"Aku adalah suamimu. Aku menikah denganmu. Lantas kenapa aku seolah belum memahami dirimu sepenuhnya?"
[MILE PHAKPHUM ROMSAITHONG]
Sejak pulang dari Jepang, anehnya Apo sering tidur karena kelelahan. Awalnya Mile kaget melihat Apo meringkuk di sofa, padahal dulu tak pernah begitu. Perjalanan apa pun Apo betah, dan diajak kemana pun Apo tak selemah ini. Dia pun menggendong Apo ke kamar terlebih dahulu, padahal niatnya pulang untuk mengambil dokumen saja. Mile juga menyuruh para pelayan memberesi boneka-boneka Apo. Ada yang tergeletak di sofa, ada yang nangkring di meja, ada yang jatuh ke lantai. Beberapa juga belum di-unboxing. Mile pun mengambil satu untuk dipajang di kantor, hitung-hitung ingat momen bersama Apo waktu di Jepang.
"Anda kepikiran apa, Tuan Mile?" tanya salah satu bawahannya.
Mile sampai lost-focus di tengah rapat karena sang istri. Dan kepalanya terhantui pertanyaan apakah daya tahan Apo menurun setelah koma cukup lama. Itu sungguh menakutinya. Saat Mile pulang jam 9. Apo tiba-tiba berteriak kencang, padahal dia posisi tidur lelap dalam mimpi.
"ARRRRRRGGHHHH!! TIDAK!! TIDAK!! JANGAN MENDEKAT!! TIDAK!! ATAU AKAN KUPUKUL KALIAN BERDUA!! MINGGIR ANJING GILA!! ARRRGHHH!!"
Mile pun batal melepas dasi. Rautnya panik. Lalu mendekat kepada sang istri. "APO?! APO!! Sayang ... open your eyes, please. Ya Tuhan ... istriku ... please comeback to me ... please ...." katanya sambil memeluk Apo yang berontak. Namun, ternyata mimpi itu sangat dalam. Apo memukul Mile karena tak ingin dipeluk, padahal Mile sudah mengguncang badannya berkali-kali. "Apo ... kumohon jangan menakutiku. Sayang ... jangan begini, astaga ... You can't do this to me..."
Apo tetap saja mengamuk. Dia belingsatan di atas ranjang dengan raungan yang kencang, padahal piama-nya masih sama tadi siang. Mile yakin istrinya belum bangun sama sekali. Masih terjerat mimpi, padahal sudah tidur 9 jam lebih.
"AKU TIDAK MAU IKUT KALIAN!! TIDAK!! JANGAN MEMBUATKU MEMBUNUH KALIAN!! TOLONG!! AKU SUKA ANJING TAPI JANGAN MEMAKSAKU!! ARRRGHHH! TIDAK MAU!! ARRRGHHHHHHHHHHH!!"
Puncaknya Mile dipukul pada bagian kepala. Apo menangis. Karena katanya dua anjing itu sudah mati. Dia meringkuk kembali dengan gemetaran. Masih belum bangun. Bibirnya merintihkan topik yang tak bisa Mile terima.
"Hiks, hiks, hiks .... kalau mau ambil kepalaku silahkan ...." kata Apo sambil menggigit jari sendiri. "Hamba tidak apa-apa dipenjara. Hamba tidak apa-apa, Yang Mulia. Hamba mau mati kalau memang salah ...." racaunya. "Tapi tolong jangan orangtua Hamba. Hiks, hiks ... tolong jangan ikutkan mereka ... hiks ... hiks ... mereka tidak tahu apa-apa ...."
Mile pun terus memeluk Apo, meski tidak paham. Dibelainya rambut dan tubuh Apo. Lalu disayang ubun-ubunnya. Dia ingin Apo tenang tanpa merasa sendiri. Dan Apo bangun pada pukul 12. Tidak kurang, tidak lebih. Tepat saat pergantian hari. Lelaki itu membuka mata dengan wajah bengkak di sana-sini. Namun saat ditanya linglung, apalagi matanya menatap ke sekitar kamar. "Hks ... hks ... k-kenapa bukan penjara?" katanya, dengan napas masih tersesak.
"Penjara apa, Sayang?" tanya Mile sambil terus membelai.
Bola mata Apo bergulir ke sang suami, lelaki itu diam. Dia menoleh kesana-kemari, seperti mencari sesuatu dan tampak trauma. Lelaki itu meneliti pintu kamar yang berwarna putih. "A-Anjing mati-nya tidak ada ya ...." katanya. "Aku tadi membunuh mereka berdua--hks ... hks ... atau mereka lari? Aku benar-benar memukul kepala mereka ...."
Mile yakin istrinya terguncang, jadi dia menenangkan dulu sambil mengajak bicara. Mile juga mengeluarkan ponsel diam-diam untuk merekam obrolan mereka di atas nakas. Entah apa yang terjadi saat itu. Yang pasti usai bercerita Apo menguap kecil. Lalu minta diantar pipis dengan mata yang masih terpejam. Apo bilang tubuhnya capek jadi ingin lanjut tidur. Mile pun mengizinkan, walaupun tetap khawatir.
Apa dia akan mimpi buruk lagi? Pikirnya.
Namun Apo tidur seperti bayi. Lelaki itu lelap di bawah selimut. Makin pulas, sementara Mile ke balkon mendengar rekaman itu.
["Sebenarnya tadi kamu mimpi apa?"]
["Huh? Mimpi?"]
["Iya, Sayang. Yang barusan lho. Kau sampai menangis sebegininya."
["Unnngh ....]
Apo masih separuh sadar saat bercerita. Dia kadang mengucek mata. Kadang merajuk, tapi Mile paham apa intinya.
["Prajuritnya bilang aku akan dieksekusi besok pagi--hiks ... hiks ... mereka mau memotong kepalaku di sana. Semua orang bilang aku mencuri dokumen kerajaan--hiks ... tidak ... aku benar-benar tidak pernah melakukannya. Hiks ... a-aku juga tidak suka Yang Mulia Ratu. Aku sukanya sama Yang Mulia Raja. T-Terus mana mungkin aku tidur dengan dia? Aku hanya--hiks ... aku hanya melakukannya sama raja kok sejak masuk. Walau--ungh ... kadang beliau juga memukulku. Hiks ... t-tapi tidak masalah asal jangan sentuh Ayah dan Ibu ...."]
Ini seperti kisah dalam dongeng. Sebab ada raja, ratu, prajurit dan lain-lain ... bahkan Apo menyebut dirinya "Hamba". Mile pun memutarnya 275 kali karena sulit percaya. Bahkan dialog barusan dia hapal di luar kepala. Akhirnya pada pukul 3 Mile menyimpan ponsel dalam lemari. Dimatikan. Lalu dia mandi bersih sebelum memeluk Apo Nattawin. Pikirnya, besok kan masih harus bekerja. Namun, jika istrinya masih begini--bohong jika Mile tidak khawatir. Mile membelai wajah Apo dan mengamatinya hingga pagi. Sepenuhnya insomnia, padahal si empunya bilang tak ingat apa-apa.
"Umnghh ... Mile ...." lenguh Apo. "Pagi ...." katanya sambil mengucek mata. Dia bisa tersenyum dan nyengir menggemaskan. Membuat Mile bingung saat menatapnya.
"Pagi juga, Sayang ...." balas Mile. Dia bertanya apakah "Apo masih capek?" Tapi Apo menjawab "Kenapa aku harus capek?" kan itu baru bangun tidur. Mile pun merasakan kejanggalan lain. Dia gelisah, tapi Apo sudah ditinggal turun ranjang saat mau bertanya.
"Eh? Mile--"
"Maaf, Sayang. Aku harus berangkat lebih pagi," kata Mile. Dia tampak bersiap-siap pergi ke kantor. Namun, mobilnya justru belok ke jalur tol. Mile izin dadakan kepada manajer lewat telepon. Lalu pergi ke Chiang Mai untuk menemui kerabatnya yang mahasiswa psikologi: Jeff. Dia bilang, "Cek isi rekaman kami berdua. Dengarkan saja. Menurutmu itu apa?" karena tak percaya psikolog betulan saat ini. Mile hanya ingin diskusi dengan sosok yang dia percaya secara personal. Jeff kaget, terlebih usai Mile mendengar semua ceritanya.
"Ini seperti lucid dream?"
"Hanya lucid dream?" kata Mile. "Perasaanku tidak bilang begitu." (*)
Jeff memutar rekaman Mile terus-menerus. "Phi Po berjalan tidak selama bermimpi? Siapa tahu ini mirip dengan sleep-walking?" tanyanya. (**)
(*) Lucid dream merupakan salah satu fenomena mimpi. Kondisi ini terjadi saat seseorang sedang bermimpi di tengah tidurnya, dan sadar bahwa ia tengah bermimpi.
(**) Sleepwalking atau tidur berjalan adalah gangguan yang menyebabkan seseorang untuk berdiri dan berjalan saat tidur. Biasanya dialami anak-anak umur 4-8 tahun. Sembuh sendiri saat sudah dewasa.
"Tidak, Jeff. Dia hanya mengamuk di atas ranjang. Tiba-tiba saja begitu ...." kata Mile dengan mata memerah. Antara kurang tidur dan berkaca-kaca. Dia tampak layu karena keresahan dalam dada. "Apo berteriak kencang, memukul, menangis, tidak bisa dibangunkan, tapi setelah membuka mata lupa ingatan ...." lanjutnya. "Itu artinya dia sendiri tidak sadar sedang bermimpi."
"...."
".... aku tahu istriku amnesia, Jeff," kata Mile. "Aku paham ini mungkin salah satu gejalanya. Tapi--coba pikir ...." lanjutnya disertai gestur tangan. Mile ingin mendeskripsikan perasaannya lebih tepat. Tak mau Jeff salah paham, apalagi menganggap dirinya delusional. "Apo-ku dianggap amnesia karena lupa memorinya sendiri, kan? Itu wajar. Sangat logis. Tapi mana mungkin dia lupa tentang diri orang lain?"
Jeff pun berusaha menelaah omongan kakak sepupunya. "...."
"Aku tidak tahu lagi ...." kata Mile. Kali ini suaranya goyang. "Istriku yang sekarang benar-benar milikku atau bukan--aku hanya ingin terus percaya ...." Lelaki itu mengantungi ponsel setelah Jeff dapat salinan rekaman. "Cuman, jika kemarin dia bisa kuajak bicara--lantas bagaimana dengan sekarang? Apo tidak ingat apa yang dialaminya. Aku jadi bingung harus melakukan apa."
Jeff pun menghela napas panjang. Dia menepuk-nepuk bahu Mile agar tenang. Kemudian bilang akan diskusi bersama teman psikolognya yang bisa dipercaya juga. Dia tahu posisi Mile seperti apa--seorang tokoh penting. Wajar jika psikolog yang bukan keluarga masih dianggap orang luar. Persetan dengan kode etik. Mile sulit menyerahkan soal Apo sembarangan. Namun saat dia pulang, Apo ternyata sudah normal lagi. Lelaki itu bersepeda memutari halaman, dan di belakangnya ada dua anjing milik sang Ibu mertua. "HA HA HA HA HA HA HA! HA HA HA HA HA!! AYO KEJAAAAARRRRR!!"
KRING! KRING! KRING! KRING! KRING!
"Guk! Guk! Guk!"
"Guk! Guk! Guk!"
Nathanee menemani menikmati pemandangan itu sambil tertawa lepas. Oh .... betapa bahagia para German Shepherd kesayangannya.
"MAEEEEEEEEE!! HA HA HA HA HA HA!! MEREKA HAMPIR KENAAAAA!! HA HA HA HA HA HA!!" jerit Apo senang karena dapat sepeda baru. Dia turun begitu merasa puas. Lalu memberikan setumpuk makanan kaleng dari keranjang untuk disantap mereka. Nathanee sengaja kemari biar menantunya main, toh anabulnya juga olahraga. Apo yang tak punya kegiatan keluar dari kebosanan. Terbukti senyumnya lebar melihat anjing-anjing itu makan lahap. Dia mengelus bulu mereka. "Uwu ... habiskan ...." katanya. Lalu me-notice kepulangan Mile. "Ahh! Selamat datang ....!!"
Mile tersenyum sama lebarnya, walau dalam hari terasa begitu berat. "Kau tampak bahagia hari ini ...." katanya. Lalu mengulurkan oleh-oleh seperti biasa. "Apa mau anabul juga di rumah? Aku izinkan kalau memang iya."
"Wahhh, serius?" tanya Apo sambil mengintip paper-bag isi pie itu. "Kalau begitu aku mau doggy juga. Yang besar ...."
"Huh? Sebesar apa memangnya? Alaskan Malamute?"
"Iya! Itu ...." Apo menoleh kepada Nathanee. "Maeee, yang tadi betul kan namanya Alaskan Malamute? Mile bilang aku mau dibelikan satu ...."
Semuanya berjalan seperti biasa. Apo makin akrab dengan Nathanee karena sering mengobrol, hanya saja sang ibu tahu bahwa dia absen tadi pagi. "Kenapa?"
Mile pun diinterogasi dadakan. Tentu Apo sudah masuk rumah bersama Rego dan Regi (nama anabul-anabul tadi), mau tak mau harus menjawab jujur soal Apo dan kejanggalannya. "Aku harus mengurus soal itu, Mae. Aku merasa benar-benar tak beres. Something wrong ...."
"Oh, ya? Sejanggal apa memangnya?"
Nathanee percaya setelah mendengar rekaman Mile. Dia agak syok, karena artikulasi Apo pun berbeda dari sekarang. Apo ketika bermimpi cenderung lebih sopan dengan dialek Thailand keraton. Namun Apo yang mereka kenal cenderung imut, beda dengan sebelum kecelakaan.
"Tapi aku takkan memaksakan, Mae. Aku cukup senang Apo sudah baik-baik saja," kata Mile. "Namun bisa jadi entah kapan begini lagi? Aku hanya harus tahu apa penyebabnya."
"Oke, oke. Mae paham," kata Nathanee. "Kalau begitu awasi terus sementara ini. Jangan bilang kepada mertuamu dulu atau mereka panik tak karuan."
"Iya, Mae."
"Tapi jangan keseringan meninggalkan anak buahmu juga," tegur Nathanee. "Mereka bingung jika kau menggunakan hak absen terus-,menerus."
"Iya."
Akhirnya, Mile, Apo, dan Nathanee pun makan malam. Lalu Nathanee pulang, tapi giliran Apo yang merasa resah setelahnya. Bagaimana tidak? Cuanchen mendadak datang saat pelayan memberesi meja makan. Wajahnya masam. Lalu menunjukkan perkamen data gaibnya. "Nak, bisa kau jelaskan ini?"
"Eh? Apa?"
Mile sedang menelepon orang waktu itu. Dia meminta rekomendasi pet-shop untuk mengadopsi anabul Apo tanpa tahu istrinya bicara sendiri secara kasat mata.
"Kau melakukan apa sampai gerbang dua alam ini terbuka?"
"Hah?"
Cuanchen pun mendekat menunjukkan data-nya. "Sudah separuh, Nak. Kau mengatakan rahasiamu kepada orang terdekat? Siapa saja? Berapa orang yang sudah tahu? Kau mengerti kan sejauh mana batasanmu? Jangan menyebut terlalu detail tentang duniamu. Kalau pakai pengandaian boleh."
Apo pun tercenung melihat ilustrasi gerbang tersebut menganga.
DEG
"A-Aku tidak--"
"Secara sadar atau tidak sadar, paham?" tegas Cuanchen. "Semua tak berpengaruh, Nak. Yang pasti jika mereka tahu 100%, maka kau akan dalam bahaya."
Apo pun tak bisa berkata-kata. "...."
"Kau harus hentikan siapa pun yang berusaha mengetahui duniamu."
Dengan bulu kuduk merinding, Apo pun menoleh kepada Mile, tapi tidak mau berprasangka. "T-Tapi sumpah aku tak mengatakannya sejelas itu, Tuan Chen," katanya panik. "Aku yakin sekali ...."
"Baiklah. Kalau begitu mari perkirakan kemungkinan lain," kata Cuanchen. "Bagaimana jika tanpa kau sadari? Di luar pengetahuanmu, misalnya? Ingat ... dunia asalmu masih ada sihir, Nak. Walau tidak sekental dahulu kala."
"Oh ...."
Cuanchen pun meminta Apo lebih waspada. Jangan sampai dia kena sihir dari mana pun asalnya. Lantas bagaimana cara mengetahui dia kena sihir atau tidak? Akhirnya Apo pun dilingkari kalung roh oleh Cuanchen, yang katanya akan menyala biru jika ada sihir mendekat. Hanya Apo, sesama penyeberang, hewan, dan orang indigo lah yang bisa melihat. Jadi Apo harus menjauh jika ada tanda-tandanya.
"Sejauh apa, Tuan Chen?"
"Sejauh apapun sampai cahaya kalungnya meredup," kata Cuanchen. "Jika sudah berarti kau aman, tapi semakin lehermu sakit, berarti sihirnya mengenaimu."
"Baik ...." kata Apo dengan mata berkaca-kaca. Dia tak menyangka ada orang se-obsesif itu hingga mengejarnya ke dunia lain, tapi sampai kini Apo belum tahu pastinya siapa. "Oh, iya ... boleh aku dapat gambaran yang lain?"
"Apa, Nak?"
"Jika aku sudah berusaha ...." kata Apo dengan suara sepelan angin. ".... tapi seseorang tetap mencari tahu tentangku hingga dapat faktanya sendiri--apakah aku masih bisa selamat, Tuan Chen?"
"Oh, ya Tuhan ...."
Apo tanpa sadar meneteskan air mata. "Aku memang ingin hidup, tapi lebih baik baik mati daripada melukai orang lain ...."