" mana yang lebih sakit, kehilangan sahabat atau kehilangan kekasih? aku lebih memilih sakit kehilangan seorang sahabat. Kekasih masih bisa dicari namun sahabat sejati tidak bisa digantikan dengan siapapun dan apapun" - Rembulan Cahyaningrum-
" kenapa loe menemui gue! besar juga nyali loe yaa anak miskin!" hardik Kayla.
" gue ingatkan loe ya kay, jangan pernah coba-coba loe sakiti Maya dia adalah sahabat baik loe dia selalu memuja loe dihadapan gue!" tantangku dihadapannya.
" eh! itu gak penting buat gue.. yang jelas dia sudah khianati pertemanan gue dan itu salah loe !" hardiknya dengan bersedekap dada.
" gue hanya ingatin loe kay, loe beruntung punya sahabat seperti maya.." lirihku.
Mata Kayla mulai sinis dan melirik ke arah Rere yang sedari tadi berada dibelakangku. Firasatku mulai tidak enak, ada beberapa teman-teman Kayla mengelilingku didepan kelasnya saat ini. Aku sudah tahu apa yang akan mereka lakukan. Menendang, menampar atau bahkan menarik jilbabku yang seringkali hampir terlepas.
" besar juga nyali loe menemui kayla, lan." bisik salah satu temannya dengan suara menyindir.
" loe mau mati ditangan kami atau ditangan Kayla." bisik Rere dengan menantang.
" Kayla!! loe tidak lebih dari seorang iblis!" teriakku seakan menantangnya.
Mata Kayla membesar, pipinya memanas mendengar ucapanku. Seketika itu tamparan keras melayang dipipi kananku.
"augh!" rintihku.
" loe kalau sok berani jangan didepan gue lan, loe mau mental loe gue bunuh secara perlahan seperti maya, ha?" bisiknya dengan licik.
" Apa-apaan ini! kalian tidak mendengar suara bel masuk? kenapa masih diluar." titah ibu guru yang sedang bersiap-siap untuk mengajar.
" ini bu, anak miskin ini ganggu kita mulu." sindir Rere sambil berkacak pinggang.
" semuanya masuk ke kelas, atau akan ibu panggil kalian semua disini ke ruang BK." ancamnya.
Mereka pun masuk dengan hati yang masih dongkol dan kesal padaku. Kecuali Kayla ia perlahan mendekatiku lalu aku memundurkan langkahku sejangkal.
" kali ini loe gue lepas... namun, jangan harap hari esok akan seperti ini ulan." bisiknya lagi dengan senyum smirknya.
" Kayla! masuk!" perintah Ibu Resta selaku guru Geografi.
Aku masih berdiri dengan kaku didepan kelas Kayla. Ibu Resta menarik tanganku untuk menjauh dari kelas itu.
" lan, kenapa hm?" tanya Ibu Resta
" tidak apa-apa bu." singkatku.
" apa mereka masih mengganggumu?" tanya ibu Resta sambil memegang tanganku yang masih gemetar karena menahan emosi yang masih terpendam.
Mataku kembali berkaca-kaca, Ibu Resta adalah wali kelasku sewaktu aku duduk dibangku kelas 1 dulu. Ibu Resta paham betul tentang aku, Maya dan Kayla. Bahkan ibu Resta sangat berbeda daripada guru yang lain yang hanya selalu menyudutkanku dan membela Kayla. Dulu ketika aku pertama kali di bully oleh Kayla dan teman-temannya persoalan kedekatanku dengan Maya, Ibu Restalah yang paling depan dalam membelaku. Ya, kalaupun pada akhirnya ibu Resta harus menjadi sasaran gunjingan oleh guru-guru yang lainnya.
" nak, meskipun saat ini ibu tidak lagi mengajarimu.. kamu jangan sungkan untuk bercerita sama ibu, ibu janji akan selalu ada untuk Rembulan." tutur Ibu Resta menenangkanku.
Aku mengangguk paham, lalu Ibu Resta mengelus puncak kepalaku. Dan berjalan menuju kelas Kayla.
" terima kasih bu, kebaikanmu tidak akan kulupakan." monologku.
Semua orang takut pada yang berkuasa, namun tidak takut pada sang Pencipta. Bukankah Dia yang Maha Kuasa lalu kenapa harus aku takut kepada dia yang sama-sama diciptakan dari tanah dan akan kembali ketanah juga. Kenapa aku harus goyah dengan segala ancaman dan teguran yang dia berikan?
Selama jam pelajaran berlangsung, aku tertidur didalam kolong tas ransel. Akhir-akhir ini aku sudah tidak peduli lagi dengan nilai dan peringkat. Aku pun sudah muak dengan yang namanya beasiswa dari sekolah elit ini. Akan lebih baik bagiku untuk menjadi gadis yang malas sehari ini saja, permasalahan pelik yang kuhadapi tadi pagi membuat kepalaku sedikit pusing. Didalam kelas, tidak ada satupun yang menghiraukanku seakan dibelakang yang duduk dipojokkan ini adalah makhluk tak kasat mata. Dan tidak ada gunanya bagiku untuk menjadi siswi teladan jika bukan prestasi yang mereka lihat melainkan dari kekuasaan.
" ada kabar baru nihh,, loe tahu gak maya." ucap salah satu teman sekelasku.
" maya? bukannya sahabatnya si onoh." balas siswi berambut pendek itu sambil menunjukku yang masih dengan tatapan bingung.
" pokoknya nih yaa, si maya itu barusan dibawa kerumah sakit.. dia ditemukan tidak sadarkan diri didalam gudang tua itu." balas siswi berkulit hitam manis tersebut.
Maya? sontak aku berlari menuju luar kelas. Dan bertanya ke salah satu guru yang piket disana, apa yang terjadi pada maya padahal tadi dia minta waktu untuk menyendiri.
Sesaat sebelum kejadian...
" Pergi kau! pembawa sial! Pergi!!!" hardik Maya dengan tubuhnya yang bergetar hebat.
" may, ini gue may Ulan.. gue bukan pembawa sial, gue sahabat loe." ucapku sambil menghampirinya.
" gue enggak mau ketemu loe lagi, pergi!! gue enggak mau siapapun terluka lagi ulan..." rengeknya dengan rasa bersalah yang menghantuinya saat ini.
" loe tidak salah may, loe teman gue yang paling baik may.." lirihku sambil memeluknya.
" tinggalkan gue sendiri disini lan, gue ingin sendiri.." pintanya dengan suara memelas.
" baiklah, tapi selepas itu loe harus masuk ke sekolah ya.." ucapku melepas pelukannya.
Ketika aku hendak melangkah meninggalkannya, tiba-tiba Maya berkata " andai waktu itu kita tidak satu kelas lan, mungkin kamu tidak akan sering disiksa seperti ini oleh Kayla."
" jika aku pergi dari dunia ini apakah semuanya akan kembali seperti semula?" ucap Maya bermonolog sendiri.
Kucoba untuk tidak menampakkan sisi rapuhku saat ini dengan membelakanginya, aku membalas perkataannya " semuanya akan tetap seperti ini meski kau pergi sekalipun. jadi jangan pernah merasa bersalah untuk seseorang yang pantas untuk disalahkan, may."
Aku meninggalkannya dalam keadaan yang masih rapuh, amarahku terlalu membara kepada Kayla saat ini. Tidak bisakah Tuhan memberikanku kesempatan untuk melawan iblis jahat seperti Kayla? Aku berlari menuju gerbang sekolah yang hampir saja tertutup karena bel jam pelajaran pertama sudah masuk.
" maaf bu, saya Rembulan dari kelas XI IIS 1, mau bertanya apakah benar ada siswi yang barusan dibawa kerumah sakit bu?" tanyaku kepada salah satu guru piket disana.
" iya ada. kalau enggak salah namanya Maya. tadi ditemukan sama satpam ketika siswi itu mau masuk ke gerbang dengan luka dibagian pergelangan tangannya." balas ibu piket tersebut.
" apa? luka? setahuku tadi Maya tidak memiliki luka yang parah dibagian lengan. apa jangan-jangan!" monologku dalam hati.
" memangnya ada apa nak?" tanyanya balik padaku.
" tidak apa-apa bu, dirumah sakit mana Maya dibawa bu?" tanyaku dengan mulai panik.
" Dirumah sakit Bunda." singkatnya.
" terima kasih bu," ucapku lalu menundukkan kepalaku sebagai ucapan hormat padanya selaku guru disekolah ini. Ibu piket hanya menatapku penuh dengan rasa bingung.
Tuhan kali ini saja, izinkan aku bisa menjadi teman yang berguna untuk Maya. Selama ini Maya telah banyak membantuku meski hanya sesaat, dia adalah teman terbaik yang pernah aku miliki. Jangan biarkan Maya pergi, Tuhan. pintaku sambil berlari mencari-cari angkutan umum. Tanganku gemetaran, membayangkan semua ucapan Maya tentang aku, bagaimana Maya membelaku dihadapan Kayla. Kenapa harus secepat ini, Tuhan..
titttttt (suara klakson mobil)
" adek? "
" mas?"
***