BEGITU pulang, Apo kagum saat menemukan foto-foto pernikahannya dengan Mile di dinding rumah. Sepertinya beberapa tukang baru selesai bekerja keras. Apalagi rata-rata ukurannya besar. Mulai proses ganti baju di ruang rias. Persiapan mewah tempat resepsi. Dirinya yang ketahuan mengincip kue nikah. Lalu keramaian acara yang sebenarnya.
Apo pikir, jika seorang lelaki tidak tergila-gila pada pasangannya, mustahil akan melakukan semua ini. Apo jadi penasaran apa yang dilakukannya hingga membuat Mile begitu, tapi tetap tidak menemukan jawaban berarti. Dia pun sedih karena menyadari Mile menyimpan perasaan itu sendirian hingga tergerak untuk membelai salah satu potretnya.
"Kok bisa, ya ...." gumam Apo.
Bukannya apa. Tapi, jika Mile seorang boss di tempat kerja, maka Apo paham posisi Mile dulu lebih tinggi saat mereka memulai hubungan. Mile harusnya bisa diibaratkan sang raja dulu. Namun, anehnya lelaki itu tidak semena-mena. Apo pikir, Mile akan sering memelototi bawahannya seperti Raja Arthit. Hanya saja bayangannya melenceng dari ekspektasi.
Buktinya tadi siang, sang suami hanya menegur saat ada pegawai minta maaf lewat telepon. Dia bilang agar orang itu melakukan tugas-tugas sebelum tenggang waktunya saja, lalu menutup sambungan dengan gelengan ringan. Seolah itu bukanlah masalah besar, masih bisa diatasi, padahal Apo tahu Mile cukup kepikiran juga.
"Jadi tidak ada kebiasaan tendang-tendang orang, ya," batin Apo saat memperhatikan Mile di balik kemudinya. "Betapa beruntungnya hidup di dunia ini."
"Senang dengan pajangan barunya?" tanya Mile tiba-tiba.
DEG
Apo pun melepaskan tangan dari foto gigantis sang suami. "Oh, iya. Cantik," katanya. "M-Maksudku indah. Bagus ... tapi kenapa tiba-tiba sekali? Lukisannya malah dipindah semua?" tanyanya.
"Hm, sementara disimpan dulu saja," kata Mile. "Kalau kau sudah mengingatku, mungkin nanti baru diganti ulang."
Lidah Apo pun kelu mendengarnya. Dia menatap senyum di wajah Mile penasaran, kemudian memutuskan bertanya saja. "Mile, sebenarnya untuk apa kau melakukan ini?" tanyanya. "Bukankah mudah kalau kau langsung cerita padaku? Mungkin ... dengan begitu aku akan cepat ingat?"
Mile justru menggeleng dan mengayunkan tangan. "Tidak, tidak. Jangan dulu," katanya. "Sekarang sini."
Giliran Apo lah yang menggeleng kepada lelaki itu. "Tidak mau, aku kan belum dengar alasannya." Suaranya tanpa goyang samasekali. Hingga Mile tahu, Apo sebenarnya sangat serius soal hal ini.
"Hahhh ... astaga ...." kata Mile dengan dengusan gemas. "Begini, Apo ...." Lelaki itu pun mengalah dan menjadi pihak yang datang. Dia membuat sang istri mundur-mundur ke belakang dan menghimpitnya ke dinding dingin. ".... aku bisa saja memaksamu ingat kalau mau. Dengan menyetubuhimu tanpa harus khawatir bagaimana perasaanmu, tapi itu akan sangat tidak adil."
"Mm." Apo pun terpejam ketika wajahnya diraih dengan jemari Mile yang bergerak lembut.
"Kau milikku, aku tahu. Tapi kau tidak ingat aku memilikimu," kata Mile. "Memang kau akan suka kalau kupaksakan seperti itu? Kau pasti tidak nyaman karena lebih memandangku sebagai pemerkosa daripada pasangan."
Kedua mata Apo pun berkedip setelah jemari itu pergi. Dia bisa merasakan emosi pekat dalam mata Mile saat keduanya bertatapan, tapi Mile tetap tidak membiarkan dirinya terlepas kontrol. Meskipun begitu, Apo tahu ... sedikit saja dia memberikan permisi untuk lelaki ini, mungkin Mile akan melepaskan kerinduannya tanpa berpikir esok akan seperti apa.
Ini benar-benar beda dengan kehidupannya dahulu. Dimana orang-orang bangsawan tak peduli kapan menginginkan tubuh Apo, jadi dia bisa diklaim dan diseret ke ranjang kapan pun mereka mau. Toh jika menolak, pasti nyawa taruhannya. Atau paling tipis nanti dipermalukan di depan umum, itu pun untung-untungan kalau masih dengan wujud utuh.
Beberapa penari cantik biasanya akan disiksa hingga tubuh masing-masing coreng luka, dan itu merupakan resiko karena tidak menyerahkan diri.
"Oh, begitu," kata Apo. Napasnya terasa sesak hanya karena Mile sedekat ini, tapi dia tidak membiarkan lelaki itu pergi. Apo justru memberanikan diri untuk menaruh tangannya di pundak Mile. Dia memeluk sang suami perlahan-lahan, lalu merasakan kehangatan dari tubuhnya yang kokoh. "Oke ... maaf karena kupikir kau hanya sedang mempermainkan hubungan ini. Maksudku, jujur pusing sekali kalau harus berusaha sendiri. Aku kira kau sudah tidak peduli."
"Ha ha ha, mana ada," tawa Mile. Dia mengelus belakang kepala Apo dengan belaian diantara surai-surai hitamnya. "Apa kau tidak ingat ucapan Mae? Aku yang paling ingin kau segera kembali. Tapi jika memang tidak bisa, kau harus kubuat jatuh cinta ulang saja. Aku mencintaimu, Apo."
Apo pun memejamkan mata karena kata-kata Mile terasa begitu dalam. Dia menghirup bahu sang suami rakus. Ingin ingat bagaimana lelaki itu menyayanginya sejauh ini.
Ah, perlukah Apo memanggil Cuanchen ulang? Toh si penguasa mimpi bilang dua pecahan jiwanya kini menjadi satu. Lantas kenapa Apo hanya punya memori yang dulu? Kemana ingatannya soal Apo yang sekarang? Dia benar-benar ingin membalas perasaan Mile Phakphum tanpa butuh waktu lagi.
"Oh, Nak. Aku memang penguasa mimpi, tapi bukan pengendali takdir," kata Cuanchen yang muncul setelah Mile meninggalkan Apo untuk dinas mendadak. Lelaki itu berangkat pukul 7 malam, buru-buru. Sementara Apo kini duduk sendirian di ruang tengah. "Jadi, jangan salahkan diri sendiri, paham? Karena meski dua jiwamu tidak tergabung, peristiwa kecelakaan itu memang sudah digariskan."
Apo pun langsung meremot mati televisinya. "Eh? Begitu?" tanyanya masih kurang percaya.
"Iya, Nak. Astaga ...." desah Cuanchen yang sepertinya mulai jengah. "Kau versi sini tetap lupa ingatan dan suamimu akan berusaha. Ceritanya takkan berubah hanya karena kedatanganmu kemari."
"Oh ...." Apo pun mengangguk-angguk. "Tapi apa ada jalan agar aku ingat lagi? Aku juga ingin tahu kehidupanku sebelumnya seperti apa."
Cuanchen malah geleng-geleng sambil menepuk ubunnya. "Sudah, sudah. Jangan memaksa diri seperti itu. Semua pasti memiliki waktu masing-masing. Kau tinggal ikuti arus dan jalani saja."
"Tunggu, tapi--"
"Hanya jika kau memang merasa bersalah sekali, perlakukan suamimu dengan baik sudah cukup," kata Cuanchen. "Dan pernyaman diri sendiri di tempat ini."
Bush!
"Tuan Chen--"
Sang penguasa mimpi sudah pergi lagi untuk mengurus klien lainnya. Dia terlihat begitu sibuk, hingga Apo berpikir pasti ada orang lain yang menyeberang juga. Tapi, siapa? Mungkinkah jiwa orangtuanya? Bagaimana pun mereka berdua juga mati dalam keadaan tidak adil. Sayangnya ketika Apo bertanya soal itu di lain waktu, Cuachen malah menolak menjawab. Katanya, soal transmigrasi jiwa merupakan tugas mulia. Jadi, sebuah jiwa takkan diberitahu urusan jiwa lainnya, karena itu untuk keamanan mereka. Namun, jika Apo mau dia harus menemukan mereka sendiri nantinya.
"Ah ... begitu," batin Apo sembari mengangguk-angguk. "Baiklah. Kapan-kapan tinggal cari yang wajahnya sama dengan Ayah dan Ibu. Aku tak perlu khawatirkan soal itu. Karena suatu hari kita pasti bertemu."
Akhirnya, Apo pun memutuskan mengikuti saran Cuanchen saja. Dia melepaskan semua pikiran berat agar bisa menerima kehidupan baru ini, lalu menunggu Mile pulang di depan rumah.
"Aku sudah ada di jalan, Sayang. Tunggu sebentar. Mungkin kurang 20 menit lagi," kata Mile lewat telepon.
Apo tersenyum mendengar suara Mile pertama kali lewat ponselnya. "Oke, tapi boleh minta yang manis-manis lagi? Seperti yang waktu itu."
"Oh, brownies. Tentu. Aku juga bawakan beberapa kotak cokelat Belgia untukmu. Isi kacang, vanilla, susu putih--hmm ... apa ada lagi yang kau inginkan?" tanya Mile. "Mumpung belum sampai rumah."
Apo menggeleng. "Tidak kok. Sudah cukup," katanya. "Jangan lupa hati-hati saja. Dah."
"Hm?"
Apo sudah mematikan sambungan obrolan mereka. Dia sengaja membuat Mile sedikit bingung. Karena kejutannya tidak boleh bocor kepada lelaki itu.
"Ada apa sebenarnya?" bingung Mile di seberang sana. Dia pun segera mempercepat laju mobil, memacu, dan nyawanya nyaris menguap saat sudah sampai rumah.
DEG
"Apo?"
"Iya?"
Namun, si tersangka malah senyum manis saja. Lelaki itu meletakkan majalah saat sang suami pulang, lalu berjalan mendekat dengan jubah tidur super tipisnya. Sial! Tiap langkah benar-benar memperlihatkan belahan paha mulus Apo! Mile pun meneguk ludah kesulitan, tapi dia langsung fokus lagi ketika Apo menghambur padanya.
Brugh!
"Selamat datang, Mile!" kata Apo senang. "Untung tidak lama-lama. He he he. Kupikir kau akan pergi sampai semingguan. Tapi ternyata cuma tiga hari. Ayo masuk."
"Hah? Apo--"
Diseret-seret paksa ke dalam, Mile pun ikut saja dan memperhatikan istrinya yang aneh. Padahal dulu Apo sampai sumpah tidak mau pakai benda seksi itu, bahkan mengata-ngatai pemberiannya karena terlalu vulgar. Tapi, apa ini? Apo tiba-tiba muncul di depannya tanpa aba-aba? Lemari kamar juga kelihatan berantakan karena habis dibongkar-bongkar ....
"Oh, iya. Kau lapar tidak? Tadi sore aku buat sesuatu dengan pelayan. Coba ya," kata Apo yang lari-lari kecil ke dapur hanya untuk mengambil makanan. Mile bahkan belum sempat duduk, tapi dia sudah disuguhi menu cantik yang ditata pada nampan kayu. Semuanya rapi, semuanya terlihat lezat sekali. Namun, tampilannya tidak seperti biasa.
"Tunggu, Apo. Kau ini ternyata bisa masak?" tanya Mile dengan kening mengernyit. Belum lagi tatanannya mirip milik kerajaan kuno. Mile jadi agak tidak terbiasa melihatnya, sebab sehari-hari mereka cukup pakai satu atau dua piring saja.
"Anu, hu-um. Aneh, kah?" tanya Apo.
"Tidak, sih. Hanya saja kau tidak pernah memberitahuku kalau bisa melakukannya," kata Mile. Seketika dia pun meletakkan oleh-oleh di meja begitu saja, kemudian mengambil sumpit untuk mencoba.
"Umn, iya, bisa. He he," cengir Apo sambil mengambil tempat duduk di sisi Mile. "Aku juga belajar menyanyikan beberapa lagu dari ponsel ini. Mau dengar?"
"Apa?"
"Ini enak, sungguh. Seperti masakan nenekku dulu," batin Mile. Belum sempat dia mengomentari, Apo kini sudah mengutak-atik ponsel dengan gaya kakunya. Lelaki itu tampak kesulitan saat membuka galeri, tapi akhirnya berhasil memutar sebuah video karaoke untuk ditirukan.
Oh, fuck. Ini sih bukan Mile yang membuat Apo jatuh cinta lagi. Tapi lelaki itulah yang malah makin kagum dengan sosok Apo yang baru diketahuinya.
Dia yang memiliki suara merdu. Sanggup menjangkau nada tinggi dan rendah dalam waktu singkat, bahkan memainkan piano online pada layar iPad barunya.
Hei, kalau memang Apo punya bakat sebanyak ini ... buat apa dia dulu masuk kantor? Mile pikir, Apo bahkan tidak perlu belajar manajemen bisnis hanya untuk mencari uang. Dia bisa menjadi selebrita atau yang semacam, tapi Apo malah tertawa waktu dipuji.
"Tidak mau, ha ha ha ...." kata Apo sambil menutup iPad yang dihadiahkan untuknya beberapa hari lalu. "Memang menyenangkan, sih. Tapi setelah dipikir-pikir ulang, jadi penghibur itu tidak enak, Mile. Malahan punya sisi gelap yang menakutkan."
Alis Mile pun terangkat sebelah. "Hm? Kenapa bisa?" tanyanya.
"Yahh ... bagaimana jika aku menyanyi, malah ada yang menatap mesum?" kata Apo retoris. "Apalagi kalau ditambah menari. Mereka kagum tapi sulit berkedip. Jadi, jujur aku kadang merinding, tapi tidak apa-apa kalau cuma kau yang sekarang melihatnya."
"Begitu?"
"Um-hm," kata Apo. Dia lantas melirik paperbag yang ada di atas meja. "Tapi menarinya kutunjukkan kapan-kapan saja, ya. Soalnya aku ingin makan manis-manis. Boleh yang itu kubuka dulu?" tanyanya.
Mile pun tersentak dari lamunan. "Oh, tentu. Buka saja. Semuanya adalah milikmu," katanya. Berusaha tenang, padahal jantung Mile sudah berdenyut aneh ingin menyeruduk lelaki ini ke ranjang--
"Terima kasiiih ...." kata Apo. Lesung pipit tipisnya pun terlihat manis, apalagi ketika menemukan berkotak-kotak cokelat di dalam sana. "Wah, banyak ...." Dia benar-benar terlihat seperti dewi, padahal Mile sudah bersamanya nyaris setiap hari.
"Ah, aku ini pasti sudah gila ...." batin Mile.
"Mile, tidak mau coba yang ini juga?" tawar Apo sembari menyodorkan sebuah bola cokelat. Oh, kalau sudah begitu ... mana mungkin Mile menolak suapannya? Padahal sebenarnya dia kurang suka makanan yang terlalu manis.
"Hm, aa," kata Mile.
Apo pun terkikik senang. "Aa," katanya. Lalu berlanjut menyuap dirinya sendiri. Sumpah demi Tuhan lelaki itu benar-benar sangat indah. Wajahnya berseri-seri lebih dari sebelum ditinggal, walau Mile tidak tahu apa sebabnya.
"Hm, jujur aku agak kehilangan, tapi tak masalah selama kau masih ada bersamaku," batin Mile saat mengusapi comot bibir Apo dengan jarinya. "Terima kasih karena sudah kembali, Apo. Terima kasih karena tidak meninggalkanku pada hari itu."
Bersambung ....