"Aku mencoba untuk tak bertanya, tapi seluruh hal tentangmu harusnya milikku."
[Mile Phakpum Romsaithong]
Saat dipeluk, Mile sebenarnya membuka mata. Dia meremas lengan Apo demi melampiaskan rasa, tapi si empunya sudah kembali pulas. Jujur, semalam dia penasaran kenapa Apo menyebutnya 'Tuan Hitam', walau Apo sendiri tidak menyadari. Mile nyaris ragu dengan telinganya, tapi panggilan itu tak hanya sekali. Dia yakin Apo menyembunyikan sesuatu, tapi batinnya bergejolak saat memandang wajah tidur sang istri. Apakah dia perlu bertanya? Jika tidak, Mile akan terus menanggung beban ini. "Sayang ...." panggilnya ketika mereka dalam perjalanan pulang.
"Iyaaa?" tanya Apo. Lelaki itu baring di ranjang jet-nya. Tidak mau duduk. Takut muntah kalau merasakan turbulensi lagi.
"Hmm, aku bertanya serius ya ... apa kau ada masalah?" tanya Mile. Dia berjongkok di sebelah Apo yang main boneka (sedang menelanjangi Oiran dan memakaikan kimono baru), lalu menatapnya baik-baik. "Jika ada, bilang saja, hm? Nanti pasti kubantu. Jangan takut karena aku janji tak akan marah."
Apo langsung tampak pias. Dia menjilat bibir karena tak tahu sejauh apa larangan Cuanchen. Apakah boleh memberikan kisi-kisi? Atau sampai "Teori tentang dunia lain" itu jelas dulu baru dia terlempar kembali? "Umn, sebelumnya kenapa Mile bertanya begitu?" tanyanya. "Apa aku melakukan kesalahan sama Mile?"
Kesalahan? Tentu saja tidak. Mile justru takut dia yang salah, sampai-sampai Apo tidak mau cerita kepadanya. "Tidak, Sayang. Bukan begitu maksudku. Tolong jangan berpikian buruk," katanya sambil membelai rambut Apo. Lelaki itu bangkit dari telungkup. Lalu fokus kepadanya. "Hanya saja--sebenarnya ada banyak hal yang ingin kutanya. Tapi aku tidak mau membuatmu tersinggung."
"Seperti?"
Apo hanya berkedip bingung di tempatnya.
"Seperti--" Mile sendiri kesulitan menjelaskan. ".... kau adalah orang yang berbeda?" Bola matanya jadi berair. ".... aku tahu, aku tidak seharusnya mengatakan itu, tapi ini terlalu jelas, Apo. Aku juga tidak mau kau terluka, apalagi memaksamu melakukan terapi otak macam-macam," katanya. ".... atau obat, mungkin? Apalagi memanggil exorcist di belakangmu. No, Sayang. Aku yakin aku bisa percaya padamu ...." (*)
Apo pun terhenyak mendengarnya.
(*) Excorcist/excorcisme adalah sebuah praktik untuk mengusir setan atau makhluk jahat lainnya dari seseorang atau tempat yang dipercaya sedang kerasukan setan
"So, sekarang bisa kau katakan saja? What's happens here? Aku tidak mengenal istriku? Kau juga memanggilku 'Tuan Hitam' dua kali tadi malam ...."
Mulut Apo justru terkunci. Lidahnya kelu saat baru membuka mulut, dan Mile menunggunya sesabar mungkin. ".... a--"
Tuan Chen, Tuan Cuanchen ... apa yang harus kulakukan? Batin Apo sambil meremas Oiran telanjang. Aku harus menjawab Mile seperti apa?
"Maksudku, Tuan Hitam itu siapa? Apa salah satu mantanmu? Jika iya, dimana dia sekarang? Biar kuberitahu kalau kau menikah denganku," kata Mile. "Dia harus paham kau itu milikku, Sayang. Aku ini tidak bisa membayangkan kau dengan orang lain."
Dada Apo bun berdebar kencang. Rasa-rasanya ada tabuh perang di dalam sana, karena kecemburuan Mile jelas sekali. Sang suami ingin memukul si 'Tuan Hitam' dengan tinjuan tangan, tapi Apo tidak menyebutkan nama aslinya. Ah, rasanya menjengkelkan. Coba saja Apo mengatakan jelas. Dia bisa memerintah orang untuk melacaknya. Mereka bertemu. Lalu Mile akan menegaskan posisi sebagai suami yang sah di mata rivalnya--
"A-Aku, umn ... aku juga tidak tahu siapa dia," kata Apo jujur. "S-Soalnya wajahnya ditutup separuh. Kami bertemu pas aku kecil, dan--ah ... maaf aku ingat dia pas melakukannya denganmu semalam--"
DEG
"Apa?" Mile kelihatannya syok sekali. "Waktu kecil? Kapan? Dimana? Kau bilang pacaran pertama adalah dengan wanita--ah siapa namanya yang waktu itu ... Mint? Aku hanya--hm, bagaimana ya. Aku bukan lelaki pertamanya?"
Apo makin bingung menjelaskan. "Ugh, ugh ...." katanya sambil menggeleng. "Tapi, umn ... Apa Mile tetap tak marah padaku? Aku hanya--waktu itu melakukannya untuk uang makan."
DEG
"What? Astaga ... shit--sebentar aku ingin berpikir dulu," kata Mile, lalu menjilat bibir keringnya. Dia pun duduk memunggungi Apo. Sangat bingung, lalu menatap mata sang istri. "Tapi ... itu memori masa kecilmu kan? Apa ini tanda-tanda kau mulai mengingat? Sayang, bilang aku punya kesempatan mendapat dirimu kembali ...." katanya penuh harapan.
Apo melihat itu sama besar dengan sakitnya, tapi Mile masih sanggup mengendalikan diri. "Apa Mile mau menungguku ingat semua?" tanyanya balik.
"Ya, ya ... tentu, tapi--boleh aku bertanya lagi?" tanya Mile. Dia meremas kedua bahu Apo karena terlalu emosional.
"Hmm?"
"Apa Papa Man dan Mama May tahu soal ini? Kau melakukannya dengan si 'Tuan Hitam' waktu kecil? Aku hanya--apa ya ... aku janji tidak akan bertanya ke mereka daripada malu, tapi ini agak membingungkan, Sayang ...." kata Mile secepat kereta api. "Kenapa tidak bilang kalian pernah kesusahan, hm? Atau sekarang masih ada hutang, mungkin? Jujur padaku biar kutanggung sisanya."
Apo memerah karena dagunya diraih. "Umm, sudah lunas ...." Dia pun menggeleng pelan. "Aku membayar semuanya dalam dua tahun, Mile. T-Terus--semuanya baik-baik saja sampai sekarang."
"Sungguhan kan?" tanya Mile ketar-ketir.
"Iya," kata Apo sembari mengangguk. "Aku juga bisa sekolah kok waktu itu ...."
Perasaan Mile pun bercampur aduk. Tapi separuh bebannya kini menghilang. Dia menatap Apo sedalam mungkin. Bertanya 'apa masih ada lagi?', tapi Apo menggeleng sambil bilang '... lain kali Mile tanya saja kalau aku jadi aneh'. Ya, walau Apo tahu Mile kecewa. Seperti baru ditipu, mungkin? Tapi Apo sudah berusaha tidak berbohong ....
"Oke, deal ya. Tidak ada yang disembunyikan kalau ada sesuatu," kata Mile sambil menangkup pipi-pipi Apo. "Tetaplah seperti ini. Bilang terus. Karena kau harus paham apa artinya ini."
Apo pun menatap cincin di jari manisnya dan Mile Phakphum. "Kita menikah?"
"Iya lah. Tentu saja, Sayang. Kau kuikat karena kita harus bertahan berdua," kata Mile. "Terus ... kalau ingat momen baru lagi, ceritakan semua padaku, hm? Take ur time, tidak perlu buru-buru hanya karena kutanya."
"Iya ...."
BRUGH!
"Oh, I don't wanna lose you anymore ...." desah Mile sambil memeluk sang istri. Apo dan Oiran telanjang pun tergencet pada dadanya. Dia kalut, tapi begini lebih baik daripada dia gelisah setiap waktu. Ya, setidaknya kau tidak hilang lagi, Apo. Astaga ... takkan kubiarkan siapa pun merebut posisiku jadi yang terakhir, apalagi posisi pertamanya sudah direbut si 'Tuan Hitam' brengsek!
Apo pun diam selama dipeluk, menanti Cuanchen yang tak kunjung datang, dan menyesal karena memanggil si penguasa mimpi ketika bertugas. Deg, deg, deg, deg, deg, deg--ugh ... Dia pun mengepalkan tangan ketakutan. Lalu berjanji akan bertanya detail setelah panggilannya bersambut. "Aku benar-benar minta maaf, Mile. Aku tidak bermaksud begitu ...." rengeknya dalam tangisan tanpa suara.
Sebenernya Apo sempat merasa aneh pada hari peresmiannya sebagai selir. Sebab dia disambut di istana secara mewah. Bahkan para dayang, Ratu Praya, dan ketiga Putera Langit berdiri di luar, padahal Apo merasa dirinya kurang berharga. Namun, Raja Arthit benar-benar mengatur sebuah upacara khusus untuknya. Ada musik dan tarian cantik. Lalu Apo digandeng sang raja pergi. Mereka ke bungalow di sayap Barat untuk bersenggama. Lalu Apo disinyalir tentang posisinya.
"Kau paham arti aku memanggilmu kemari kan?" tanya Raja Arthit yang tengah memeluk. "Statusmu sebagai 'Hamba' sudah terlepas, dan di luar sana kau harus menjaga namaku seperti nyawa sendiri."
Apo pun mengangguk pelan. Dia bergelung kembali dalam selimut mereka, tapi dalam hati penasaran. Tadi ... kenapa putera mahkota menatapku aneh, ya? Batinnya. Dia yang berjubah oranye di sebelah ratu, kan? Yang paling tinggi dan keras. A-Apa dia menyukaiku juga? Aku takut sekali ....
Apo paham dia hadir hanya sebagai objek pemuas. Tidak harus ikut campur dengan urusan istana.
Tapi kadang dunia nyata terlalu rumit. Dia tidak nyaman dengan tatapan si Putera Mahkota ketika lewat. Seolah ditelanjangi. Apalagi Pangeran Kedua tampak antipati. Dia seperti terpaksa menerima Apo, tapi diam saja tak seperti Pangeran Ketiga yang jahil.
BRUGH!
"AH!"
"Ha ha ha ha ha! Ha ha ha ha ha! Aku tidak sengajaaaaa! Wleeee~"
Dia pun pergi begitu saja. Meninggalkan Apo yang baru diserempet jatuh. Untung wajahnya tidak menyusruk tanah.
Well, Apo tidak masalah. Dia sudah pernah dapat perlakuan yang lebih parah, tapi dia tak menyangka dipanggil Pangeran Kedua secara pribadi lusanya.
"Ah! Hormat Hamba kepada Pangeran Jay Yang Agung!" kata Apo sembari bersujud. Dia pun duduk tegak setelah beberapa saat, tapi matanya tak berani beradu dengan ketajaman di depan sana. "Ada apa gerangan, Yang Mulia? Hamba merasa terhormat bisa bertemu Anda." Dia melakukan tase kepada lelaki itu. (*)
(*) Tase adalah istilah di istana Apo untuk tangan yang menangkup salam atau menghormat.
"Apa adikku melukaimu?" tanya Pangeran Kedua. "Kau harus tahu di istana ini tak ada yang benar-benar melindungimu."
DEG
Eh?
"Mohon maaf, Hamba sudah mengerti, Yang Mulia. Ugh, mungkin ... mungkin beliau hanya ingin bercanda ...." kata Apo. Dia memang harus selalu merendah sesuai kasta. Lalu tersenyum manis, dengan tatapan mengambang yang masih sama. "Tidak apa-apa. Hamba masih baik-baik saja."
"Masih? Ya, sekarang begitu. Tapi kau takkan pernah tahu besok dan besoknya lagi," kata Pangeran Kedua. Apo pun mendengarkan khidmad, bahwa selama ini belum pernah ada selir untuk sang raja, karena Ratu Praya sudah cukup hebat untuk melahirkan tiga pewaris tampannya. Dia juga sanggup mengatur tugas seorang ratu. Memimpin balai-balai dan projek khusus wanita. Bahkan ikut andil mengatur strategi perang beberapa kali.
Apo pun diminta berhati-hati (seolah itu peringatan yang kedua untuknya), lalu diberi plakat mungil yang tak pernah dia harapkan. "Ini apa, Yang Mulia?" tanyanya sambil mendongak. Dia menggenggam benda itu dengan kedua tangannya, lalu dijelaskan pilihan untuk pergi.
"Intinya aku menyarankan kau keluar dari sini. Paling lambat minggu depan, dan jangan bilang siapa pun kalau aku yang menyuruhmu begitu," kata Pangeran Kedua. "Dengan itu kau bisa pergi menggunakan kuda istana, tunjukkan saja pada penjaga, tapi ambil yang di perbatasan bukan sekitar sini."
"...."
"Jadi, putar isi kepalamu sedikit. Cari jalan kabur di saat yang tepat. Ajak keluargamu, dan jangan pernah kembali kemari."
DEG
".... eh?"
Pangeran Kedua pun mengibaskan lengan jubahnya. "Sekarang pergi," katanya. "Masuk ke pavilionmu, dan anggaplah pertemuan ini tak pernah terjadi."
Apo pun segera mundur. Pamit setelah menyembunyikan plakat mungilnya, tapi dia tak berhasil sampai ke kamar. Seorang dayang sudah menghentikannya di tengah jalan. Memanggilnya untuk menemui sang raja. Lalu dia digelandang masuk ke sebuah ruangan. Di sana Raja Arthit tidak basa-basi. Lelaki itu langsung mendempetnye ke dinding. Menjambaki sabuk dan celananya ke lantai. Lalu masuk ke dalam dirinya langsung dengan menyakitkan. Arghh! Jeritnya. Tapi bangun-bangun Apo sudah sendirian.
Apo merasa persetubuhan semacam itu seperti mimpi. Dia tidak bisa merasakan pinggangnya lagi. Mengusap darah di selangkangan. Lalu dibawakan setelan baju baru yang lebih indah.
Kata pelayan, "Apa Anda suka dengan desainnya, Than Apo? Ini pilihan Yang Mulia sendiri. Beliau ingin Anda memakainya saat menari untuk pagelaran acara nanti malam." (*)
(*) Than julukan Apo sebagai selir di sana.
Menari? Apo bahkan ragu dia sanggup bergerak. Namun, meski tertatih dia tetap menuju ke kolam bunga. Mandi bersih, barulah sadar kalau plakat mungil dari Pangeran Kedua ikut diberesi pelayan.
DEG
"Tidak, tidak, tidak, tidak, tidak ...." bisik Apo saat mencarinya di bilik. Namun, ranjang yang dipakainya bersama Raja Arthit pun sudah rapi. Dayang-dayang pergi. Lalu dia dipanggil Ketua Sanggar untuk latihan sebentar. "Ah, iya ... aku sudah hapal gerakannya kok. Tolong beri waktu sedikit lagi. Aku sedang kehilangan sesuatu ...."
Namun, Apo justru dibentak utusan kedua. Dia dianggap menyepelekan perintah raja, lalu pergi tanpa sempat menemukan plakatnya.
"Oh, Ya Tuhan ... itu Pangeran Jay, dan aku tidak sanggup menghadapi beliau ...." kata Apo saat mereka nyaris berpapasan di lorong. Dia pun malu sudah ceroboh. Seolah tidak menghargai bantuan yang diberikan. Lalu pergi ke Sanggar Tari lewat jalur memutar. "Aku janji akan segera menemukannya, Yang Mulia. Aku pasti segera pergi setelah acara ini ...." batinnya kalut.
Sayang, apapun yang Apo rencanakan tak pernah terjadi. Sebab usai menari dia diseret Raja Arthit duduk di pangkuan. Ikut acara minum, digodai di depan pejabat tinggi, bahkan terpaksa melayani dengan perkataan manis hingga selesai.
"Hohoho, satu gelas saja tidak berani? Benarkah? Kau tidak ingin merayakan perluasan wilayahku hari ini? Ah, betapa sombong sekali ...." kata Raja Arthit makin memberatkan. Sambil lirik-lirik, Apo pun menerima gelas sari buahnya. Mengangguk. Lalu permisi meminumnya di depan semua orang.
"Mmhh, pahit ...." kata Apo dengan hidung mengerut. Semua orang pun tertawa karena reaksinya, lalu acara minum-minum itu berlanjut. Ya, walau di dunianya tidak ada arak beras seperti kata Mile, tapi Apo benci sari buah kerajaan karena pahit. Dia juga tidak mabuk, tapi terheran-heran kenapa banyak orang yang menyukainya.
"HA HA HA HA HA! HA HA HA HA HA HA HA HA!" tawa semua orang bersahut-sahutan. Mereka kadang memaksa Apo minum beberapa gelas lagi. Kekenyangan air. Lalu Apo demam pada pukul 2 pagi.
"Ahh, sakit ... sakit ... kepalaku pusing sekali ...." kata Apo yang keluar kamar untuk menghirup udara. Dia memegangi perut yang penuh makanan campur. Lalu menyempatkan cuci muka sebelum kembali.
BUAGHHHHHH!
"Mati kau!"
"Arghhhh!!" jerit Apo saat tengkuknya dipukul dari belakang.
Dia pun pingsan dan tubuhnya diseret beberapa orang (tidak jelas siapa) dan kesadarannya pun menghilang setelah itu.