Chereads / Berteman dengan Luka / Chapter 5 - Hadiah dari rasa sabar

Chapter 5 - Hadiah dari rasa sabar

" terimakasih ya nak, sudah menolong kami mengantarkan bapak kerumah sakit. Maafkan kami karena sudah merepotkanmu, nak." sahut ibu yang tampak segan kepada pemuda itu.

" ibu tidak usah sungkan meminta bantuan kepada saya, selagi saya mampu InshaAllah akan saya tolong kok bu. Lagian tadi ditoko lagi tidak terlalu banyak pembeli yang datang." balasnya sambil menggarukkan kepalanya.

Ibu jalan bersamaan dengan pemuda yang belum kenali namanya itu. Mereka perlahan-lahan mendekatiku yang daritadi sibuk mengurus administrasi bapak, sedangkan Kejora saat ini di depan ruang ICU tempat bapak dirawat. Bapak didalam sana bersama para perawat dan dokter yang bertugas pada saat itu.

" maaf kak, untuk biaya pegobatannya itu membutuhkan biaya sekitar 10 juta ya kak. Yang dimana ini semua sudah termasuk dengan biaya inap kamarnya." ucap salah satu petugas resepsionis itu.

Aku membaca formulir itu dengan teliti, semahal inikah?. aku menggarukkan kepalaku yang tidak gatal.

Tuhan, bagaimana ini... 10 juta? Aku tidak memiliki uang secukup itu. Monologku dalam hati.

" kak, ini bisa dikurangi enggak kak?" tawarku.

" maaf kak itu sudah sesuai dengan prosedur rumah sakit ini, kecuali kakak ada enggak asuransi atau kartu bagi mereka yang tidak mampu. Mungkin bisa kita bantu." jawab petugas resepsionis dengan lugasnya.

Aku hanya menggeleng pelan, antara ingin teriak dan menangis bercampur aduk. Keputusasaanku sudah hampir menuju puncaknya. Kepalaku terasa pusing dan pundakku terasa berat. Aku pun meminta waktu kepada resepsionis untuk berpikir sebentar. Tidak kulihat ibu dan pemuda itu, kukira akan menemuiku dibagian administrasi ini ternyata mereka kemungkinan menuju ruang tempat bapak dirawat.

Salah satu jawabanku saat ini hanyalah shalat. Adzan untuk menyegerakan waktu zuhur telah berkumandang. Menuju rumahnya Allah, disanalah hatiku bisa kembali tenang. Aku langkahkan kakiku menuju suara adzan terdekat.

Pemuda itu? Ternyata ia yang mengumandangkan adzan barusan. Batinku.

Kulihat ia sedang menyegerakan shalat sunnah qabliyah zuhur. Ternyata dibalik caranya berpakaian seperti pemuda nakal, sebenarnya ia adalah seorang yang taat. Sungguh sempurna bila aku bisa mengenalinya dengan baik. Astaghfirullah ulan, apa yang kau pikirkan. Sadar!. monologku. Aku pun menyegerakan shalat zuhur berjamaah. Tidak kulihat Ibu dan Kejora disetiap shaf shalat. Mungkin setelah ini aku yang akan menjaga bapak disana.

Hatiku begitu pilu, Tuhan kemana disaat aku butuh diwaktu mendesak ini. Aku bingung harus bagaimana, jalanku terlalu buntu untuk mendapatkan uang sebanyak itu. Jika aku bekerja detik ini juga, tidak akan mungkin akan terkumpul sebanyak itu. Dalam keadaan shalat, aku masih berpikir tentang jalan keluar dari kesulitan ini.

" adek, kenapa?" tanya pemuda itu sepertinya mengikuti dari belakang daritadi.

" tidak kenapa-napa mas, ehe." balasku dengan malu-malu.

" lalu kenapa jalannya seperti orang putus asa ?" tanyanya sekali lagi.

"hmm... itu anu mas.. hmm gak ada mas hehe." jawabku kemudian aku berlari kecil meninggalkannya. Pemuda itu mungkin heran melihat tingkah aneh aku yang seperti itu.

" ya Allah, ulan lagi sedih ya Allah kenapa harus bertingkah memalukan dihadapanya tadi." monologku sambil melirik kesana kemari, takut pemuda itu akan muncul secara tiba-tiba lagi.

Aku menuju ke tempat resepsionis kembali mencoba untuk menawar kepadanya lagi. Berharap Allah akan menolongnya saat ini juga.

" kak, saya mau lihat formulir yang atas nama bapak Tarto." pintaku.

" baik kak.. ini kak.. sudah dibayar ya kak." jawab petugas itu.

" ha? Dibayar? Sama siapa kak?" tanyaku heran.

" bapak Abrar kak, katanya dia wali dari bapaknya kakak." balasnya.

" siapa itu bapak Abrar, baru dengar itu nama" kataku sambil memikir keras.

" baiklah kak, terima kasih ya kak untuk informasinya." tambahku.

Petugas itu mengangguk dan aku segera menuju ke ruang Bapak dirawat. Siapa itu bapak Abrar?, namanya sangatlah asing ditelingaku. Sejak kapan bapak memiliki teman yang dari namanya aja sudah bagus apalagi orangnya. Pikiranku saat ini dipenuhi dengan nama Abrar. Siapakah gerangan dikau, wahai Abrar?.

Lorong demi lorong kulewati, nama Abrar tetap saja menjadi hal utama bagiku saat ini. Aku ingin berterima kasih kepadanya, dan ini adalah hadiah dari rasa sabarku selama ini. Aku tidak menyangka, Tuhan sebaik itu padaku, ibu, bapak dan adikku Kejora. Dalam perjalananku menuju ruang bapak, tetesan air mata membulir serta membasahi pipiku. Mimpi apa aku semalam? Ini adalah sebuah keajaiban yang tidak pernah kulupakan sampai akhir nanti.

Kubuka pintu itu perlahan, tampak ibu, Kejora dan...

Pemuda itu masih berada disini. Aku kira dia sudah balik pulang ke tokonya, eh ngapain nyempil disini. Ibu kadang terlalu baik dengan orang yang baru dia kenal.

" ibu, maaf bolehkan Ulan minta waktu ibu sebentar." ucapku dengan santun.

Aku menggandeng tangan ibu sampai kepintu luar dibagian belakang kamar inap, yang disana terdapat rerumputan hijau dengan daun yang bermekaran. Sangat asri, seingatku.

" ibu tahu enggak siapa yang bayar rumah sakit bapak?" tanyaku dengan gregetnya.

" ya ibu tau nak." singkat ibu padaku.

" siapa bu? Ulan ingin berterimakasih padanya karena telah membantu kita."balasku semakin penasaran.

Ibu menunjuk ke arah kamar bapak. Spontan, aku langsung berpikir bahwa bapak Abrar itu adalah teman bapak.

" seriuskah ibu? Ibu tidak bercanda kan." tanyaku untuk meyakinkan diri ini.

" ya bu serius kok, nak Abrarlah yang bantu membayar administrasinya." jelas ibu padaku.

" tapi kan, kita baru kenal bu sama dia kenapa ibu menerima pertolongannya." sanggahku.

" bukan ibu yang minta, dia yang berikan dananya ke ibu dan ibu harus bagaimana nak?" ucap Ibu.

Aku langsung terdiam. Haruskah pemuda itu lagi? Aku tidak tahu harus bagaimana membalas budinya pada keluaragaku sendiri. Ibu lebih memilih meninggalkanku dan bergabung bersama Kejora, bapak dan mas Abrar. Aku duduk diluar karena sudah ketentuan untuk tidak disarankan terlalu banyak pengunjung untuk masuk kedalam kamar inap itu.

" dek, mas pamit dulu ya.." izinnya dengan suaranya yang ngebass tapi lembut. Aku yang tertidur dengan mendengar suaranya menjadikanku malas untuk buka mata.

" eh, mas Abrar.. oo iya mas silahkan. Hati-hati ya." balasku dengan senyuman indahku. Tampak pemuda itu cengengesan melihatku, ada yang salahkah?. Mas Abrar menunjukkan kepadaku melalui isyarat tangannya. Ternyata aku ileran. Mukaku kembali menjadi merah bagaikan kepiting rebus. Mas abrar setelah cukup dari cengengesannya perlahan berjalan menjauh dariku. Hampir saja aku lupa untuk mengucapkan terimakasih padanya. Aku pun mencarinya, tidak jauh dari kamar itu aku menemukannya yang masih terlihat berjalan santai dikoridor rumah sakit itu. Aku ngos-ngosan mencarinya ternyata yang dicari tampak tidak ada beban dalam hidupnya.

" mas... jangan pulang dulu." panggilku dari kejauhan.

Ia membalikkan badannya dan menatapku dengan senyuman kecilnya.

" mas, makasih ya sudah membantu meringankan biaya administrasinya. Mungkin tanpa pertolongan mas, aku sudah hampir putus asa.

Ia menaikkan alisnya sebelah, lalu berkata " kenapa berbicara seperti itu dek? Mas ikhlas menolong dan itu sudah Allah yang menggerakkan mas untuk datang kesini dan termasuk membayar administrasinya. Jadi mas mohon jangan merasa bersalah ke diri sendiri ya." nasehatnya padaku.

" tapi mas, aku ingin membalas kebaikan mas..." pintaku dengan yakin.

" serius?" ragunya.

" iya mas, ulan serius.. biarkan ulan membalas kebaikan mas ya. Tapi ulan bingung cara membalasnya seperti apa?" ucapku memperjelas.

" oke.. kalau gitu menikahlah denganku!" ucapnya dengan spontan.

***