"Astaghfirullah! Kenapa pada hobi banget buat story sama cogan sih? Nggak berperikemanusiaan banget sama kaum jomblo kayak gue!"
Ariel yang tidak sengaja melihat unggahan teman-teman sekolahnya yang berisi foto dengan sang pacar, selalu membuat Ariel berteriak histeris.
"Iya bener. Iman gue lemah banget kalo lihat yang uwu uwu. Jadi iri dengki dong gue," keluh Caca ikut menanggapi.
"Ya kali gue harus oplas biar cantik terus bisa dapat cogan gitu," kata Ariel.
"Pindah ke Korea yuk, Riel. Kali aja kita dapat oppa-oppa ganteng!" ajak Caca penuh semangat.
"Punya temen dua, gila semua," sindir Sandra menatap Caca dan Ariel secara bergantian.
"Sandra sirik aja deh. Udah taken sama Romeo pasti nih, makanya suombong," ujar Ariel menatap selidik ke arah Sandra.
"Serius lo udah pacaran sama Romeo?" tanya Caca memastikan.
"Jangan percaya omongan Ariel," Sandra menggeleng pelan.
"Ih, lo mah aneh San. Ditaksir sama cogan kayak Romeo kok dianggurin," heran Caca.
"Iya loh. Beda sama kita berdua. Suka sama cowok tapi cowoknya engga suka sama kita. Iya nggak, Ca?"
Caca mengangguk. "Penasaran gue tuh. Gimana rasanya diperjuangin sama cowok yang suka sama gue."
"Lo tanya sama Noah," kata Sandra tanpa pikir panjang.
"Nggak tega mau tanya sama dia," jawab Caca.
"Kadang gue suka kesel juga kalo lihat Caca nyuekin Noah. Maksud gue, tau kalo Caca enggak suka sama Noah tapi Noah masih suka sama Caca. Kasihan gitu kalo ngebayangin perasaannya Noah," tutur Ariel.
"Bukannya lo seneng?" tanya Sandra. "Kalo Caca suka sama Noah, lo udah nggak ada harapan buat jadian sama Noah."
"Nah itu dia, gue mah lebih sering bersyukurnya kalo inget Caca masih suka sama Xavier. Itu artinya Noah masih available buat gue perjuangkan!" seru Ariel tersenyum sumringah.
"Gue ikut seneng kalo Noah sama lo, jadi nggak khawatir dia jatuh ke tangan cewek yang nggak bener," sahut Caca tampak serius.
Mau bagaimana pun juga Noah adalah salah satu orang yang paling dekat dengan Caca. Mereka berdua sudah dekat dalam waktu yang lama. Perhatian yang selama ini diberikan Noah, membuat Caca merasa berhutang budi padanya.
"Soal Reva, udah ada perkembangan?" tanya Sandra mengalihkan topik pembicaraan.
"Masih gue pantau. Dibantu sama temen-temennya Serena," jawab Caca.
"Kenapa nggak langsung lo labrak aja si Reva?" tanya Ariel.
"Resikonya terlalu berbahaya. Lagi pula, gue belum punya bukti yang kuat," sahut Caca memberi penjelasan.
Yang jelas, tugas Caca saat ini adalah membujuk Reva untuk mengaku di hadapan mamanya Xavier. Hanya saja, sepertinya ada yang sengaja Reva sembunyikan. Reva pati memiliki alasan kuat kenapa ia tidak mau terbuka tentang kondisi keluarganya.
***
Reva: aku tunggu di parkiran ya
Xavier menatap layar ponselnya cukup lama. Terlihat bingung dan juga ragu untuk membalas pesan dari Reva. Padahal, biasanya Xavier akan lekas tanggap jika menyangkut segala hal yang berkaitan dengan Reva.
"Mau kencan apa gimana? Lama amat mikirnya," heran Romeo secara tidak sengaja membaca pesan dari Reva.
"Bukan," jawab Xavier. "Dia minta anterin beli barang-barang keperluan panti."
Romeo mengangguk paham. Kembali memasukkan piscok gratisan ke dalam mulutnya.
"Kenapa masih mikir?" kini giliran Noah yang bertanya.
"Tinggal jawab iya kok susah," imbuh Romeo.
Harusnya memang seperti itu. Tapi Xavier merasa berat untuk mengatakan iya.
"Oh ya! Gue kelupaan ambil kembalian di kantin!" seru Romeo heboh lalu bergegas keluar dari kelas.
Saat hanya ada Xavier dan Noah di dalam kelas, keduanya mulai membahas topik lain.
"Mau nagih jawaban dari gue?" tanya Xavier sebelum Noah bersuara.
"Enggak," jawab Noah sembari duduk di bangkunya.
"Dari muka lo, gue yakin kalo lo punya cara tersendiri buat ngadepin Edwin," sambungnya.
Xavier mengangguk. Setelah semalam ia renungnya, Xavier memutuskan untuk tidak bergabung dengan geng yang diketui Noah. Xavier ingin mengatasi masalahnya dengan caranya sendiri.
"Gue tetep bakal bantu meskipun lo nggak nerima tawaran gue. Selagi Edwin masih gangguin Caca, gue nggak bakal bisa tinggal diam," ujar Noah terlihat serius dengan ucapannya.
Aneh rasanya ketika mendengar Noah begitu memperhatikan Caca. Baiklah, Xavier ingat dengan cerita dari Romeo. Kalau Noah memiliki perasaan lebih pada Caca.
Tapi … yang sekarang Xavier rasakan adalah: ia tiba-tiba tidak suka dengan sikap Noah yang terlalu mengkhawatirkan Caca.
"Sebegitu cintanya lo sama Caca?" tanya Xavier membuat Noah menoleh.
"Sebanding sama cintanya Caca ke elo," balas Noah santai.
Xavier tidak berpikir jika Noah akan secepat ini terbuka mengenai perasaannya dengan Caca.
"Lo beneran suka sama Caca?" tanya Xavier memastikan.
"Mau bukti?" Noah balik bertanya.
Xavier terdiam di tempatnya. Sudah jelas jika Noah memang menyukai Caca. Teman Xavier yang satu tidak benar-benar tidak pandai berbasa-basi.
"Makanya, jangan berani macem-macem sama Caca," peringat Noah tegas.
Mendengarnya membuat Xavier terkekeh. "Gue nggak sekeji itu jadi cowok."
"Sekedar memastikan. Apa yang lo lakuin ke Caca sekarang, bakal ngebuat dia sakit hati nantinya," Noah kembali berujar.
Lagi. Xavier teringat dengan ucapan Caca padanya. Ketika Caca menegaskan jika dirinya hanya akan dibuang oleh Xavier, membuat hatinya terasa sakit. Seolah Xavier adalah sosok laki-laki kejam yang hanya memanfaatkan Caca.
"Caca itu cewek baik-baik. Harus dapat cowok yang baik-baik juga," kata Noah.
"Mau bilang kalo gue bukan cowok baik?"
"Mau bilang, emang lo suka sama Caca? Mau jadi cowok yang memiliki Caca?"
Noah sengaja menjebak Xavier supaya Xavier bisa jujur dengan perasaannya. Tidak lagi terbawa-bawa dengan perasaan masa lalu yang justru menyulitkan Xavier sendiri.
"Bales dulu chat dari Reva. Biar cewek lo nggak kelamaan nunggu," Noah menunjuk ke arah ponsel Xavier.
Hampir saja Xavier melupakan pesan yang dikirim Reva. Ia kembali membaca pesan dari Reva, dan memikirkan jawaban yang akan ia berikan. Sampai pada hitungan kelima, Xavier mulai mengetikkan balasan pesan untuk Reva.
Xavier: aku udh ada janji sama temen.
***
Kringggg!
Seluruh siswa tampak bersorak saat bel pulang sekolah berbunyi. Satu keinginan dari banyak siswa yang selalu dinanti-nanti saat sekolah. Ya, pulang sekolah lebih awal sudah menjadi kebahagian besar bagi sebagian siswa.
"Jadi pulang ke rumah nyokap lo, Ca?" tanya Ariel sambil memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.
"Jadi. Kenapa? Mau ikut?" Caca balik bertanya.
"Kapan-kapan deh gue ikut. Lagi ada urusan di rumah," jawab Ariel.
"Tumben lo nolak? Biasanya lo semangat banget kalo denger Caca nawarin kayak tadi," heran Sandra.
"Mau ketemu sama doi pasti. Sok-sokan bilang urusan penting segala," tebak Caca disertai kekehan.
"Doi doi apaan coba? Doi gue aja masih demen sama lo, Caca" kata Ariel.
"Dibuat demen sama lo dong. Kan elo pinter buat narik perhatian cowok," balas Caca.
"Tapi hal itu nggak berlaku buat Noah," ujar Ariel tampak lesu.
"Pake jasa biro jodoh aja, Riel" Sandra melirik ke arah Caca.
"Udah nggak mempan. Entar yang ada Noah tambah klepek-klepek sama Caca," wajah Ariel semakinn tertekuk.
"Yang semangat dong! Noah masih available loh, perjuangkan, Riel!" seru Caca menyemangati Ariel.
"Yoi yoi! Lo juga semangat buat merjuangin Xavier, Ca. Biar gue punya temen gitu," balas Ariel tak kalah semangat.
Caca mengangguk mantab. Sandra yang melihatnya hanya bisa menggelengkan kepalanya. Sudah tidak heran dengan sikap kedua temannya.
"Jadi pulang apa nggak?" tanya Sandra.
"Jadi dong!" jawab Caca dan Ariel serempak.
"Ya ayo buruan. Malah ngerumpi mulu," ucap Sandra yang sudah lebih dulu berjalan keluar kelas.
Caca dan Ariel yang melihatnya pun mengikuti Sandra. Bersama dengan teman-teman lain yang juga akan keluar dari kelas untuk pulang ke rumah masing-masing.
Sampai di depan kelas, Caca dan kedua temannya dikagetkan dengan keberadaan Xavier. Tidak-tidak. Terlalu lebay jika dikatakan kaget. Mereka hanya merasa aneh mengapa Xavier duduk di depan kelas mereka?
"San, mending kita pulang duluan deh," Ariel merangkul lengan Sandra.
"Iya. Gue nggak mau ikut-ikut urusan rumah tangga," sahut Sandra lalu segera mengikuti Ariel yang sudah menariknya menjauhi kelas.
"Punya temen nggak ada yang bener semua," gerutu Caca.
Sadar jika dirinya sejak tadi diperhatikan oleh Xavier, membuat Caca merasa tidak nyaman.
"Udah?" tanya Xavier yang sudah berdiri di hadapan Caca.
"Udah apanya?" tanya Caca polos.
"Masih ada urusan lagi apa nggak?" tanya Xavier sesabar mungkin.
Caca menggeleng pelan. Membuat Xavier tersenyum singkat melihat tingkah polos Caca.
"Ayo," satu tangan Xavier menggengam tangan kiri Caca.
Hal tersebut tentu membuat Caca terkejut bukan main. Sumpah! Caca tidak peduli jika ia dikatakan alay. Tapi … bagaimana mungkin Caca tidak kaget jika tangannya digenggam lembut oleh laki-laki yang sudah lama Caca sukai.
"Tunggu," Caca menghentikan langkah Xavier.
Caca harus bisa mengontrol emosinya. Ia tidak boleh terbawa perasaan hanya karena Xavier menggenggam tangannya. Ya. Kondisi hati Caca akan menjadi taruhan jika Caca berharap terlalu banyak.
"Gue bisa pulang sendiri," kata Caca tanpa menatap ke arah Xavier.
"Tapi gue enggak," balas Xavier seketika membuat Caca mendongak.
Menatap wajah tampan Xavier yang naasnya juga sedang menatapnya. Benar-benar tidak baik untuk kondisi jantung Caca. Bisa parah jika Xavier mendengar degupan jantungnya yang sangat cepat.
"Reva pasti udah nungguin lo di parkiran. Mending lo pulang bareng--"
"Lo." kata Xavier memotong ucapan Caca.
"Gue mau pulang sama lo."
Tunggu sebentar. Apakah Caca tidak salah denger? Xavier … ingin pulang bersamanya?
"Lama," Xavier berdecak pelan lalu kembali menarik tangan Caca untuk mengikutinya.
"Gue nggak bisa, Xav" Caca kembali menghentikan langkah Xavier.
Membuat Xavier harus mengulur kesabarannya. Tidak biasanya Xavier mau meladeni orang-orang yang menunda aktivitasnya.
"Kasih gue alasan," kata Xavier dengan satu tangan yang masih menggenggam tangan Caca.
Sesaat Caca terdiam. Memikirkan alasan logis yang bisa membuat Xavier percaya.
"Ah iya! Gue kelupaan kalo ada eskul," cetus Caca berusaha menyembunyikan kegugupannya.
"Gue tunggu."
"Habis eskul masih ada kerja kelompok."
"Gue tunggu."
"Harus jemput ibu gue juga."
"Gue ikut."
"Habis itu ada …."
"Apalagi?" tanya Xavier menatap lurus ke arah Caca.
"Ha?" Caca melongo. Sudah kehabisan kata-kata.
Xavier tersenyum singkat. "Apalagi alasan palsu yang mau kasih ke gue?"
Sial! Bagaimana bisa Caca memberikan alasan bodoh tadi pada Xavier. Sia-sia saja usaha Caca kali ini.
"Xaav," Caca berujar dengan suara pelan.
"Nggak mempan."
Tidak menghiraukan tatapan memohon yang diperlihatkan oleh Caca, Xavier kembali menarik tangan Caca untuk mengikutinya.
"Lo nggak pinter bohong, Ca. Dan jangan coba-coba buat bohongi gue."
***