Perempuan Tangguh itu Aku!
" Allah hanya akan mengujimu sesuai dengan kemampuanmu, seberat apapun yang kau hadapi saat ini Allah lebih tahu kau mampu melewati ini semua "
-Rembulan Cahyaningrum-
Tiada yang tahu bagaimana hidup ini, kadang ada masa kau berada dititik terendahmu dan kadang kau juga akan merasa dititik dimana semua orang mendukungmu, berada dipihakmu. Lain halnya denganku, entah saat ini aku sedang menjalani hukuman atas kedua orangtuaku atau memang Tuhan membiarkanku susah terlebih dahulu agar kelak aku bisa merasakan yang namanya keindahan dan kebahagiaan.
Aku selalu percaya bahwa keajaiban itu akan selalu ada. Tuhan membiarkanku untuk terus bersabar dalam mengarungi lautan samudera yang luas ini, yang didalamnya terdapat aneka hewan buas yang siap menerkamku bila aku lemah. Meskipun dilautan yang luas sekalipun, dan bertemu dengan hewan yang buas aku selalu percaya akan ada pertolongan dari Tuhan untukku entah lewat apapun itu jika aku berusaha sembari berdoa. Tuhan tidak pernah tidur, jadi tidak ada yang perlu kuragukan tentang kuasaNya.
" Assalamu'alaikum..."
" wa'alaikum...astaghfirullah lan, ada apa lagi ini nak?" Resah ibu.
" kakak, ya Allah... kenapa pakaian seragam kakak kayak gini?" tanya adikku yang juga ikut resah.
" tidak apa-apa kok bu, dek.. ini tadi teman-teman ngadain ulangtahun teman sekelas eh nyatanya kuenya terlempar ke arah kakak." ucapku dengan bohong, Kejora bisa saja percaya kata-kataku lain halnya dengan ibu yang tatapannya mulai sendu.
" kakak enggak bohongkan sama ara?" tanyanya sekali lagi.
Aku tersenyum kikuk, lalu membalas pertanyaan dengan mengusap rambutnya yang sependek bahu. Sebenarnya terlalu sakit untuk berbohong, kalau bisa aku mengatakan hal yang jujur bahwa aku sudah menyerah. Namun, apalah daya Allah lebih membenci orang-orang yang mudah putus asa dalam hidupnya.
" kak, jawab pertanyaan ara!" titahnya dengan rasa penasarannya.
" kakak enggak pernah bohong sama ara. Kakak baik-baik saja kok, serius." balasku dengan senyuman.
Aku melirik kearah ibu yang masih menatapku dengan tatapan sendu. Ibu tidak banyak bertanya padaku karena mungkin ibu sudah tahu tentang apa yang kualami saat ini juga.
" ya udah lan, cepat ganti bajumu sekarang. Habis itu jangan lupa dicuci bajunya ya biar besok sudah kering." Ujar ibu. Aku pun membalas dengan anggukan kecil. Ibu berlalu dan pergi menuju dapur. Kejora tak lagi berdiri dihadapanku ia pun juga bersiap-siap menyusun bukunya untuk berangkat ke sekolah nanti. Kemudian, aku menyusul Kejora.
" dek, bapak masih belum pulangkah?" tanyaku penasaran sambil mengganti pakaianku dengan pakaian yang lengan panjang dan dalam.
" belum kak, dan ibu akan marah bila aku bertanya terus tentang dimana bapak. Bapak sama ibu enggak ada masalahkan kak?" balas Kejora dengan bertanya balik padaku.
" tidak adek, Bapak sama Ibu baik-baik saja kok hanya saja bapak diminta sama bosnya untuk ngambil beberapa barang-barang bekas yang tempatnya lumayan jauh dari rumah." jelasku pada Kejora.
" sini kakak bantu menyusun bukunya kedalam tas." tambahku melihat Kejora yang kelihatan susah menyusu buku-bukunya didalam tas.
" Assalamu'alaikum bu Marni!" teriak salah satu pemuda. Aku dan kejora pun keluar dari kamar.
" Wa'alaikumussalam .. bap..pak!" sahut Kejora.
" bapak kenapa mas? Kenapa bisa babak belur begini?" tanyaku sambil memegang wajah bapak yang dikeningnya ada benjolan besar dengan hidung yang berdarah.
" bapakmu habis berkelahi dengan salah satu pemuda tengah malam, sepertinya bapakmu baru pertama kali mabuk hanya setengah botol saja bapakmu sudah tidak sadarkan diri. Lalu memukul siapa saja pemuda yang mendekatinya. Dan akibatnya seperti ini." jelas sang pemuda itu padaku dan Kejora.
" tapi bapak enggak pernah minum minuman yang haram ini mas.." jawabku yang masih heran dan tidak percaya.
" saya tidak tahu dik, yang jelas kami menemukannya tergeletak ditoko serba-serbi dekat pasar ini dik. Dan yang mengatakan soal bapak adalah yang punya toko itu." jelas pemuda itu.
" baiklah mas, silahkan masuk dulu. Bapak tidurkan diatas alas ini aja mas." ajakku. Aku dan Kejora membantu kedua pemuda itu dalam membawa bapak kedalam rumah dan menidurkannya diatas tikar anyaman bambu.
" terima kasih mas sudah membantu membawa bapak ke pondok ini." sahutku sambil menundukkan kepalaku sebagai ucapan terima kasihku pada mereka.
" sama-sama dik, kalau begitu kami izin pamit dulu." balasnya lalu melangkah pergi dari hadapanku.
Aku tatap lekat wajah bapak yang sedang tertidur pulas. Ada rasa bersalah yang menggerogoti hatiku saat ini, apakah semua karena aku? Apakah sebegitu kerasnya bapak memikirkanku?. Kejora yang sibuk membersihkan luka diwajah bapak tampak menangis melihat bibir bapak kelihatan tidak normal seperti biasanya. Ketika itu, aku pun ikut kaget melihat bibir bapak yang seperti terkena stroke. Tidak mungkin!.
" kak, kita harus bawa bapak ke dokter kak. Ara takut terjadi apa-apa sama bapak." lirih Kejora memohon padaku.
" iya adek, cuma kita tunggu ibu dulu. Kayaknya ibu masih dibelakang pondok." balasku berusaha menenangkannya.
Beberapa menit kemudian ibu dengan bakul yang berisi sayur-sayuran yang dibawanya datang. Awalnya ibu tidak menyadari kedatangan bapak, namun ketika ibu ingin menemuiku ibu terkejut melihat bapak yang sedang berbaring lemas diatas anyaman bambu.
" Ya Allah bapak, apa yang terjadi.. kenap.." ucap ibu yang terpotong karena ibu begitu terpukul melihat kondisi bapak.
" siapa yang membawa bapakmu kemari nak?" tanya ibu dengan sendu.
" tadi ada dua orang pemuda kayaknya dari pasar dekat rumah ini bu, kata mereka bapak habis minuman miras dan berkelahi dengan salah satu pemuda disana." jelasku dengan tenang.
" Astaghfirullah, bapak... apa yang kau pikirkan pak! sampai yang haram pun kau lakukan." caci Ibu dalam tangisnya. aku mendudukkan kedua lututku agar sejajar dengan ibu dan mengusap punggungnya perlahan.
" ibu, lebih baik kita bawa bapak kerumah sakit saja terlebih dahulu." saranku.
" tapi, ibu tidak memiliki cukup uang nak untuk membiayai pengobatan bapak dirumah sakit." Jawab ibu sedikit memelas.
" tenang ibu, soal itu Rembulan akan cari jalan keluarnya yang terpenting sekarang kita bawa bapak kerumah sakit dulu." saranku.
" iya ibu, kak Ulan ada benarnya. kalau kita rawat bapak disini nanti tambah parah karena kita enggak tahu bapak sakit apa." sahut Kejora meyakinkan ibu.
Ibu hanya membalas dengan anggukan pelan. benar, ibu terlihat ragu untuk menyetujui pendapatku. Makanan sehari saja ibu dan bapak harus mengais dulu bagaimana dengan biaya rumah sakit yang tergolong mahal dan terkadang mempersulit kami yang hanya berasal dari kalangan bawah. Namun, kali ini bukan bapak atau ibu yang akan kerja banting tulang melainkan aku. Selama ini mereka sudah susah payah bekerja untuk mencari nafkah dan membahagiakanku walau dari hal-hal yang kecil dan sederhana, mungkin sudah waktunya bagiku untuk membalas semua kebaikan mereka.
Aku dan Kejora mempersiapkan beberapa perlengkapan yang diperlukan bapak nanti selama berada disana. sedangkan ibu pergi mencari bantuan ke tetangga sekitar. Dan selang lama setelah itu, bantuan pun didapatkan. Lelaki berparas tegap dengan tinggi sekitar 175 cm, berkulit sawo matang berhasil memikat tatapanku. Akan tetapi ada yang aneh, lelaki itu rasanya aku kenal tapi entah dimana aku bertemu dengannya.
Dengan sigap pemuda itu mengangkat tubuh bapak yang tampak lemah dan pucat dengan luka lebam disekujur rahangnya. Aku juga heran kenapa ada mobil sedan berwarna abu-abu didepan rumah ini. Ternyata itu adalah milik lelaki baik itu.
" kak, bukannya mas yang itu adalah mas yang menolong bapak kerumah tadi ya?" tanya Kejora sambil menunjuk kecil ke arah pemuda itu dan sama penasarannya denganku.
" iyakah dek? kakak aja lupa seperti apa wajah pemuda-pemuda yang nolong bapak tadi. tapi iya sih keduanya memang berbadan kekar gitu." balasku yang masih tampak mikir dan bingung.
" Kejora, Rembulan ayo masuk nak! " Ajak ibu melambaikan tangannya kepadaku dan Kejora.
Suasana didalam mobil cukup hening. Pemuda itu tidak mengeluarkan sepatah katapun selama diperjalanan. Ibu yang masih terlihat gusar, meremas tangan kiriku dengan kuat. "auh ibu!" rintihku.
" ya Allah nak, maafkan ibu.. ibu takut nak." ucap Ibu dengan tatapan sedihnya.
tampak pemuda itu melirikku dan Ibu dari kaca yang ada didalam mobil tersebut. Pemuda itu tersenyum ketika aku menyadari tatapannya dibalik kaca mobil. Aku menjadi salah tingkah dengan tatapannya. Kemudian, aku mengalihkan pandanganku ke arah jendela mobil untuk menghilangkan rasa grogiku ini.
" Bukan waktunya untukku saat ini untuk mengagumi seseorang, hidupku terlalu jauh untuk sekedar cinta-cintaan." ucapku bermonolog dalam hati.
***