" ihh dekil! dasar anak pemungut sampah ! " ejek Kayla.
Rembulan hanya terpaku mendengar sebuah kalimat yang menyayat hatinya. Ia tidak menyangka sebelumnya bahwa dari hari ke hari Kayla beserta teman-temannya tiada henti untuk mengusik dirinya. Lapangan upacara yang luas dengan terik matahari yang panas menambah rasa kesakitan yang dialami Rembulan, seperti tidak puas dengan sekedar cercaan Kayla meminta dua orang rekannya memegang kedua pergelangan tangan Rembulan.
" apa-apaan ini kay, ! " Gertak Rembulan
" loe diam bangsat! " hardik Kayla sambil menunjukkan jarinya dengan tatapan bencinya.
" lepaskan gue kay, gue salah apa sama loe ? " lirih Rembulan.
" salah loe banyak ulan! termasuk gue enggak mau lihat muka loe disekolah ini! " Bentak Kayla.
Tampak Rembulan telah pasrah oleh bentakan Kayla, sebuah isyarat dari Kayla kepada kedua temannya untuk melepaskan pegangan tersebut. Setelah menerima isyarat dari Kayla, kedua tangan Rembulan dilepas namun tidak seperti perkiraan dari Kayla, Rembulan berusaha untuk kabur dari Kayla dan teman-temannya. Akan tetapi, usaha Rembulan sia-sia dengan sigapnya Kayla menarik kerudung panjang milik Rembulan. Alhasil, kerudung yang dipakai Rembulan tampak robek akibat tarikan kasar Kayla. Saat ini Rembulan benar-benar sendiri. Lapangan Upacara yang letaknya dibelakang sekolah dan selalu sepi ketika siang hari menjadi kesempatan bagi Kayla dan rekannya dalam mengusik Rembulan.
" Re, siram aja sekarang re biar semakin keren parodi siang hari ini " sindir Kayla meminta Rere menyiram sebuah air kopi yang bercampur telur busuk ke kepala Rembulan. Kerudung putih bersih itu kini menjadi hitam pekat dan berbau. Rembulan tidak melawan hanya bisa menerima. Mencoba bersabar dalam batas emosinya.
Gelak tawa mereka berempat menjadi saksi betapa kejamnya perlakuan mereka kepada Rembulan. Kemudian, melangkah pergi meninggalkan Rembulan yang masih tertunduk lesu. Gadis itu sudah tidak memiliki nyali lagi dalam melewati setiap persimpangan kelas. Kali ini ia tidak memiliki siapapun untuk sekedar mengadu, mereka yang melihatnya hanya menatapnya dengan tatapan jijik dan benci. Iba? untuk apa? mereka juga senang melihat Rembulan seperti ini. Ia berjalan menuju kelasnya, berharap hanya teman- temannya yang ada namun tidak ia sangka Ibu Santi selaku wali kelas dan guru yang mengajari mata pelajaran ekonomi sudah ada didalam kelas.
Ibu Santi meminta Rembulan untuk mendekatinya, dengan kacamatanya yang besar ia menatap Rembulan sambil menggeleng pelan karena heran.
" jadi ini kerjaanmu selama terlambat masuk tadi? " tanya bu Santi.
" maaf bu, ulan tadi gak sengaja kesiram air kopi salah satu teman dikantin " lirihnya dengan alasan yang dusta.
" enggak ada itu bu, palingan tadi cowoknya yang kampungan itu datang kesekolah ngerayain ulangtahunnya. Maklum bu, orang miskin memang tidak memiliki etika " sindir salah satu teman sekelas Rembulan.
" benar bu, ulan itu kegatelan banget anaknya " tambah siswi yang lain.
Rembulan menatap lekat mata ibu Sinta, berharap ibu Sinta akan membelanya dan melindunginya. Namun dugaannya salah, ibu Sinta menatap ia dengan tatapan sinis sama halnya dengan siswa yang lain.
" ibu tidak menyangka lan, gadis sepolos kamu ternyata didalamnya tidak sepolos itu. harusnya kamu bersyukur bisa bersekolah elit disini bukan banyak tingkah seperti ini. Apa kamu mau beasiswa tidak mampumu itu kami cabut ? " Ancam bu Sinta.
Rembulan menekuk lututnya, dan bersimpuh perlahan. Harga dirinya sudah tidak ada lagi berguna disekolah ini. Rembulan dengan tatapan sendu menatap memohon kepada ibu Sinta sembari berkata, " Ibu kumohon, berikan aku kesempatan untuk memperbaikinya. Rembulan minta maaf bu "
" sekarang kau pulanglah! poin kelakuanmu saya kurangi 4 poin." titah bu Santi kepada Rembulan.
Ia pun kembali berdiri tegap, lalu melangkahkan kakinya ke luar kelas. Teman-temannya hanya bersorak sorai melihat kepergian gadis malang itu. Rembulan terus melangkah mungkin lebih baik ia tidak memilih sekolah disini dari dulu. Sesalnya, kenapa ia harus memaksakan kehendaknya ketika itu? kini apalah daya jika yang ia alami hanyalah cacian serta makian oleh guru maupun teman-temannya. Tidak bisakah Rembulan bahagia walau hanya sebentar saja?.
Tinggal disebuah pondok kecil yang langitnya beratapan anyaman daun kelapa, beralaskan lantai yang masih tanah dan dikelilingi oleh dinding dari triplek yang tampak telah usang. Tetangga sekitar tampak menjauhi keluarga Rembulan. Memang hanya pondok kecil itu yang menyudut disana selebihnya bangunan bertembok dan batubata. Rembulan tetaplah Rembulan, pulangnya dia bukan sebagai tempat untuk bersedih kembali. Dengan pakaian seragam yang kotor dan lusuh ia memberanikan dirinya melewati tetangga yang mulai sedikit ingin tahu ada apa gerangan, Rembulan yang ceria meski mereka sering hina kini tampak kusut dan tersulut emosi. Mereka pun enggan untuk menyapa ataupun bertanya.
" ibu.... bapak " lirih Rembulan dihalaman pondoknya.
Tampak ibunya yang berpakaian daster panjang dengan jilbab hitam nan dalam. Sontak ibu Marni tak kuasaa menahan air matanya melihat putri pertamanya pulang dengan seragam lusuh seperti ini. Sebuah tanda tanya besar mencuat dari dalam pikirannya, apakah anaknya baik-baik saja bersekolah disana? Ibu Marni memeluk Rembulan ketika melihat kedua bola mata indah gadis itu memerah seakan menahan rasa sakit yang tidak mampu ia bendung lagi.
" ibu, apa salah Ulan? kenapa harus Ulan yang diganggu setiap waktu. Ulan capek bu," lirihnya lagi.
" nak, kamu tidak salah apa-apa.. mungkin mereka hanya iri sama kamu." balas Ibu Marni berusaha menenangkan.
" iri bagaimana bu? kenapa mereka harus iri denganku yang tidak punya apa-apa ." jawab Ulan.
Ibu Marni mengelus punggungnya pelan, Rembulan masih terisak dalm tangisnya. Sudah semestinya lukanya tidak harus dipendam seperti ini. " mereka iri karena kamu memiliki orangtua yang sangat menyayangimu nak ," ucap ibu dengan lembut.
Rembulan menaikkan alisnya sembari bertanya, " maksud ibu? "
Ibu Marni membalas dengan senyum kecil, putrinya ini terlalu polos dalam hal pergaulan.
" gini nak, mereka iri karena kamu sering bawa bekal, pergi dan pulang diantar sama bapak sedangkan mereka bekal aja enggak pernah bawa karena orangtuanya sibuk dan begitu juga urusan antar jemput mereka mengandalkan sopir mereka." tutur ibu Marni dengan jelas.
Tatapan sendu Ulan perlahan memudar, senyum manisnya mulai ia nampakkan. Ibu Marni mengajaknya duduk agar emosinya stabil kembali. Rembulan memang tidak pernah cerita kesehariannya disekolah, namun bu Marni selalu mengetahui tentang apa yang dihadapi anaknya detik ini. Rembulan seringkali berdusta kepadq ibu dan bapaknya tentang sekolah dan lingkungan sekolahnya. Ia selalu bercerita memiliki banyak teman disana. Guru-gurunya yang selalu mengajarinya dengan sabar dan baik ternyata itu semua kamuflase anaknya semata. Dari dulu Rembulan memang bukanlah anak yang suka menyusahkan kedua orangtuanya. Segala masalah yang ia hadapi selalu ia simpan rapat-rapat.
" bu, kalau Ulan berhenti sekolah gimana ?" tanya Ulan tampak ragu.
" gila kau yaa! kemarin kau yang ingin sekolah sekarang kau ingin berhenti! " Hardik Pak Tarto.
" bapak ? ulan enggak bermaksud mengecewakan bapak dan ibu tapi.... "
PLAK!!
satu tamparan mengenai tulang pipi Rembulan. Kulit sawo matang itu menjadi merah dengan bekas tamparan. Rembulan tetap tegar saat itu karena ini bukan kali pertamanya Bapak menamparnya. Dulu sewaktu ia bersikeras ingin masuk di salah satu sekolah paling bergengsi didaerah tempat tinggalnya dimana terdapat anak-anak dari kalangan atas, ia juga kena tamparan karena terlalu keras kepala.
" bapak ! kenapa tega menampar anak sendiri. seharusnya bapak bertanya dia ada masalah apa dan kenapa. Ibu kecewa denganmu pak " Ucap ibu dengan sendu.
" Saya lebih kecewa dengan anak pungut ini ! tidak sepantasnya kita mengambilnya dulu ditong sampah ! " Cerca Bapak.
Jleb!....