POV Abrar
" Aku akan terus berjalan menapaki jalan yang terjal dan curam itulah resiko ketika aku ingin mengenalimu " - Abrar Rumanda-
" tumben tuh anak si Marni lari-lari dengan baju yang lusuh seperti itu." sahut salah seorang pembeli di tokoku yang melirik ke arah luar toko.
" eh iya, siapa nama anaknya, Rembul kan ya?" tanya pembeli yang lain.
" tau enggak sih, itu anak enggak tahu terimakasih banget jelas-jelas hidupnya dibawah pas-pasan tapi sekolahnya ditempat anak-anak kalangan atas semua."
terdengar olehku bagaimana para pembeli ditokoku ini begitu santai dan menikmati santapan daging saudaranya sendiri. Aku akui bila perempuan telah berkumpul disatu tempat, tidak lain dan tidak bukan yang ada hanyalah ghibahan semua. Terdesir hati ini ketika mereka menyebut salah satu nama yang tampaknya sangat asing dipendengaranku. Rembul? siapakah itu? lelaki atau perempuankah dia?.
para ibu-ibu itu semakin menjadi-jadi perghibahannya sehingga lupa dengan waktu shalat Asyar. Aku pun menutup tokoku dan menunaikan shalat Asyar di Masjid dekat pasar ini. Aku membiarkan perkumpulan ibu-ibu itu duduk santai didepan tokoku, karena disana aku juga menyediakan kursi dihalaman toko agar siapapun yang datang tidak hanya berbelanja, tetapi mereka juga bisa beristirahat sejenak.
" eh nak Abrar, mau shalat ke masjid ya?" sapa ibu paruh baya yang berbaju merah muda.
" iya bu, Abrar berangkat dulu ya bu." balasku dengan sopan.
" waduhh.. nak Abrar ini calon menantu idaman banget yaa, untung-untung pasangannya wanita yang sholehah juga." sahut ibu yang lainnya.
Aku melangkah pergi untuk menghindari banyak pujian dari ibu-ibu tadi. Aku hanya takut semakin banyak pujian yang kudapatkan, kesombonganlah yang berada dihadapanku nantinya. Na'udzubillahiminzalik.
Shalat Asyar telah kutunaikan dengan baik. Perasaan yang tadinya gusar kini telah kembali membaik. Namun, satu hal yang masih mengganjal dihati ini, tentang topik ibu-ibu tadi siang dan seseorang yang bernama Rembul. Siapakah gerangan orang yang bernama Rembul yang tinggal disekitar sini. Namanya unik, alhasil aku mencoba mencari tahu tentang pemilik nama Rembul itu.
Sudah kuduga, Ibu-ibu yang tadi masih duduk dipelantaran tokoku. Sepertinya sudah lain topik yang mereka bahas, kelihatan dari raut mereka yang sedang senang-senangnya. Apa tidak masalah jika aku bertanya tentang orang bernama Rembul kepada mereka?.
" Assalamu'alaikum bu," sapaku dengan pelan.
" wa'alaikumussalam calon menantu sholeh umi.. sudah pulang dari masjidnya ya nak." goda salah satu ibu disana.
" Kamu ya ren semua pemuda yang rajin shalat ke masjid, kamu bilang calon menantumu. Tanya dulu deh mau enggak dek Abrarnya sama anaknya ibu Ren." ucap ibu berjilbab dalam itu.
" hahaha... untuk saat ini Abrar belum mau mencari calon istri bu, karena Abrar masih nunggu kakak yang belum menikah." balasku dengan segan.
Para wanita paruh baya itu terdiam mendengar penjelasanku. Mungkin suatu hal yang tak terduga bagi mereka jika aku harus menolak tawaran dari Ibu Rena, yang dimana beliau dikenal dengan Ibu Tajir di daerah ini. Aku tidak tahu usaha ibu Rena apa, hanya saja yang kutahu hanyalah julukannya saja.
" hmm... maaf bu, saya mau bertanya tadi saya sempat mendengar perbincangan ibu-ibu dan menyebutkan salah satu nama, kalau enggak salah saya Rembul. Siapakah gerangan orang yang bernama Rembul ya bu ?" jelasku.
mereka semua pada saling tatapan dan aku menjadi aneh. Adakah pertanyaanku yang salah? atau memang benar dugaanku kalau dia adalah laki-laki.
" nak kalem-kalem gini kamu ternyata lucu juga ya," goda Ibu Rena.
" maksud ibu?" tanyaku.
" nama yang kamu sebutkan tadi itu salah, namanya yang benar itu Rembulan." Balas ibu Rena menjelaskan.
Aku hanya ber-oh ria saja. kemudian menggarukkan kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. Rasa canggung kembali menghampiriku, tatapan mereka begitu tajam mengingat aku yang tiba-tiba bertanya soal perempuan yang bernama Rembulan. Sudah dapat kupastikan pemilik nama itu adalah perempuan,bukan?
" ibu jadi curiga kenapa kamu bertanya soal gadis itu?" curiga Ibu Rena dengan tatapannya yang kilat dan tajam.
" ehh...ahmmm, itu bu Abrar cuma penasaran saja kenapa bisa ada nama orang yang namanya Rembul, gitu bu heheh." tuturku dengan sedikit gugup.
" ibu sarankan sama kamu ya nak Abrar, cari perempuan jangan seperti Rembulan itu. Ibu aja kasihan liat orangtuanya yang harus banting tulang mengais rezeki, eh liat kelakuan anaknya si Rembulan sekolah di swasta dan sekarang pulang acak-acakkan." Komentar Ibu Rena kembali dan yang lain hanya mengangguk tanda mengiyakan ucapan ibu Rena.
Aku mengangguk paham dan mencerna dengan baik perkataan dari Ibu Rena. Tersirat ada rasa iri yang kurasakan ketika bu Rena menyebut nama Rembulan. Kalaupun memang benar, kenapa ibu Rena harus iri dengan gadis itu bukankah dia tidak punya apa-apa sedangkan ibu Rena punya segala yang ia butuhkan.
Kemudian, aku membalas ucapan Ibu Rena dengan berkata," baik ibu Abrar tidak akan mendekati gadis itu jika perilakunya memang benar seperti itu, namun jika informasi yang ibu berikan salah berarti ibu telah memfitnah gadis malang yang tidak tahu apa-apa."
Semuanya terdiam dan menunduk, seolah ada rasa malu dalam diri mereka setelah mendengar ucapanku. Satu persatu dari ibu-ibu itu mulai pamit meninggalkan pelantaran tokoku. Mereka seakan kehabisan topik atau memang ucapanku sedikit menyinggung hati mereka. Aku tidak tahu.
" nak Abrar, soal Rembulan itu memang benar adanya. kalau tidak percaya silahkan cari tahu ke tetangganya. Rumahnya tidak jauh dari pasar ini di jalan Teduh seberang sana." sahut Ibu Rena sambil menunjukkan arah jalannya. Lalu Ibu Rena pun mengikuti ibu-ibu yang lainnya berlalu kemudian menghilang dari pandanganku.
**
Nama Rembulan seharian tadi terus menggema didalam benakku. Entah apa hal sebab hati ini ingin rasanya menelusuri pemilik nama unik ini. Bila ia bernama Rembulan, ia akan sebagai sesuatu yang diharapkan banyak orang. Ia akan menjadi seseorang yang mampu menyinari orang-orang sekitarnya dengan kebaikan, seharusnya begitu, bukan?
Sepertinya langit tahu dengan apa yang kupikirkan saat ini. Rembulan muncul dengan sedikit redup namun tampak jelas oleh penglihatanku. Aku duduk di pelantaran tokoku ketika malam itu, sunyi dan sedikit mencekam karena sesekali terdengar suara gonggongan anjing di salah satu ruko diujung sana. Harus mulai darimana bagiku untuk mencari informasi tentang gadis itu.
Terdengar suara langkah kaki yang tak beraturan. Sambil memainkan ponsel, kulirik kecil kearah sumber suara tersebut. Tampaknya suara langkah itu semakin mendekat dan semakin mendekat. Ditambah lagi dengan ceracau lelaki itu yang tidak jelas. Dari arah depan tokoku, lelaki tua yang tampak kumuh berjalan menuju tokoku dengan sempoyongan. Ada satu botol minuman keras yang saat itu ia genggam dengan erat.
Perlahan bapak itu mendekatiku, tidak lama kemudian lelaki paruh baya itu terjatuh dihadapanku lalu tergeletak tak sadarkan diri.
" pak!! astaghfirullah... tolong!" teriakku.
***