Chereads / Berteman dengan Luka / Chapter 7 - Pandangan Pertama part 2

Chapter 7 - Pandangan Pertama part 2

Perlahan bapak itu mendekatiku, tidak lama kemudian lelaki paruh baya itu terjatuh dihadapanku lalu tergeletak tak sadarkan diri.

" pak!! astaghfirullah... tolong!" teriakku.

Lelaki paruh baya menggigau dengan kata-kata yang tidak jelas. Sebisa mungkin aku membangunkannya, namun Lelaki itu hanya tersenyum seringai melihatku dengan matanya yang sayup. " Rembulan, kau anak yang kurang ajar!" Cercanya padaku.

Deg!.

Kepalaku terasa pusing akibat benturan botol kaca yang dipegang lelaki itu. Dia mengira bahwa aku adalah Rembulan. Sebisa mungkin aku mengontrol emosinya sambil melihat apakah ada pemuda yang lewat jam sepuluh malam ini.

" eh ada apa ini mas?" tanya seorang pemuda dengan wajah yang panik dan gusar.

" tolong mas... bapak ini terlalu berat untuk saya angkat sendiri." sahutku.

" eh, pak Tarto?" ragu pemuda itu.

Kemudian pemuda itu membangunkanku yang sudah tergeletak akibat benturan kepalaku dengan botol miras tersebut. Untung saja hanya luka diluar, sehingga tidak akan separah itu dalam menyembuhkannya. Pak Tarto diamankan oleh warga lainnya karena amukkannya tidak hanya denganku tetapi dengan pemuda lain selepas itu.

Para warga mengikatnya dibatang pohon beringin besar dekat tokoku. Wajah bapak tua itu sudah berubah menjadi warna keunguan. Dan kuyakin dia terlalu banyak minum sehingga menyulitkan bagi aku dan warga lainnya dalam mengontrol emosinya. Sepintas aku mulai ingat beberapa saat Bapak Tarto memukulku dengan botol kaca itu, dia memanggilku dengan sebutan Rembulan? Siapakah bapak Tarto ini? apa hubungannya dengan Rembulan?.

" maaf pak, saya mau bertanya bapak kenal dengan pak Tarto ini?" Tanyaku pada salah seorang bapak disebelahku.

" ya kenal, dia adalah pekerja lingkungan disekitar kampung ini dan kampung sebelah." balas bapak tua

" kalau boleh tahu hubungan bapak Tarto ini dengan Rembulan apa ya pak?" tanyaku sekali lagi.

" Rembulan adalah anaknya. Anaknya perempuan ada dua orang yang pertama Rembulan dan yang kedua kejora." balasnya dengan jelas.

Rembulan adalah anak bapak Tarto yang tinggal dijalan teduh seberang sana. ya, seperti itulah informasi yang kudapatkan saat ini. Kubiarkan naluri ini mengalir apa adanya dan akan kuikuti kemana arah angin membawaku untuk mencarinya.

Siang itu, kuputuskan untuk membawa Pak Tarto bersama dua pemuda lainnya kekediamannya. Meski saat itu para warga menyarankanku untuk beristirahat saja, namun ragaku tidak selelah itu. Aku membantu dua pemuda lain untuk memopoh tubuh pak Tarto dan membawanya dengan mobil pick up yang biasa kukendarai.

tok..tok..tok... (mengetuk pintu)

" Assalamu'alaikum.. bu Marni." sapa salah satu pemuda disebelahku.

jadi, disinilah Rembulan menetap. Rumah kecil dengan ukuran sekitar 4x6 ini dilapisi dinding triplek dengan lantai yang masih tanah. Dapat kupastikan dirumah ini tidak memiliki banyak barang hanya beberapa saja. Hatiku terenyuh melihat sekitaran rumah, hanya ada tumpukan sampah plastik bekas didepan halaman rumahnya. Disamping kiri kanan terdapat rumah tetangga yang rumah mereka sudah berdinding semen dan batu bata. Kulihat cara pandang warga disana sedikit ingin tahu dan ada beberapa orang yang terlihat tidak senang.

" sepertinya mereka tidak ada yang menjawab mas, apakah tidak ada orang dirumah ya mas." sahut pemuda yang disebelahku.

" eh mas kenapa mimisan?" tanyanya heran melihatku yang tiba-tiba mengeluarkan darah dari hidung. Aku saja tidak menyadari hal itu.

" Astaghfirullah, mungkin saja karena efek benturan botol tadi mas.." ucapku terpotong karena, tiba-tiba kepalaku mendadak pusing. Penglihatanku mulai berkunang-kunang. Dan pendengaranku terdengar sayupan.

" mas, istirahat dimobil saja urusan pak Tarto biar kami berdua yang ngurus." ucapnya meyakinkanku. Aku membalasnya dengan anggukan kepala. Kemudian, melangkahkan kakiku menuju mobil yang terparkir ditepi jalan rumah kecil itu. Kebetulan halaman rumahnya terlalu sempit sehingga menyulitkanku untuk memarkir didepan rumah. Padahal hampir saja rasa penasaranku terbalas untuk bertemu dengannya, lagi Allah memberikan waktu untukku bersabar.

" Maaf mas, nanti kalau mereka bertanya kenapa bapak bisa luka berat seperti itu bilang saja awalnya bapak pingsan dipelantaran toko saya. Dan saat itu keadaan bapak sudah babak belur seperti itu. Terus untuk luka dikepala saya jangan diceritakan ya, kita hanya mengurangi rasa kekhawatiran istri dan anak-anaknya saja dulu." Tambahku pada kedua pemuda itu.

" siap mas.." singkatnya.

Aku melirik ke belakang ke arah dua orang pemuda dan bersamaan Pak Tarto yang dirangkul mereka berdua. Sebelum itu pak Tarto selalu meluahkan sumpah serapah dalam perkataannya dan itu nama Rembulan menjadi sasaran empuk dalam sumpah serapahnya. Bapak macam apa dia ini jika anak kandungnya sendiri dinistakan seperti ini.

Suara lembut terdengar saat aku mulai melangkah beberapa meter dari rumah kecil itu. Aku lirik ke belakang kembali dan bersembunyi dibalik tembok pembatas yang setidaknya bisa menutupiku. Terlihat dua orang gadis begitu terhenyak melihat keadaan bapaknya. Yang satu gadis remaja yang menurutku masih SMA dan satu lagi gadis berbaju pink dengan celana jogger coklat yang terlihat masih umur 12 tahun. Bapak Tarto dibawa kedalam rumahnya dibantu oleh kedua anaknya.

Jilbab putih sorong yang saat ini gadis itu kenakan tampak lusuh dan sedikit menguning. Hatiku pilu melihatnya, apakah ia yang menyandarkan diri didekat pintu adalah Rembulan?. Gadis berkulit sawo matang dengan tinggi sekitar 160 cm, ya tatapannya seperti orang yang sedikit kelelahan. Apakah dunia terlalu tidak adil baginya?. Entah naluri apa lagi yang membuatku kembali lagi menuju rumah tersebut.

Wajah cantik yang pertama kali kulihat saat itu menatapku dengan terheran. Aku mencoba tersenyum padanya, ia hanya membalas dengan pengabaiannya. Aku berdiri di tepi pintu dan mendengarkan dua orang pemuda tadi dalam beralasan kepada kedua anak bapak Tarto. Sepertinya anak yang paling kecil terlihat remuk melihat keadaan bapaknya seperti ini. Namun, lain halnya gadis satu ini apakah dia yang bernama Rembulan? Ia seperti tak gusar hanya tampak bingung dan bermenung dalam beberapa waktu.

Setelah selesai memberikan penjelasan kedua pemuda meminta izin untuk balik kepada dua gadis itu. Salah satu pemuda tampak terkejut melihat kedatanganku ditepi pintu.

" ya Allah mas, bukannya mas tadi mau istirahat kenapa keluar lagi?" tanyanya sambil geleng-geleng kepala karena heran.

" ssstt... sakitnya hilang setelah melihat anaknya." bisikku kepadanya.

Mungkin pemuda itu semakin heran melihat tingkahku yang seperti itu. Mereka memang tidak mengenalku dengan baik, yang mereka tahu hanyalah Aku si Abrar yang alim dan taat. Hasratku untuk mengenal gadis itu semakin menjadi-jadi, berbagai cara akan kulakukan agar aku bisa mendapatkan hatinya. Allah akan memudahkannya untukku selama ini aku selalu berbuat baik. Dan untuk melengkapi ibadahku, aku ingin dia menjadi permaisuriku hingga akhir hayatku.

Aku pun tersenyum seringai lalu meninggalkan rumah kecil itu. " Rembulan, aku berjanji akan membahagiakanmu setelah ini." batinku.

***