" oke.. kalau gitu menikahlah denganku!" ucapnya dengan spontan.
Dadaku berdegup lebih cepat mendengar ajakannya. Semilir angin yang berhembus di lorong-lorong rumah sakit ini membuat pikiranku terhanyut dalam lamunan perkataannya. Apakah itu benar ataupun tidak, aku tidak bisa berkata-kata. Mulutku menjadi bungkam hanya tatapanku yang tajam memandang wajahnya.
Lamunanku menjadi buyar, Aku berusaha memusatkan pikiranku dengan ajakannya. Meskipun itu serius, aku tidak mungkin bisa menerima ajakannya. Aku hanya gadis yang tidak punya latar belakang yang baik bagaimana mungkin aku bisa menerima lamaran seorang pemuda yang taat ini dan tentunya berasal dari keluarga yang mapan.
" dek.. ngapain ngelamun?" tanya Mas Abrar sambil melambaikan tangannya ke arahku.
" tid..tidak mas, tapi..." singkatku karena detak jantungku semakin cepat.
" haha, soal ajakan menikah itu ya.. tidak usah kamu pikirkan aku hanya menawarkan bukan memaksa." Ucapnya dengan santainya.
" mas, baru kenal aku tapi mengapa semudah itu mengajakku menikah? apa mas menikahiku karena rasa kasihan?" tanyaku dengan tatapan yang tajam padanya.
" tidak dek, bukan karena kasihan mas ingin menikahimu karena mas yakin kamu bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anak kita kelak." jawabnya dengan percaya diri.
aku menaikkan alisku sebelah kiri, tanpa rasa ragu ia menjawab pertanyaanku. Apakah benar dengan yang dia ucapkan? Akulah yang menjadi ragu atas jawabannya. Tidak semudah itu bagiku untuk percaya.
" jadi gimana dek?" tanyanya.
" gimana apanya mas?" tanyaku balik.
" ya tawaran mas tentang ajakan menikah itu." jawabnya sembari menggarukkan kepalanya yang tidak gatal.
Aku tertunduk. lalu kemudian berkata kembali, " ya sudah dek, mas enggak akan maksa kok. mas akan menunggu sampai adek siap ya."
" maaf mas.." singkatku sambil menunduk.
" tidak masalah dek, mas maklumi kok.. mas akan menunggu dek." jawabnya
Mas Abrar, memang kelopak matamu indah bagaikan bulan purnama yang terang benderang digelapnya malam. Namun, aku sadar diri bulan purnama itu banyak dikagumi dan aku hanyalah sekian banyaknya yang mengagumimu. Aku pertama kalinya menemukan mata yang indah itu, bila bisa memilikinya pun itu adalah impian ku terbaruku saat ini setelah impianku yang lain.
" hmm.. mas apa enggak masalah bila biaya bapak tadi sebagai gantinya izinkan aku menjadi karyawan ditokomu mas atau mungkin mas ada kenalan teman yang punya cafe izinkan aku kerja disana mas." pintaku dengan rasa segan
" adek serius mau kerja? terus sekolahnya gimana?" tanyanya penasaran.
" saya biasanya sekolah pulangnya sore mas kalau hari-hariku lancar sih yaa kalau enggak lancar biasanya siang sudah pulang hehe." balasku sambil menggarukkan tekukku.
" adek nih, kalau orang sibuk gitu yaa.. hebat banget adek berarti nih." godanya padaku.
Aku tersenyum simpul mendengar perkataannya. Wajar jika orang-orang yang belum pernah kesana memikirkan sekolah yang ku tempati saat ini adalah sekolah swasta terbaik. Kenyataannya tidaklah seperti itu, bahkan aksi perudungan lebih tinggi disana. Sebenarnya siswa-siswi yang dirundung disana tidak hanya aku masih ada beberapa yang lain lagi. Tapi, yang sering mereka rundung ya hanya aku.
" Aku tidak sehebat yang mas kira, aku terlalu lemah berada diantara mereka yang kuat mas." lirihku sembari mengingat betapa buruknya perlakuan teman-teman terhadapku.
" maksudnya dek? kenapa bisa adek berbicara seperti itu?" herannya padaku.
" hmm.. tidak mas bukan bermaksud apa-apa." cemasku.
" adek, kalau adek...." ucapannya terpotong dengan kedatangan Kejora yang terlihat tergesa-gesa mendatangiku.
" kak, bapak sudah siuman. ayo ke kamar bapak sekarang!" ajak Kejora sambil menarik tanganku.
Aku meninggalkan Mas Abrar dilorong itu, belum sempatku berkata pamit Kejora sudah membawaku pergi. Aku melirik ke belakang dan melihat Mas Abrar yang tersenyum padaku. Lagi, jantungku berdetak lebih cepat melihat matanya yang mengecil mengikuti garis wajahnya. Aku membalas senyumannya dengan kaku. Kemudian ia melambaikan tangannya padaku dan melangkah menuju parkiran mobil yang tak jauh dari lobi rumah sakit.
**
Badanku menegang ketika yang kulihat pertama kali adalah tatapan benci bapak padaku. Mata merah besar menjadi alasan ketakutanku setelah dirudung Kayla dan teman-temannya. Bapak memang saat ini tidak mampu bicara dengan jelas, penyakit stroke berat yang dideritanya saat ini terpaksa membuat bapak harus berbaring sampai waktu yang ditentukan. Sebegitu bencikah bapak padaku?.
Bapak seperti memberontak tatkala aku memeluknya. Sehina itukah aku? apakah tidak ada rasa sayang bapak seperti dulu lagi? Air mataku pun mengalir deras diatas pelukan bapak. Entahlah sedurhakah itukah aku kepada beliau yang menerimaku untuk masuk kedalam kehidupannya.
" pak, maafkan Ulan pak.. Ulan janji akan membahagiakan bapak dan ibu." Ucapku sambil air mata yang terus mengalir dengan deras.
Bapak yang berusaha menyingkirkanku dari pelukannya. Berulangkali ibu memintanya untuk istighfar, namun tidak digubris olehnya. Sepertinya Bapak tidak ingin melihatku saat ini, kuputuskan untuk menjauh darinya. Ya, setidaknya jika bapak tidak melihatku, penyakitnya tidak bertambah parah. Mungkin seiring berjalannya waktu, semua akan membaik.
Semilir angin sore menjelang waktu maghrib sangat menenangkan pikiranku yang duduk ditaman belakang rumah sakit ini. Menatap sepasang suami istri yang sedang saling menyuapi makanan, anak-anak kecil yang berlarian dihadapanku dan seorang lelaki yang sedari tadi menatapku dari kejauhan.
" mas Abrar?" heranku dengan hati yang sedikit bergetar bila memanggil namanya.
Lelaki itu semakin mendekat kearahku, Kukira saat Kejora menarikku untuk kekamar bapak dia sudah pulang. Namun, ternyata dugaanku salah. Apa yang dia lakukan dirumah sakit ini terlalu lama? bagaimana dengan usahanya?.
" dek..." sapanya.
" mas kenapa belum pulang? bukannya mas punya toko dipasar, nanti kalau kelamaan disini toko mas gimana?" tanyaku dengan beberapa pertanyaan padanya.
" hm.. mas masih kepikiran soal perkataan adek tadi. seolah-olah adek disana lagi ditindas, apakah mas benar?"
Aku mengangguk lemah, aneh kepadanya saja aku tak mampu menjadi gadis yang kuat. Apakah pantas jika aku berterus terang kepadanya saat ini?
" dek.. kenapa? coba ceritakan sama mas, dengan bercerita kita bisa meringankan apa yang selama ini mengganjal dalam pikiran kita loh dek." ucapnya dengan jelas.
" Kenapa mas mau mendengarkan cerita gadis lemah sepertiku? apakah mas mau mengejekku sama seperti yang lainnya?" tanyaku dengan menyudutkan diriku sendiri.
Dia tersenyum seringai, lalu berkata " jangan samakan semua orang dek, tidak semua orang itu jahat dan tidak semua orang juga baik. Mas hanya ingin adek tidak sendiri melewatinya, mas sudah mengambil keputusan untuk melangkah jangan paksa mas untuk mundur dari langkah ini, dek." tegasnya padaku.
" Apalah dayaku mas hanya gadis SMA yang hidupnya terlalu jauh darimu mas." balasku merendah sekali lagi.
" dek, angkat kepalamu jangan merendah seperti ini. Justru jika terlalu merendah, semua orang akan gampang menjatuhkan mental dan fisikmu." Tegasnya sekali lagi.
Di rumah sakit ini menjadi saksi betapa Allah sangat menyayangiku. Disaat laraku terlalu rapuh dan meronta-ronta ketika itu datang seorang penyelamat bak malaikat tanpa sayap dihadapanku saat ini. Terlalu puitis memang, Tuhan berikan hatinya untukku. Akan kurawat hatinya dengan baik, bisakah Tuhan?.
***