" Aku memiliki sejuta luka sedangkan kamu memiliki segudang kebahagiaan. Apakah kamu yakin bisa menyembuhkan lukaku dengan semua kebahagiaan yang kamu miliki."
-Rembulan Cahyaningrum-
Cinta itu bagaikan dongeng dalam hidupku, yang hanya dimiliki untuk orang-orang berkasta tinggi saja sedangkan aku orang yang tak punya apa-apa ini hanya bisa bermimpi untuk bisa bahagia dengan seorang pangeran kerajaan. Bagiku cukup mengagumimu dari jauh saja itu sudah lebih dari apapun dimuka bumi ini dan bahkan ketika mendengar namamu saja aku bisa tersenyum dengan indah.
" Ulan, kamu saya tempatkan dibagian kasir ya sembari kamu juga harus belajar bagaimana pembuatan minuman disini." ucap Mas Raka selaku pemilik cafe Andalusia tempat aku bekerja saat ini.
" baik mas, saya akan melakukan yang terbaik." balasku dengan senyum semangat.
Mas Raka mengacungi dengan dua jempol, aku tersenyum sambil menyipitkan kedua mataku. Sepertinya pemilik cafe ini sangat ramah, beruntung mas Abrar menempatkanku disini. Aku pun saling berkenalan dengan para karyawan disana. Ada Kak Tuti dan Mas Bram selaku barista, ada Putri dan Dewi yang ditugaskan melayani para pelanggan yang datang. Totalnya termasuk dengan aku ada lima orang pekerja disini. Dan mereka juga ramah denganku, baru kali ini rasanya disambut hangat oleh seseorang yang aku kenali.
" dek, untuk sementara waktu saya mengajarimu yah bagaimana sistem pengembalian dan keuangannya." ucap Kak Tuti dengan hangat.
" iya kak, saya akan mempelajarinya." balasku singkat.
Kak Tuti mengajariku dengan perlahan-lahan, karena mumpung disaat itu Cafe sedang sunyi oleh pelanggan yang datang. Jadi, aku habiskan waktuku untuk belajar menjadi seorang kasir.
Tidak terasa waktu telah berlalu selama 30 menit, aku mulai sedikit mengerti tentang prosedur menjadi seorang kasir. Untuk hal mempelajari sesuatu, sangatlah mudah bagiku. Aku sangat cepat dalam mempelajari suatu hal yang berhubungan dengan keuangan, dan akan lebit rumit bila aku mempelajari tentang fisika dan kimia.
" ulan, ada yang mencarimu di tempat duduk pojok sebelah sana." panggil Putri sambil menunjuk ke arah tempat duduk pojok tersebut.
Aku mengernyitkan alis, " siapa yang mencariku pagi-pagi begini? " monologku.
" baik put, makasih ya." balasku.
Aku berjalan menuju ke tempat duduk pojok. siapa gerangan sosok lelaki yang sedang membaca koran terbalik ini. Tidak biasanya ada seorang lelaki yang mau mencariku.
" iya pak.. ada apaa?" tanyaku dengan gugup dan pelan.
Lelaki yang menyembunyikan wajahnya dibalik koran yang terbalik itu perlahan membuka identitas tentang dirinya.
" hy dek..." sapanya dengan senyum manis yang akhir-akhir ini kurindukan.
" mas Abrar.. kenapa bisa.?" tanyaku heran.
" iya bisalah, mas kan punya waktu yang fleksibel." balasnya tanpa ingin mendengarkan ucapanku lebih lanjut.
" tapikan dek kerja mas.. segan rasanya sama teman-teman yang lain mas." ucapku dengan berat hati.
Ia menatapku dengan sendu, sepertinya kata-kataku ada yang salah atau dia yang terlalu hanyut dalam perasaan. Sedetik kemudian, tatapan sendu itu berubah menjadi ceria kembali.
" hahahaha adek kenapa semakin lucu ya." tawanya dan membuatku menjadi semakin bingung. Enggak biasanya mas Abrar akan selancang ini apalagi sampai menarik sedikit jilbabku yang julur panjang.
" mas kenapa? mas ada masalah?" tanyaku langsung tanpa basa-basi.
Ia kembali terhenyak dan terdiam. Ia tidak menatapku sehangat diawal, apakah ada yang salah dengan pertanyaanku. Tanpa ia persilahkan duduk, aku duduk disebelahnya. Mencoba menghangatkan suasana itu kembali. Aku tidak peduli lagi dengan hari yang masih pagi, entahlah hanya naluriku saja yang jika mencintai seseorang akan seperti ini.
" mas kenapa diam saja? mas ada masalah? coba cerita sama adek." ajakku dengan lemah lembut.
" adek jahat, masa iya mas jauh-jauh datang kesini dek usir mas untuk pulang lagi." sahutnya dengan nada yang manja.
" mas, adek tidak bermaksud mengusir mas untuk pulang. Mas harus mengerti bahwa adek saat ini baru masuk kerja, dan itupun adek belum paham situasi kerja disini seperti apa mas." nasehatku padanya.
" jadi, dek ngerasa terganggu dengan kehadiran mas disini?" tanyanya dengan suara iba.
" Ya Allah mas, bukan begitu.." ucapku dengan rasa bersalah.
" dan mas disini beli minuman kok, jadi gak gratis pun." ejeknya padaku.
Aku mengelus dadaku, apa seperti ini aslinya mas Abrar. Kenapa tiba-tiba dia manja dan terkadang bersifat memaksa? seingatku waktu pertama kali mengenali dia tidak pernah ada hal seperti ini. Apakah ini yang dinamakan budak cinta?
" nanti dek pulang jam berapa?" tanya berusaha mengalihkan.
" jam 5 sore mas." balasku singkat.
" ya udah nanti mas jemput ya, sekalian mas juga mau cek keadaan bapakmu dirumah." ajaknya dengan wajah yang kembali hangat.
Aku tersenyum lalu mengangguk tanda mengiyakan ajakannya.
" kalau gitu mas ke toko dulu ya, nanti mas kesini langsung jam 5 InshaAllah." ucapnya lalu membangunkan badannya dan meninggalkanku beberapa menit kemudian.
Aku menghela napasku dengan kasar, ada ternyata lelaki yang seperti itu. Dia memberikan kebahagiaan sekaligus menjadi luka dalam sepersekian detik dihidupku. Aku melepaskan kepergiannya dengan pikiran yang masih terheran-heran.
**
Hari ini, tidak seburuk yang kukira. Aku mampu melewati semua kesulitan dalam pekerjaan dengan baik. Ya, meskipun terkadang masih ada salah dan beberapa kali lupa setidaknya masih dimaklumi untuk beberapa bulan ini oleh Mas Raka dan Kak Tuti. Aku mengakhiri pekerjaanku dengan mengucapkan Alhamdulillah. Karena, Allah yang telah melancarkan segala urusanku dan pekerjaanku saat ini.
Aku bersiap-siap untuk pulang. Kak Tuti dan Mas Bram masih berkutik pada resep terbaru mereka berdua. Memang Mas Bram dan Kak Tuti dua orang yang saling support satu sama lain. Sedangkan Putri dan Dewi sudah lebih dahulu pulang.
Aku menunggu mas Abrar didepan cafe, ia berjanji akan menjemputku sore ini. Aku tidak bisa mengabarinya karena telpon genggamku sudah habis baterai dan aku tidak membawa chargernya. Maklum handphone lama pastinya sudah banyak yang harus diperbaiki.
titttt!! suara klakson menganggetkanku dari lamunanku barusan. Kulihat siapa yang berani membunyikan klaksonnya disampingku. Ternyata mas Abrar, untung sayang kalau enggak sudah kuhabisi dia.
" masuk dek.." ucapnya dibalik jendela mobil yang ia buka. Aku mengangguk mengerti.
" dek kenapa mas telpon enggak aktif-aktif sih? tadi kamu kemana?" tanyanya posesif.
" mas maaf telpon adek baterainya habis dan dek lupa bawa chargernya, handphone itu kalau enggak di charge, maka cepat habis baterainya." ucapku memelas.
ia hanya ber-oh ria mendengar penuturanku dan aku hanya membalas seperlunya saja. Kemudian ia berkata sambil menunjuk ke arah belakang tempat duduknya, " mas tadi beli buah-buahan untuk bapak nanti kamu bawa ya."
" ya Allah mas, kenapa banyak sekali." ucapku melirik ke belakang dan terheran-heran kembali.
" itu bukan untuk kamu, tapi untuk bapak." balasnya datar.
" iya mas, iya aku tahu kok. tapi, makasih ya mas.." balasku dengan ramah.
" heheh iyaa cium dulu dong.." pintanya.
" Astaghfirullah mas, jangan !" hardikku padanya.
" hahaha bercanda kok, santai saja ulan." sahutnya sambil menggeledek.
Aku hanya menggelengkan kepalaku seakan tidak menyangka setaat itu ia bisa berkata layaknya aku perempuan yang rendah dihadapannya. Aku kembali menatap lurus perjalanan, keduanya hening dan tak bergeming. Sesampainya dirumah, Ibu menyambutku dengan hangat, Kulihat Bapak dengan kursi rodanya ikut tersenyum dengan kedatanganku dan mas Abrar. Lebih tepatnya mereka bahagia karena Abrar. Itu sudah lebih cukup untukku.