Pagi buta pukul 4, Apo sudah bangun karena kebiasaan disiplin di kerajaan. Sayang Mile malah menyuruhnya tidur lagi hingga matahari terbit. Selama waktu kosong itu, Apo memandangi jarinya yang dihiasi dua cincin. Satunya dari pernikahan, satunya hadiah semalam. Indah sekali di mata Apo. Sebab dia tidak pernah diberi hal seperti ini.
Sang raja hanya membawanya ke istana dengan kereta, Apo didandani dayang lebih pantas, lalu dihadapkan kepada sang ratu.
"Saya Apo, Yang Mulia," kata Apo sambil menghormat. Dia ingat betul tatapan maut dari wanita itu, tapi Apo segera mengalihkan mata. Kepalanya menunduk lebih dalam karena segan, walau tidak ada kata-kata kasar yang wanita itu ucapkan. Mungkin, karena tubuhnya sempat sakit hampir sebulan, Phoen akhirnya membiarkan seorang selir dibawa pulang.
Apo sadar dia harusnya harus berhati-hati, tapi tidak bisa 100% perhatian ke masalah ini. Sebab sang raja sering memonopolinya di ranjang, baik untuk seks maupun servis pertunjukan pribadi. Mungkin karena Apo tak hanya bisa menari, lelaki itu juga senang dininabobokan dengan lagu-lagu merdu. Apo tinggal disuruh menyanyikan sesuatu, sementara dia memejamkan mata dengan damai.
Ah, di Thailand ini apa ada lagu-lagu juga? Apo mendadak ingin belajar untuk menyanyikan sesuatu.
"Pelan-pelan, pelan-pelan," kata Mile ketika menggandeng Apo di taman. Sang suami mengawasinya karena keras kepala ingin berjalan. Jadi pagi itu Apo latihan dengan berkeliling.
Hmm, segar sekali rasanya. Apo suka menghirup embun di udara. Juga memetik satu bunga hydrangea yang tumbuh di sana. Dia bilang, itu bagus. Sementara Mile senang karena bunga-bunga itu memang hadiah untuknya.
"Kok bisa?" tanya Apo agak heran.
"Ya, karena artinya untuk meminta maaf," jelas Mile. "Aku takut kau tidak kembali sejak hari itu. Jadi kupindahkan banyak hydrangea dari kebunnya kemari."
"Oh ...."
"Tentu dibantu para tukang kebun juga," kata Mile. "Tapi aku ikut menanam ulangnya sendiri."
Apo memandangi bunga yang dia pegang. "Memang kau buat salah apa padaku?" tanyanya.
Mile pun menceritakan kejadian tentang Napvtik, sementara Apo malah kelihatan sangsi. "Ya pokoknya kurang lebih begitu," katanya. "Jadi, apa aku bisa dimaafkan?"
Apo malah mengulurkan tangkai itu pada suaminya. "Tidak, karena aku yang harus melakukan ini," katanya. "Maaf ...."
Mile malah terkekeh pelan karenanya. "Tidak perlu," katanya. "Aku kan sudah memaafkan sebelum kau memintanya."
"Apakah semudah itu?" pikir Apo. Dia pun ingin tahu kenapa Mile dan dirinya bisa menikah, apalagi sang suami bilang temperamennya buruk. Namun, kali ini Mile tak mau menjawab. Dia malah bilang "Ha ha ha ... suatu saat kau pasti ingat sendiri," lalu mengajak Apo bersiap-siap.
"Wah ...." desah Apo tak menyangka. Dia kagum karena hanya menemukan aquarium yang kecil di rumah. Ada banyak orang di sana. Itu membuat Apo tidak menyesal belajar jalan. Sebab dia lebih senang jika ramai orang. Lagipula, Mile jadi tidak kerepotan hanya karena berencana menggendong dia. "Itu sungguh ubur-ubur? Aku hanya pernah melihatnya di laut."
"Oh, iya?"
"Hu-uh, bagus," kata Apo. Dia pun mendekatkan wajah ke kaca, lalu menyentuh bagian yang diendusi ikan. Lucu sekali astaga! Apo pun tidak tahan mengetuk-ngetuk, sementara Mile memotret momen itu diam-diam. "Kita akan kemana lagi setelah ini?" tanyanya. Mendadak ketagihan jalan-jalan.
Apo rasa, dia memang haus lebih dari pengetahuan. Dia ingin tahu soal Thailand lebih banyak, sementara Mile langsung mengiyakan. Sang suami bilang akan membawanya ke tempat kencan mereka dahulu. Siapa tahu Apo bisa ingat? Katanya.
Apo pun setuju karena rasa penasaran, walau akhirnya agak tercengang.
"Namanya adalah "The Grand Palace," kata Mile. Kita dulu jadian di sini, dan sama-sama mengucapkan suka."
Apo tidak berkomentar apa-apa. Dia langsung masuk setelah memberikan tiket, lalu memandangi patung-patung yang ada di sana.
Sumpah demi Tuhan kostum mereka mirip dirinya! Tapi, Apo yakin bukan istana ini yang ditempati dulu.
Hm, mungkin lebih seperti ... istana versi Thailand? Karena kerajaannya dulu namanya "The Golden Chrysanthemum". Dengan penampilan megah, luas, dan berwarna lebih atraktif.
"Jadi, setiap dunia punya kerajaan seperti ini juga," batin Apo. "Hanya saja beda alurnya." Dia lantas mengangguk pelan. "Oke paham."
"Hmm, kau melihat patung itu terus menerus?" tanya Mile. "Suka juga?"
Apo pun refleks menoleh pada sang suami. "Ah, iya. Suka!" katanya dengan senyuman. "Karena dia pasti penari, kalau bukan pejabat pemerintahan."
Mendengarnya, Mile pun sempat mengernyitkan kening. "Benar," katanya. Walau ingatan Mile justru memutar Apo yang dulu kurang suka desain wajah si patung.
Masuk ke dalam, Apo menemukan sebuah patung lain yang bentuknya mirip ratu. Hal itu membuatnya teringat beberapa kenangan, sehingga Apo memilih mengajak pulang.
"Lho, kenapa tiba-tiba sekali?" tanya Mile. "Kau sedang kurang enak badan lagi?" tanyanya.
"Tidak, tapi ... aku mungkin hanya agak lapar," kata Apo. "Kalau bukan pulang, boleh ajak aku makan? Pokoknya jangan di sini ...."
Mile pun membelai pipi Apo sekilas. "Oke, oke, ayo," katanya. "Kita cari sesuatu yang enak-enak."
Apo pun lega ketika digandeng keluar. Dia sempat menoleh sekilas ke patung itu, lalu merinding dan cepat-cepat membuang muka.
"Sebenarnya belum tentu juga kalau Yang Mulia pelaku peristiwa itu," batin Apo. "Tapi, rasanya ... aku hanya sedih saja melihatnya kembali."
Jujur, Apo menilai sang ratu adalah sosok yang memendam ambisi besar. Dia sering diam dan elegan, tapi ada taring tajam di balik pancaran matanya. Hal yang membuat Apo merinding tiap kali mereka bertemu, walau momennya jarang sekali.
Toh, Apo hanya merasakan kehidupan indah kerajaan dalam waktu singkat. Dia tidak paham apa yang terjadi, hingga sekarang duduk di tempat ini.
Di sebuah ruang makan besar (Mile menyebutnya restoran), berhadapan dengan sang suami, lalu disuruh memilih menu yang lezat.
"Semuanya seafood yang kau suka ada di sini," kata Mile. "Coba pesan. Aku ingin lihat kau sekarang ingin apa."
Apo pun menelusupkan pandangannya ke halaman-halaman berwarna itu. "Umn, ini, dan ini?" katanya. Sempat takut kalau Apo yang Mile kenal tidak suka makanan yang ditunjuknya.
"Lalu?" tanya Mile yang malah tersenyum.
"Ini sama itu juga boleh?" tanya Apo. Kini memindah jarinya ke lobster-lobster.
"Tentu saja. Apa masih ada lagi?"
Apo menggeleng setelah itu. "Tidak kok. Aku pasti sudah kenyang makan semuanya."
Mile mengambil buku itu dan diserahkan pada sang pramusaji. "Tolong, masing-masing dua porsi. Yang kupesan sama dengan pilihannya."
Si pramusaji pun mengangguk. "Baik."
Barulah setelah wanita itu berlalu, Mile bilang dia bangga. Sebab Apo (katanya) masih ingat selera mereka berdua.
"Eh, iyakah?" kata Apo yang heran pada diri sendiri. Kok bisa ya? Pikirnya. Padahal aku menunjuknya sembarangan.
Mile pun mengangguk dan tampak bangga sekali. "Mungkin, ingatanmu takkan lama lagi pulih," katanya. "Semangat. Dan kuharap aku yang pertama kali tahu jika hari itu datang."
Apo pun membuang muka karena pipinya mendadak panas. "Apa sih ...." katanya tanpa sadar. "K-Kenapa kau sepertinya sangat suka padaku ...."
Mile pun menahan tawanya susah payah. "Ya ampun, tentu saja. Kalau tidak sesuka itu padamu, buat apa kita menikah?"
Apo pun menatap lelaki di depannya dengan bulu kuduk merinding. "Oh, iya ...."
"Aku bahkan butuh waktu dua tahun hanya untuk meyakinkan dirimu, paham?" kata Mile. "Yang pakai drama bos-manajer lah. Yang pakai aksi cemburu tidak masuk akalmu ... hhh ... hhh ... hh ... tapi aku menikmati semuanya. Lagipula kau akhirnya jadi milikku."
Diam-diam rasa penasaran Apo tentang kisah mereka dulu pun di ambang batas. Suatu saat pokoknya aku harus tahu, pikirnya. Aku juga ingin ingat rasanya menyukaimu, Mile. Tapi sekarang ...
"Jangan pikirkan hal berat ...." kata Mile yang seolah tahu isi kepalanya. "Lihat pramusaji sudah datang. Ayo makan."
Apo pun mengangguk patuh, walau sepanjang mengunyah dia tak bisa mengalihkan pandangan dari lelaki itu.
Bersambung ....