"XAVIER KELUAR DARI KELAS GUE SEKARANG!"
Ariel berkacak pinggang di hadapan Xavier yang seenak jidat duduk di sebelah Caca. Padahal Ariel dan Caca sudah sepakat untuk makan bareng di kantin. Tapi gara-gara kedatangan Xavier, membuat Caca mau tidak mau menunda waktu istirahatnya.
"Lo ngapain ke sini sih? Mau ngapelin Caca? Nggak usah aneh-aneh deh, Xav. Kalian berdua itu enggak pacaran beneran. Jadi nggak usah sok ngapel-ngapelan segala," cerocos Ariel panjang lebar.
Karena Sandra sedang ada urusan di ruang guru, tidak ada yang bisa menghentikan kehebohan Ariel. Bahkan Caca pun tidak bisa menaklukkan suara cempreng temannya tersebut.
"Xavier budek apa gimana sih? Gue suruh keluar dari tadi kok nggak keluar-keluar sih!" kesal Ariel.
"Gue ada urusan bentar sama Caca," kata Xavier.
"Bentar apaan? Lo udah di sini selama lima menit tapi urusannya enggak kelar-kelar. Definisi sebentar menurut lo itu berapa lamaaa?"
"Sepuluh menit," kata Xavier lagi. "Lo keluar bentar biar gue bisa fokus ngobrol sama Caca."
Ariel menatap Xavier penuh selidik. "Beneran sepuluh menit apa enggak? Omongan lo kadang gabisa dipegang kok. Kalo sampe lo nggak serius—"
"Serius sayang," Xavier memaksakan bibirnya tersenyum di hadapan Ariel.
Kedua pipih Ariel tampak memerah seperti tomat. Berusaha keras untuk tidak berteriak di hadapan Xavier.
"Gue tunggu diluar. Awas kalo sampe lo bohong!" ancam Ariel kemudian bergegas keluar dari kelasnya.
Setelah memastikan kelas sepi dan hanya ada Xavier dan Caca, Xavier kembali menatap gadis yang sedang duduk tenang di hadapannya.
"Ngapain lihat-lihat? Suka lo sama gue?" tanya Caca merasa jengah dengan keberadaan Xavier.
"Nggak usah ngarep," kata Xavier.
"Namanya juga suka. Wajarlah kalo gue ngarep biar bisa disukai sama lo, lebih-lebih bisa jadi pacar," Caca melontarkan keluhannya pada Xavier.
"Bukan pacar boongan tapi," sambungnya lagi.
"Kenapa? Nggak suka jadi pacar boongan gue?" tanya Xavier seolah benar-benar tidak tahu.
"Jelas enggak lah," sahut Caca cepat. "Mending mencintai sendirian daripada jadi pacar settingan. Nggak ada faedahnya juga buat gue."
"Ada lah," ujar Xavier membuat Caca mengernyit. "Ada apanya maksud lo?"
"Lo bisa satu langkah lebih dekat sama gue. Harusnya lo bersyukur," ucap Xavier percaya diri.
"Iya bersyukur karena bisa deket sama lo. Tapi sakit tau hati gue pas inget kalo besok lo bakal ngebuang gue tanpa perasaan," ujar Caca tidak sepenuhnya setuju dengan ucapan Xavier.
"Kapan gue bilang mau ngebuang lo?" tanya Xavier seolah menantang.
"Kalo nyokap lo udah ngerestuin hubungan lo sama Reva, pasti bakal lupa sama gue, kan? Bakal ninggalin gue gitu aja, kan? Iya apa iya?" papar Caca merasa sesak di dadanya.
"Nething mulu otak lo," Xavier mendorong pelan dahi Caca dengan telunjukknya.
"Pikirin yang sekarang lagi lo hadapi, yang belum pasti-pasti nggak usah terlalu lo buat pusing. Tuhan udah buat scenario terbaik buat lo. Jadi nggak usah lo ubah-ubah dengan pikiran dangkal lo itu."
Caca tampak mengerjapkan matanya beberapa kali. Merasa aneh karena akhir-akhir ini Xavier sering berbicara panjang lebar kepadanya. Ah, mungkin Xavier hanya ingin tebar pesona saja dan sengaja membuat Caca baper.
"Lima menit udah lewat. Dan gue belum jadi ngomong serius tapi justru ngeladenin ocehan lo yang nggak penting," ujar Xavier terdengar menyalahkan Caca.
"Salah lo sendiri pake ngeladenin, orang gue-nya aja nggak minta kok," sungut Caca tidak mau kalah dengan Xavier.
"Makanya lo kalo mau ngomong itu to the point aja. Jangan banyak basa-basi. Tinggal bilang lo mau ketemu gue soalnya mau bilang—"
"Pindah kelas bareng gue," kata Xavier menatap lurus kedua manik hitam milik Caca.
"Ogah!" tolak Caca mentah-mentah.
"Bandel banget sih jadi cewek," heran Xavier. "Lo lupa sama omongan gue semalem? Lo harus mau pindah kelas gue tanpa bantahan."
"Dan apa lo juga lupa sama jawaban gue semalem?" tanya Caca pada Xavier. "Gue nggak mau dan nggak akan pernah mau pindah kelas. Apalagi harus sekelas sama lo."
"Kenapa?"
"Kenapa apanya? Lo kok hobi banget nanya setengah-setengah kayak gitu sih. Bingungin orang tau nggak?!" kesal Caca dengan pertanyaan Xavier.
"Kenapa nggak mau sekelas sama gue?" Xavier mencoba mengulur kesabarannya menghadapi Caca.
"Karena gue nggak mau tiap hari baper ngelihat lo," jawab Caca tanpa tau benar tidaknya.
"Gue masih sayang sama jantung gue kali. Kalo harus dugem tiap hari, emang lo mau tanggung jawab misal gue jantungan?"
Xavier terkekeh pelan mendengar celotehan Caca yang menurutnya lucu. Gadis di hadapannya ini terlihat sangat menggebu-gebu ketika membicarakan tentangnya. Baru kali ini Xavier melihat ada gadis yang menyukainya, namun tidak malu-malu berhadapan dengannya.
"Pengin banget gue tanggung jawabin?" tanya Xavier membuat satu alis Caca terangkat.
"Gue bahkan belum ngapa-ngapain lo. Gimana ceritanya gue suruh tanggung jawab? Atau emang lo yang ngarep buat gue apa-apain?"
Pletak!
Caca sengaja menimpuk kepala Xavier dengan buku LKS yang ada di atas mejanya. Membuat Xavier otomatis mengaduh karena ulahnya.
"Ngeres banget otak lo," ujar Caca. "Kelamaan nggak nempel sama Reva ngebuat otak lo jadi suram kayak gini kok."
"Nggak ada hubungannya sama Reva," sahut Xavier sambil mengelus kepalanya.
"Terus hubungannya sama siapaaa?"
"Sama elo lah," jawab Xavier tanpa pikir panjang.
"Ada juga otak gue ngeres karena kelamaan gaul sama lo," ucapan Xavier membuat Caca semakin ingin mengusir laki-laki tersebut dari hadapannya saat ini.
"Gue nggak pernah nyuruh lo buat bergaul sama gue," kata Caca.
"Tapi gue butuh lo."
"Iya emang karena lagi butuh. Kalo udah enggak juga bakalan dibuang kan? Udah paham gue sama tak tik yang lagi lo susun," ucap Caca terlihat memalingkan wajahnya dari Xavier.
Jujur. Xavier sangat benci mendengar Caca mengatakan jika ia akan membuang gadis tersebut begitu saja. Kesannya, Xavier seperti laki-laki kejam yang hanya mendekati Caca karena adanya pamrih.
"Okee. Terserah lo mau nganggap gue kayak gimana. Yang jelas mulai besok lo harus pindah kelas sama gue," putus Xavier.
"Nggak mau. Capek tau nggak mulut gue ngomong kayak gitu daritadi. Dibilang nggak mau ya nggak mau," kesal Caca karena Xavier terus saja memaksanya.
"Bandel banget sih dibilangin. Apa susahnya buat nurut sama gue?"
"Emang lo siapanya gue?" tanya Caca. "Nggak ada kewajibannya buat gue nurutin perintah dari lo. Sadar woy sadar! Kita itu nggak ada hubungan apa-apa."
"Ada," kata Xavier. "Lo lupa kalo kita—"
"Pacar settingan? Cuma settingan aja, Sap. Nggak bener-bener pacaran. Lo sendiri juga nggak suka sama gue," Caca kembali menekankan pada Xavier tentang hubungan keduanya.
"Satu hal yang perlu lo inget," kata Caca yang sudah berdiri dari duduknya sambil menatap serius ke arah Xavier.
"Jangan maksa-maksa gue selama lo masih suka sama Reva dan belum ada perasaan ke gue. Paham?"
Caca tersenyum singkat sebelum ia beranjak pergi meninggalkan Xavier. Membiarkan laki-laki tersebut intropeksi diri dan tidak berbuat seenak jidat padanya.
"Barusan gue terlalu kasar nggak sih sama dia? Kok muka Xavier kelihatan sedih gitu?" batin Caca saat ia sudah berada di luar kelas.
"Alah bodo amat deh. Sekali kali gue marahin Xavier nggak ngebuat dosa besar kan ya? Udah Caaa udahh, nggak usah lo pikirin dulu cinta buta lo itu. Mending samperin Ariel buat isi perut yang udah keroncongan!" Caca semakin mempecepat langkahnya menuju kantin sebelum jam istirahat untuknya selesai.
***