" Tak perlu bicara banyak tentang sebuah kenangan yang kulalui bersamanya, Sebelum gelap itu hadir ia selalu menjadi mentari dalam hari-hariku"
- Rembulan Cahyaningrum-
***
Hari demi hari kulewati sesaat setelah Maya dirawat disini, rumah sakit yang sama tempat bapak dirawat. Ada dua orang yang sangat berarti dalam hidupku dan keduanya sampai saat ini masih terbujur lemah. Tiap waktu kulihat perkembangan sahabatku itu, sama sekali tidak ada tanda bahwa ia akan membuka matanya. Maya telah tertidur sangat pulas dalam waktu 3 hari, pastinya ia bermimpi indah disana.
Orangtua maya sangatlah baik padaku. Rupanya selama aku berteman dengannya, Maya selalu menceritkan tentang aku kepada kedua orangtuanya. Bahkann Maya juga bercerita bagaimana kurangnya rasa ketidakadilan disekolah terhadapku. Ibunya Maya juga memintaku untuk berhenti bersekolah disana agar Kayla tidak menggangguku lagi dan akan menyekolahkanku disekolah yang menurutnya jauh dari perundungan siswa. Aku terkesima dengan tawaran mereka, namun aku belum memutuskan apakah harus kuterima atau tidak. Aku juga tidak ingin berhutang budi pada siapapun. Karena, Aku tidak punya apa-apa dan tidak mampu membalasnya dengan sebongkah berlian sekalipun.
Mungkin sudah dua hari aku tidak masuk ke sekolah dan mengikuti pelajaran disana. Aku sudah siap menerima konsekuensi bila nantinya beasiswaku dicabut oleh pihak yayasan. Aku sudah lelah dengan rasa sabarku, Aku sudah muak dengan mereka yang merendahkanku. Tidak ada faedahnya bila aku terus bersabar ditengah orang-orang yang semakin sering menghujamku dengan cara yang tidak pantas. Ada masanya bagiku untuk keluar dari zona tersebut.
" dek..." panggil mas Abrar membuyarkan lamunanku.
Aku menatapnya dengan tatapan penuh arti. Sepertinya mas Abrar menyadari tatapanku sedari tadi yang kosong. Dengan senyuman hangat yang ia sematkan pada bibirnya yang tipis itu memberi arti lain dalam hidupku. Ia menyodorkan satu bungkus coklat padaku. Belum sampai aku menolaknya, mas Abrar membuka bungkusan coklat itu lalu memberikannya padaku.
" makanlah dek, bermenung pun juga butuh tenaga. kasihankan tubuhnya dipaksa ngelamun terus tapi enggak dikasih asupan makanan." godanya padaku.
Dengan rasa sungkan, aku menerima sebungkus coklat yang dia berikan. Perlahan, aku memakannya. Mas Abrar menatapku tanpa berkedip sedikit pun, aku yang tadinya biasa saja kini terlihat gusar.
" Jangan sampai dirumah sakit ini mas Abrar berpikir yang aneh-aneh." monologku.
" hmm mas... terima kasih ya untuk coklatnya," ucapku sembari tersenyum untuk menghilangkan rasa gusar dihatiku.
Ia tersenyum, lalu berkata " sama-sama adek.. gimana rasanya setelah makan coklat? adek sudah tenang?"
Ingin sekali kuberkata bahwa hatiku tidak baik-baik saja bila didekatnya, namun apalah daya selagi masih bisa kupendam akan kulakukan.
" sudah mas, Alhamdulillah." balasku dengan tenang.
" oh ya, adek memang serius ingin bekerja?" tanya mas Abrar.
Aku membalas dengan anggukan kecil, kemudian menjawab pertanyaannya dengan penuh harap " benar mas, Ulan mau kalau ada."
Ia tertawa kecil, aku pun bergidik ngeri melihatnya tiba-tiba tertawa kecil seperti itu. Jarang melihat seorang mas Abrar bisa tertawa seperti itu.
" mas lagi sakitkah?" heranku.
Ia menggeleng sambil menahan tawanya. Aku mengerucutkan keningku tingkahnya membuatku semakin bingung, apakah ada yang salah dengan jawabanku?. Atau dia hanya bercanda.
" Dasar mas Abrar menyebalkan !" gerutuku dalam hati.
" dek, sebenarnya mas tertawa bukan karena kamu salah ataupun yang buruk sekalipun. Mas tertawa karena tingkahmu tadi kelihatan anak-anak sekali." balasnya dengan tatapan teduhnya.
" kan memang masih anak-anak toh mas!" jawabku dengan kesal.
" bukan dek, kamu sudah remaja bukan anak-anak yang berusia 1-5 tahun." ucapnya dengan datar.
" mas, kapan ya Maya bisa bangun lagi?" tanyaku kepadanya.
Ia mengangkat kedua bahunya, lalu berkata " mungkin hari ini atau nanti."
" kayak judul lagu aja perasaan mas," balasku dengan kesal.
Di depan kamar tempat Maya dirawat, aku duduk bersama dengan Mas Abrar. Harapanku masih sama, Maya bangun dan aku bisa melihat senyumnya kembali.
" mas.. aku mau lihat Maya dulu kedalam kamar ya," ucapku.
" ya dek silahkan, mas tunggu disini ya." balasnya dengan tenang.
Ku buka pintu dengan pelan, suasana dingin mulai mencekam ditubuhku. Aroma obat-obatan menusuk penciumanku, sejujurnya aku benci bau obat-obatan dan selalu berusaha untuk menjauhinya. Namun, sekarang justru harus kuhirup setiap saat.
Seorang gadis remaja dengan berbalut pakaian biru masih tertidur pulas diatas ranjang rumah sakit. Terdapat bekas luka yang mengering di wajahnya, tidur saja ia sudah tampak sangat cantik, apalagi tersenyum. Kugenggam tangannya dengan erat, tangan yang dingin dan pucat.
" may, loe tidur sudah 3 hari may.. waktunya loe bangun." ucapku pelan.
" kenapa loe enggak bangun-bangun sih may, loe enggak mau ya ketemu lagi sama gue?" tambahku dengan suara yang lirih.
" may, enggak apa-apa deh loe jauhi gue lagi. Asalkan gue masih bisa lihat loe disekolah ini." lirihku.
Aku seolah berbicara sendiri tanpa ada jawaban ataupun sahutan dari dia yang tertidur pulas diatas ranjang sana. Terdengar hanya suara dari Alat monitor hemodinamik sebagai pendeteksi gelombang denyut jantung, oksigen dan yang lainnya.
Tidak ada tanda-tanda bahwa Maya akan bangun, kuputuskan untuk kembali keluar menemani mas Abrar yang sudah 2 hari ini selalu datang mengunjungiku sekaligus melihat kondisi bapak katanya begitu. Aku duduk disebelahnya, matanya terlihat lelah dan lingkaran hitam mulai menampakkan dirinya disekitaran matanya. Selama dirumah sakit, mas Abrar tidak pernah tidur. Sekalipun kusuruh tidur, hanya sebentar lalu bangun kembali.
Terkadang aku sempat berpikir, kenapa bisa dengan mudah lelaki ini meninggalkan usahanya. Apa ia tidak takut rugi? atau bisnisnya bangkrut? Pagi-pagi sekali ia pulang cuma untuk ganti baju dan dua jam kemudian ia balik kerumah sakit bahkan membawa beberapa bekal untukku, ibu dan adikku. Seberapa cepat ia memasak kalau memang ia tinggal sendiri dirumahnya?. Mas Abrar adalah pemuda yang selalu membuatku penasaran tentang dirinya. Kuharap tiada dusta yang ia tutupi dibalik kebaikan yang ia tampakkan saat ini.
" dek, jangan ngeliatin mas kayak gitu dong. Awas! nanti jatuh cinta." godanya.
"mampus gue ketahuan.."ucapku dalam hati.
" dek gimana ada kemajuan dari Maya?" tanyanya.
Aku menggeleng dengan lesu.
" ya, kalaupun ada enggak mungkin selesu ini saya mas." jawabku dengan memperlihatkan tanganku yang lesu padanya.
" oh ya dek, gimana soal bekerja yang mas ceritain tadi. adek mau?" tanyanya.
" apakah ada lowongan kerja untuk Ulan,mas?" tanyaku balik.
" sure, that i have a job for you." jawabnya
" iyakah? Alhamdulillah.. sebagai apapun asalkan bukan pekerjaan yang dibenci Allah saja mas. jadi tukang cuci piring pun jadi mas." balasku dengan girang.
Ia menyambutku dengan senyuman hangatnya. Kemudian ia berkata, " jadi barista adek. "
Aku mengangguk dengan girang. " kapan Ulan mulai kerjanya mas?" tanyaku dengan sigap.
" hahahaha... enggak ditanya dulu dimananya, punya siapa gitu?" tanyanya sambil dibarengi dengan gelak tawanya.
" tidak mas, karena Ulan percaya sama mas." balasku singkat.
" ya sudah nanti mas kabari yaa..." ucapnya dengan santai.
drrtttt..(bunyi telpon)
" mas handphonenya berdering tuh." ucapku, lalu sekilas kulihat dilayar handphone mas Abrar terpampang satu foto close up seorang gadis yang sepertinya tidak asing bagiku. Entah itu siapa, aku tidak terlalu memikirkannya bisa saja gadis itu pernah selisih jalan denganku.
Mas Abrar lebih memilih mengangkat panggilan teleponnya jauh dariku. Ada perasaan yang tidak enak terlintas dalam hatiku. Aku pun tidak tahu, disisi lain aku hanya takut ini cuma pikiran yang tidak berlandaskan apa-apa dan ujungnya hanya bersuudzon padanya. Mungkin nanti mas akan bercerita padaku. Bukankah begitu seharusnya?
Dua orang perawat masuk kedalam kamar Maya untuk mengecek keadaan Maya didalam sana. Saat itu aku tidak ikut masuk, karena rasa penasaranku dengan siapa mas Abrar menelpon lebih besar saat ini. Kubiarkan dua orang perawat itu masuk, karena biasanya memang seperti itu.
" mbak, apakah wali dari Ibu Maya?" tanya salah satu perawat yang sudah masuk tadi padaku.
" hmm.. iya, kenapa ya bu?" tanyaku ragu.
" Bu Mayanya sudah siuman bu, bisakah ibu menelpon kedua orangtuanya?" tanyanya.
" baik bu, tapi bisakah saya lihat teman saya terlebih dahulu bu,?" ucapku.
" iya silahkan bu." balasnya dengan membalas sebuah senyuman.
Akupun masuk kedalam kamar inap Maya, kudengar maya menyebut satu nama dan berulang-ulang. Ku buka tirai itu dengan pelan, aku dan Maya saling bertatapan. Maya menangis melihatku, aku tidak tahu kenapa. Hatiku kembali pilu. Aku memeluknya dan mengucap syukur karena ia sudah siuman.
" kenapaa gue masih hidup? kenapa Tuhan enggak ambil nyawa gue saja.." rengeknya seakan ia siuman menjadi malapetaka untuk dirinya sendiri.
***