" Tuhan menghadirkanku ke dunia ini mungkin karena sebuah alasan yang sampai saat ini belum kutemukan jawabannya" -Rembulan Cahyaningrum-
Ada sebuah bekas tangan yang melekat diwajah mungilku ini menjadikan sebuah cerita yang nantinya tidak akan kulupakan. Rasa sakitnya mungkin telah hilang, namun kenangan bagaimana luka itu datang masih teringat dengan jelas. Kulihat pantulan diriku disebuah cermin yang retak. Tampak lusuh dan tidak berseri. Seragam sekolahku yang tersisa satu menjadikanku harus bisa menghemat dalam soal berpakaian. Sudah cukup untukku menyusahkan Ibu dan Bapak selama ini. Sedangkan mereka ada belum pernah sama sekali aku bahagiakan.
Keputusanku sudah bulat untuk tetap bersekolah disana, lantaran perkataan Bapak kemarin ada benarnya. Akan kubuktikan kemampuanku disana meski aku sudah tahu nihil rasanya bila mencapai puncak sedangkan aku hanyalah seekor semut yang menetap diantara para gajah.
" kak, kenapa melamun sih?" tanya adikku, kejora.
" enggak kok, siapa yang melamun sih dek." Alihku.
" itu kenapa menatap cerminnya dalam banget, ada masalah apa sih kak kemarin sore? Kenapa bapak enggak pulang dari kemarin ya?" tanya Kejora balik.
Bapak tidak pulang dari kemarin? Batinku.
" kakak!" Teriak Kejora.
" astaghfirullah adek! Bikin kakak kaget aja," kagetku.
" iya aku bertanya kenapa enggak dijawab, malah dibawa bingung," protesnya sambil menyilangkan kedua tangannya. Kejora bila sudah marah pipinya yang berisi akan terlihat sangat jelas.
" hahah kamu kenapa gemes sekali sih dek, oh ya kamu hari ini masuk siang lagi kan?" balasku kembali mengalihkan.
" iya kak, selama semester ganjil ini aku masuk siang dan pulangnya sore. Capek banget kak. Beruntung yah kakak sekolah elit, cepat pulangnya lagi dan enggak ganti-ganti shift kayak sekolah aku." gerutunya.
Aku hanya membalas dengan senyuman. Kejora, remaja yang masih duduk dibangku kelas 2 SMP. Ia adalah adikku satu-satunya, teman ketika aku gundah dan pengobat rasa lelahku dalam menghadapi hidup dengan tingkah kekanakannya. Aku beruntung dicintai dengan dua orang manusia disini, setidaknya aku benar-benar tidak sendiri dalam menjalani hidup ini.
" ulan,kejora .. ayo nak,! makan ibu sudah siapkan teh sama pisang goreng," ajak ibu dengan senyum manisnya.
" ibuu... bapak kemana ya? Kok ara enggak liat bapak dari semalam?" tanya kejora yang masih diliputi rasa penasarannya.
Ibu tampak bingung menjawab pertanyaan Kejora, beliau berpikir sejenak kemudian berkata, " Bapak enggak pulang hari ini karena ada kegiatan sosial di pusat kota."
Kejora hanya ber-oh ria, aku yang mendengarnya menjadi cengengesan melihat kelakuannya. Jika saja Kejora mengetahui tentang fakta dalam hidupku, kuyakin Kejora akan merasa terguncang. Karena bagi adikku, tidak boleh siapapun bisa menyakiti hatiku. Ya, sebegitu hebatnya dia dalam menyayangiku.
Seperti biasa, suara deru motor dan mobil mulai terdengar disepanjang jalan yang kulewati. Kali ini aku harus pergi sendiri ke sekolah tanpa harus diantar oleh Bapak. Aku tidak tahu kejadian apa lagi yang akan kudapatkan ketika mereka melihatku pergi dengan kedua kaki ini. Siap tidak siap, aku harus selalu siap menghadapi semua cacian ini. Sudah resiko bagi aku yang tidak mampu ini harus dicaci oleh orang-orang sekitarku yang lebih dariku.
" eh, si dekil perginya dengan kedua kakinya.. sopir dengan motor buntutnya mana?" sindir Rere. Rere salah satu sahabat Keyla merupakan teman sekelasku. Setiap waktu Keyla selalu wara wiri dikelasku bila jam kosong ataupun saat jam istirahat. Tak lupa pula mereka singgah ke bangkuku untuk sekedar merundung dan mencaciku.
" misi re, aku mau lewat." lirihku ketika Rere menghalangi jalanku untuk masuk kelas.
" passwordnya apa?" tanyanya membuatku heran, sejak kapan masuk kekelas ini ada paswordnya.
" sejak kapan ada passwordnya re?" tanyaku balik.
" sejak loe berada disekolah ini, bodoh!" cercanya dengan menyilangkan kedua tangannya.
" re, mohon aku mau lewat re." lirihku sekedar memohon.
" sini loe!" hardik Rere menarik tangan kiriku dengan paksa. Aku tidak tahu kemana lagi ia akan membawaku, yang jelas aku sudah pasrah.
Rere membawaku ke sebuah gudang yang letaknya lumayan jauh dari sekolah. Mungkin masih ada sekitar 15 menit untuk bel masuk berbunyi. Entah apa yang akan ia lakukan, aku hanya bisa melihat saja. Ruang itu begitu gelap dan berdebu. Kukira akan seburuk itu didalamnya, ternyata gudang yang selama ini dikatakan para senior memiliki penghuni itu adalah Keyla dan kawan-kawannya. Rere semakin mencengkram pergelangan tanganku. Aku merintih kesakitan. Perlahan suara tawa Kayla semakin terdengar dengan jelas. Ada perasaan yang tidak enak menggerogoti hatiku, entah kejutan apa lagi yang akan mereka lakukan padaku. Aku hanya bisa mengikuti alurnya saja.
" eh! Apaan ini, re?" heran Kayla.
Aku pun bingung, kenapa tiba-tiba Kayla terkejut ketika Rere membawaku ke gudang ini. Bukannya senang, Kayla terlihat heran.
" ini hadiah buat loe kay, selamat ulangtahun kay!" Ucap Rere sambil melirik sinis kearahku.
" dia untuk gue? Serius loe?" tanyanya dengan wajah yang riang.
" ya untuk loe kay!" jawab Rere singkat.
" kalau gitu suruh dia jongkok dong!" pinta Kayla dengan lemah lembutnya.
Rere dan teman-temannya yang lain memintaku untuk berjongkok. Aku mengira Kayla sudah kembali ke jalan yang benar, ternyata dugaanku salah. Lagi, sebuah telur kembali ia lempar ke arahku, sontak itu mengenai wajah dan jilbab putih yang saat ini sedang kukenakan. Kayla tertawa terbahak-bahak melihat wajahku yang sudah dipenuhi dengan pecahan telur. Lalu, ia mendekat ke arahku sembari membawa satu kue ulangtahun kecil.
Kemudian ia berbisik, " eh gue mau yang menghebuskan lilin ini, karena loe harus tau gue alergi dengan bau api. Kayaknya napas bau sampah loe akan berguna untuk ini dan nanti."
Aku melakukan apa yang diperintahkannya. Dan ternyata tidak sampai disitu, Kayla melemparkan kue ulangtahun kecil itu ke arah wajahku. Gudang itu dipenuhi dengan gelak tawa mereka. Aku hanya bisa diam, tanpa harus mempedulikan segala cercaan mereka terhadapku. Berusaha untuk tidak menangis dihadapan mereka. Sabar lan.. sabar... batinku.
" eh anak dekil! Ngapain mata loe menantang mata gue ha?" Hardik Kayla sambil mendongakkan kepalaku yang sudah dipenuhi dengan krim kue.
" fotoin deh bagusnya, kay.. untuk momen disaat kita tamat nanti, semoga saja ya sampai kelas 3 ini cewek dekil masih hidup hahaha." sindir Laudya salah satu temannya Kayla.
" bangun brengsek!" titah Kayla padaku.
Aku pun berusaha berdiri menuruti perintah Kayla. Rere yang sebagai pemegang kendali dalam mengambil gambarku yang begitu memalukan. Suara gelak tawa mereka memenuhi ruangan yang menggema ini. Benar, dalam situasi sulit ini aku juga sendiri dalam menghadapinya. Aku harus bagaimana, Tuhan? Bukankah ini tidak adil untukku yang lemah ini?
Kayla dan teman-temannya meninggalkanku ketika bunyi bel pertanda jam pelajaran akan dimulai. Aku yang masih memeluk kedua lututku tidak tahu harus bagaimana lagi dalam menghadapi mereka didalam kelas. Jangankan teman-teman didalam sana akan membantuku, guruku pun juga ikut serta mengolokku. Haruskah aku menegakkan kepalaku dan berjalan menelusuri kelas dengan pakaian yang kumuh dan berantakan ini? Atau aku pulang saja dan kembali di esok hari?.
Aku membersihkan wajahku pada air kran dibelakang sekolah. Cukup berminyak, seragamku yang tinggal satu-satunya harus dicuci siang ini supaya besok bisa kering. Aku memutuskan untuk pulang kerumah dibanding harus di usir seperti saat kemarin oleh guruku sendiri. Aku hanya bisa bersabar dan menerima segala perlakuan buruk mereka terhadapku. Berdamai dengan keadaan mungkin jauh lebih baik dibanding aku harus menyalahkan Tuhan atas ketidakadilan ini
***