Aku melamun ditaman depan rumah sakit, Kutatap langit yang mulai kelam disenja itu. Indah sekali suasana langit dan sekitarnya saat ini sembari kumengucapkan berbagai kata pujian kepada yang menciptakan ini semua.
" hmm... kak.."
seorang gadis remaja dengan seragam putih biru dongker menghampiriku dengan rasa takut. Raut wajahnya tampak sendu, ia perlahan menduduki panggulnya untuk duduk disebelahku.
" kak, kejora mau minta maaf atas ucapanku dua hari yang lalu." ucapnya dengan sendu.
" enggak apa-apa dek, kakak juga salah kok merahasiakan ini semua dari adek." balasku tenang.
" kak, tapi alasan kakak kenapa waktu itu menutupinya dariku? apakah aku masih dianggap sebagai anak kecil dimata kakak?" tanyanya dengan tatapan yang polos dan lugunya.
Aku menutup mulutku untuk menahan rasa tawa yang menggelitik, lalu kuberkata padanya dengan lembut " adek, akan selalu menjadi adek kakak yang paling kecil."
Kejora tampak cemberut mendengar jawabanku, " yah terus kapan aku dibilang dewasanya dong kak?"
" hmm... mungkin saat kamu sudah punya suami nanti ya hehe." balasku dengan bercanda padanya.
Ia kembali memaparkan raut cemberut dihadapanku, aku mengalihkan pandanganku pada langit yang mulai kelam. Dan lantunan ayat suci Al-Qur'an mulai diperdengarkan dibeberapa masjid terdekat rumah sakit itu.
" dek, kita keruang bapak lagi yuk!" ajakku sambil menggenggam tangannya. Ia membalas dengan anggukan kecil padaku.
Hari-hariku perlahan membaik, Bapak sudah mau menerima keputusanku untuk tidak melanjutkan sekolahku disana lagi. Aku tidak perlu takut lagi untuk melihat kondisi bapak. Kemungkinan lusa bapak sudah diperbolehkan pulang. Ya, meskipun cara bicara bapak yang tidak seperti dulu lagi setidaknya aku, ibu dan adikku bisa memahami maksud dari Bapak.
Dan Maya masih dengan trauma yang sama. Sehari yang lalu ia sempat mencoba membunuh dirinya kembali namun, usahanya untung saja cepat kuketahui. Walaupun saat itu perutku yang terluka akibat goresan pisau kecil yang dipegang Maya saat itu.
Mama dan papa Maya juga bersepakat akan membawa maya berobat ke luar negeri untuk mengobati rasa trauma dan lukanya. Disana papanya memiliki seorang teman psikiater dalam jangka yang tidak tahu kapan Maya akan menetap disana. Hariku yang baik sekaligus menjadi hari yang menyedihkan.
" dek, kakak mau bertanya boleh." ucapku sambil melipat mukena setelah selesai shalat.
" boleh kak, mau tanya apa kak?" jawabnya dengan lembut.
" hmm... siapa yang memberitahu adek soal kakak yang sudah berhenti dari sekolah?" tanyaku penasaran.
Kejora tampak gusar mendengar pertanyaanku. Ia seperti linglung mau jawab seperti apa.
" siapa dek?" tanyaku lagi sedikit menekankan.
" hmm... itu kak, kak kayla.." jawabnya dengan ragu.
" Apa? dimana dia bertemu denganmu dek?" tanyaku semakin penasaran.
" beberapa hari yang lalu, aku berselisih jalan dengan kak Kayla dirumah sakit ini kak. Lalu, kak Kayla menyapaku dan kulihat kak Kayla sangat baik kak kebalik dengan apa yang selama ini kakak ceritakan." jawab Kejora
" ngapain Kayla kerumah sakit? siapa yang dia temui?". Monologku dalam hati.
Aku terus berjalan sambil menggenggam tangan Kejora. Pikiranku terus berkalut pada apa tujuan Kayla datang kerumah sakit, siapa yang dia temui dan rencana apa yang ia mainkan saat ini.
" dek, lain waktu jangan temui dia lagi dan jangan percaya kata-katanya." tegasku pada Kejora.
Kejora mengernyit bingung sembari berkata, " kenapa? lagian yang dibilang kak Kayla memang benar kak. kakak takut bohong kakak ketahuan ya?"
" Astaghfirullahal'adzim dek, mana mungkin kakak bohong selama ini. Memang benar kakak berhenti sekolah hanya itu dek yang benar selebihnya jangan percaya." jabarku padanya.
" iya deh kak." kesalnya.
Kulanjutkan langkahku ke masjid guna menunaikan shalat Magrib. Tampak beberapa orang berbondong-bondong menyelenggarakan shalat magrib berjamaah dimasjid ini. Dapat kulihat bagaimana orang-orang butuh Allah ketika sedang susah dan sakit, namun ketika Allah memberikan dia kebahagiaan dan kenikmatan mereka sampai lupa.
**
" tante, bagaimana keadaan maya sekarang tan?" tanyaku pada Tante Laura, Mamanya Maya.
" ya, seperti yang kamu lihat lan.. semakin hari dia semakin sering bermenung. tante tidak tahu apa yang menekannya." ucap tante Laura tampak mengeluh.
" hmm.. tan, maaf apakah tante pernah lihat Kayla ke kamar Maya?" tanyaku lagi.
Tante Laura menggeleng pelan, kemudian berkata " Memang kenapa nak?"
" tidak jadi tan.." singkatku.
Kemudian, aku menatap Maya yang sedang memangku kedua lututnya. Ia masih terdiam sambil memandang dengan tatapan yang kosong. Sangat suram kulihat dari wajahnya, seolah tiada harapan dalam hidupnya. Selalu kupikirkan luka seperti apa yang ia pendam hingga saat ini.
Maya memanggilku dengan lambaian tangannya. Sambil tersenyum ia menatapku dengan tatapan yang sama seperti dulu.
" Kayla.... kemana saja." tuturnya padaku.
Deg!
Ia lebih mengingat Kayla daripada mengingatku. Hatiku tersayat layaknya disayat benda tajam dan itu menyakitkan. Lebih sakit dibanding harus terluka karena cinta. Aku mendekatinya perlahan, sayupan matanya terlihat jelas bila dilihat dari dekat. Wajahnya tak lagi merona seperti sedia kala, bagaikan bulan yang ditutupi oleh gelapnya malam. Aku tak kuasa menahan air mataku melihatnya dari dekat, sebagai seorang yang pernah berteman dekat dengannya aku tidak menyangka ia akan sejatuh ini.
" Kay, kemana saja.... katanya mau kembali melihatku." ucapnya sambil menggenggam erat tanganku.
Aku tak mampu untuk berkata-kata, bibirku terasa kelu untuk membalas ucapannya. Tante Laura berada dibelakangku, mengusap punggungku yang terlihat gagah namun sebenarnya sudah rapuh.
" Kay, kenapa menangis? nanti maya juga ikut nangis." sahutnya dengan tulus.
Kayla harus melihat ini semua, ia harus tahu bagaimana Maya menyayanginya meskipun ia telah dilukai dan dipatahkan dengan cacian dari sahabatnya sendiri.
" ma, Kayla kenapa diam saja?" tanyanya pada Tante Laura.
Tante Laura menatapku dengan tatapan sendu, ia berusaha menenangkan dirinya agar tidak terbawa larut dalam suasana sendu ini.
" hoo Kaylanya lagi sariawan jadi susah untuk bicara." jawab Tante Laura asal.
Maya tertawa terbahak-bahak, setelah beberapa lama ia dirawat baru kali ini ia bisa tertawa. Ia melirikku dengan matanya yang sipit karena tertawanya. Aku tersenyum sekilas.
" besok maya pergi ke Aussie, Kayla ikut enggak ma?" tanyanya pada tante Laura.
" tidak sayang, Kayla tidak bisa ikut kita." jawab Tante Laura.
" yah kenapa, kan bisa pindah Kaylanya dan bisa kayak dulu lagi pergi sekolah bareng, jajan bareng." Ucapnya memelas sambil mengingat masa lalunya lagi.
" tetap enggak bisa sayang.." tegas tante Laura.
" kenapa enggak bisa? terus Kayla mau ninggalin Maya lagi, terus siapa yang belain Maya ketika maya dijahatin sama orang-orang yang jahat sama maya lagi ma. Kayla selama ini sudah banya membantu Maya." ucapnya dengan sendu.
" membantu apanya? aneh. kenapa bisa maya berpikir seperti itu." ucapku dalam hati.
" bukannya Kayla jahat sama Maya?" tanya tante Laura.
Maya menggeleng dengan tegas. Lalu berkata, " tidak ma Kayla itu baik kok dia ngelindungi Maya dari Ulan yang jahat dan suka bully Maya."
DEG!