun melaju kencang sekali. Toh jalanan lengang jam-jam segini. Anehnya dia tidak berteriak seperti tadi. Tidak menyalakan musik, melainkan hanya menikmati kesunyian yang baru terasa.
"Apo, Sayang? Oh syukurlah ... kau benar-benar di sini ....." panggil Mile dari belakang. Sang suami sadar Apo mengadu ke tempat kencan pertama mereka, toh "The Grand Palace" memang paling menenangkan jika sedih. Di sana ada banyak candi dan patung penari. Membuat Apo merasa di pulang ke rumah.
"Hiks, hiks, hiks ... Mile ...."
BRAKHH!
"Apo!"
Usai membanting pintu mobil, Mile pun berlari kepada sang istri. Sepenuhnya syok melihat kondisi Apo. Apalagi punggung itu bungkuk saat duduk di kap mobil. Apo tampak menanggung beban yang sangat berat. Begitu rapuh, tapi Mile tak pernah tahu apa alasannya.
"Apo! Apo! Apa kau baik-baik saja? Kenapa? Bukankah kau kecelakaan? Tapi kenapa malah di sini? Sayang ...."
BRUGH!
Apo pun memeluk Mile seerat mungkin. Dia lelah, tak peduli mau bagaimana masa depan berjalan."Hiks, hiks, hiks .... Mile ... aku kangen ....." katanya. "Aku kangen sekali. Aku kangen ... aku mau pulang sekarang ...." isakanya di bahu itu.
Mile yang baru berputar-putar pun loading, dia sama resahnya. Lalu menepuki punggung itu. "I'm here ...." bisiknya. "Aku akan selalu ada sini, oke Sayang? I still here for you as always ...."