Chereads / Berteman dengan Luka / Chapter 17 - Surat Kecil Dari Sahabat

Chapter 17 - Surat Kecil Dari Sahabat

" selamat pagi sahabatku,

ku yakin kamu membaca surat ini ketika di pagi hari seperti biasa kamu menjengukku. Membawaku makanan dengan bersusah payah dan terkadang aku membuangnya dengan sengaja. Sahabatku Rembulan, maaf bila pamitku bagaikan seorang pecundang. Lewat surat ini biarkan maaf menjadi wakil atas segala kesalahanku padamu.

Selama ini aku sadar siapa yang sebenarnya tulus mengasihiku, menjagaku dengan sabar dan menungguku hingga aku terbangun dari tidur lamaku. Aku tidak mengira Tuhan masih memberikan kesempatan padaku untuk bernafas kembali dan melihat masih ada didunia ini seseorang yang peduli padaku. Yaitu kamu Rembulan.

Aku terpaksa berpura-pura hancur dihadapanmu, mama dan papa. Agar kalian semua selamat dan tidak lagi diganggu oleh Kayla maupun rekan-rekannya. Setidaknya jika mereka tahu aku hancur, mereka akan bahagia dan tidak mengusikmu lagi. Bukankah itu yang mereka inginkan? melihatku hancur dan berantakan?

Kamu hati-hati ya disana,

Jaga kesehatanmu sahabat

Aku disini akan selalu mendoakanmu

Semoga pengobatanku cepat selesai dan aku bisa segera menemuimu dan tentunya menjadi Maya yang baru. Sewaktu disana nanti aku akan sering menghubungimu dan kau harus tahu nomor handphonemu adalah nomor penting yang telah kuhapal sedari dulu.

Aku akan selalu memantaumu dari jauh, sahabatku..."

Secarik kertas putih yang berisikan tinta hitam bertuliskan kata-kata indah dari seorang sahabat untuk sahabatnya yang selama ini merindukannya. Tetesan airmataku menetes hingga membasahi kertas bertinta hitam itu. Belum sempat bagiku untuk mengucapkan selamat tinggal dan hati-hati dijalan, ia telah pergi terbang menuju ke negeri seberang sana.

Haruskah pergi menjadi salah satu obat dari kita yang sering terluka? bukankah itu terlalu egois?, bagaimana ia bisa pergi dengan senangnya sedangkan ada teman yang tulus untuknya disini. Aku kecewa tapi apa boleh buat, dia telah berlalu pergi.

Aku duduk diatas kasur tempat Maya pernah terjaga dari mimpinya. Selama ini maya telah membohongiku, berpura-pura sakit agar semua orang disekitarnya baik-baik saja. Berpura-pura menjadi orang gila agar musuh mengira tidak akan ada perlawanan yang tak terhingga. Maya terlalu banyak berkorban untukku.

" dek kenapa bermenung hmm?" tanya Mas Abrar tiba-tiba masuk kedalam kamar rawat Maya.

Aku menghapus bulir air mata yang menggenang dikelopak mata nan indah ini. Namun, terlambat sudah mas Abrar telah mengetahuinya lebih dulu dengan dugaan yang ternyata benar.

" kamu nangis? maya kemana?" tanyanya lagi dan melihat disekitaran ruangan.

" ini mas..." jawabku singkat sambil memberikan secarik surat dari Maya itu ke mas Abrar.

Mas Abrar membacanya dengan khidmat. Aku membiarkannya larut dalam setiap tulisan indah dari Maya. Lalu, Mas Abrar tampak meremas kertas itu dan membuatku sedikit heran dengan tingkahnya.

" mas kenapa kertasnya..." ucapanku terpotong melihat muka mas Abrar yang merah padam.

" ehh,, maaf dek. Mas terlalu tersulut emosi membaca suratnya." ucap Mas Abrar gugup, ia memberikan kertas itu kembali padaku dan gemetaran ditangannya pun masih jelas kulihat.

" kenapa mas? ada yang salahkah dengan surat ini?" tanyaku heran.

" tidak dek... tidak ada yang salah

kalau gitu mas pulang dulu ya, kelupaan tadi janji sama karyawan ditoko." sahutnya tanpa menatapku. Mas Abrar berlalu menjadi karakter yang dingin setelah membaca surat itu.

" hati-hati ya mas..." balasku sambil menundukkan kepalaku sebagai rasa hormatku padanya.

Mas Abrar dengan langkah yang tergesa-gesa berlalu meninggalkanku dikamar inap itu. Entahlah firasatku tidak enak melihat tingkah mas Abrar setelah membaca surat itu, Tidak ingin berlebihan dalam menafsirkan sesuatu aku mencoba memalingkan firasat itu dan membereskan beberapa barang Maya yang masih tertinggal dikamarnya.

**

" jadi selama maya sakit ini hanya sandiwaranya saja supaya siapapun yang melihatnya percaya bahwa ia saat ini tidak dalam kondisi yang baik." monologku.

Aku teringat bagaimana Maya waktu dua hari yang lalu berkata tentang betapa baiknya Kayla sedangkan aku adalah sosok yang jahat. Aku sempat kaget, kenapa dimemorinya hanya terkenang nama Kayla. Justru ialah yang keji selama ini terhadap Maya. Untung saja Tante Laura lebih mempercayaiku dibanding ucapan asalannya Maya. Dan ternyata itu semua hanyalah sandiwara Maya dalam melindungiku.

Semuanya kembali seperti biasa. Bapak sudah diperbolehkan untuk pulang hari ini, setiap sekali sebulan bapak harus rutin check up karena masalah kepalanya yang masih sakit belum ditemukan penyebabnya apa. Mas Abrar turut serta membantu administrasi kepulangan bapak. Kejora menunggu aku, ibu dan bapak dirumah. Ia lebih memilih bersih-bersih rumah mungil itu dibanding mengemasi barang-barang bapak dirumah sakit.

" bu, pak besok ulan akan kerja di cafe temannya mas Abrar." ucapku dengan ragu.

" oh ya bu, pak.. abrar sampai lupa bilang kalau Ulan sudah Abrar rekomendasikan kepada teman Abrar untuk kerja di cafenya sebagai barista." sahut Mas Abrar.

" Alhamdulillah... bapak dengarkan pak Ulan besok akan kerja." balas ibu dengan senang dan bapak karena masih terlalu susah untuk berbicara, ia hanya tersenyum dengan ramah.

" kalau kerja harus hati-hati ya nak.. jangan sampai kamu ceroboh." tambah ibu menasehatiku.

" baik bu." singkatku lalu melirik ke arah mas Abrar yang sedang memparkan lengkungan bibirnya yang tipis.

" manis sekali." ucapku pelan.

" kenapa dek?" tanya mas Abrar sedikit terkejut.

" eh.. tidak ada mas.. anu hmmm..." ucapku dengan gagap.

"hahhaha .. sepertinya nak ulan salah tingkah ya brar..." kata ibu menggodaku.

Aku tersipu malu, pipiku kemerahan seperti kepiting rebus. Mas Abrar sangat pandai dalam menggodaku saat ini. Usiaku dengan mas Abrar terpaut sangat jauh berkisar delapan tahun. Dan sampai saat ini aku belum memiliki alasan untuk menerimanya, serta mas Abrar masih tertutup kepadaku soal hubungan dia dengan kedua orangtuanya, karib kerabatnya dan lingkungannya. Aku hanya tidak ingin bila menerimanya saat kemarin, dan aku belum tahu tentang dia seutuhnya serta nyatanya dia bukan lelaki yang baik. Ya, ujungnya jadi aku yang rugi bukan?

Didalam perjalanan menuju rumah, Mas Abrar fokus dengan kendaraannya. Ibu tertidur pulas dengan hembusan angin yang masuk kedalam jendela mobil, bapak pun begitu.

" mas..." panggilku.

ia hanya membalas dengan deheman.

" kira-kira aku bisa enggak ya bekerja dengan baik besok mas?" tanyaku ragu.

" tentu bisa dong, dek kan pintar. pernah dapat juara bukan sewaktu SMP." balas mas Abrar dengan percaya dirinya.

aku mengernyitkan alisku sebelah kanan, satu pertanyaan muncul dibenakku " kenapa dia bisa tahu soal aku pernah juara waktu SMP? tidak mungkin bukan ia menguntitku sampai sejauh ini. Dan setahuku mas Abrar baru beberapa bulan ini membeli toko bekas toko emas itu." aku terus bermonolog pada diriku sendiri, sejumlah pikiran-pikiran negatifku muncul satu persatu.

" kenapa terus ngelamun sih dek? ada yang salahkah?" tanya mas Abrar.

" hmm.. enggak ada mas." balasku sambil menggarukkan kepalaku yang tidak gatal.

" ibu... bapak kita sudah sampai dirumah." ucapku membangun ibu dan bapak yang masih terlelap dalam mimpi indah mereka.

Satu persatu barang diturunkan dan mas Abrar turut serta dalam mengangkat bapak ke kursi roda. Aku terlalu banyak hutang budi dengan mas Abrar, mungkin suatu hari nanti aku mampu membalas semua kebaikannya.

***