"Yah tolong, aku gak mau!"
"Ayah, aku bisa cari uang dengan cara lain asal tidak dengan cara ini."
"Ayah, aku mohon. Aku akan bekerja lebih giat lagi, aku janji."
"Yah, tolong! Aku janji seminggu. Berikan aku waktu seminggu maka akan aku bawakan uang untuk membayar semua hutang yang Ayah punya. Tapi demi Tuhan, tolong jangan lakukan ini padaku. Aku masih mau--"
"Tutup mulutmu itu! Aku tidak perlu omong kosong lagi. Jika aku bisa mendapat uang itu sekarang, lalu kenapa aku harus menunggu satu minggu lagi, hah?!"
Clarisa menatap Abraham dengan tatapan memelas, mencoba memohon pada pria itu agar tidak jadi menjalankan niatnya.
Sudah berulang kali Clarisa memohon, ia juga sempat memberontak pada Abraham, ingin melarikan diri tapi tak juga berhasil. Tenaga Abraham jauh lebih kuat dari pada dirinya.
"Ayah aku mohon, aku hanya mau bekerja dengan cara yang benar. Aku janji, aku akan memberikan apa saja yang Ayah mau asal aku--"
"Berhenti bicara!" Abraham berhenti melangkah, makin menarik tangan Clarisa kemudian menekannya kuat hingga Clarisa yakin jika pergelangan tangannya pasti sudah memerah. "Kamu hanya perlu diam dan menurut dengan Tuan-mu. Setelah itu, cetak uang sebanyak mungkin. Bila perlu, buat Tuan-mu nanti bertekuk lutut atas kuasamu hingga dia tidak akan pernah menolak memberimu uang. Kamu mengerti?"
Clarisa menggeleng, ia terus mencoba memutar tangannya yang ada di genggaman Abraham. Tapi lagi-lagi gagal. Sekuat apa ia mencoba kabur, sekuat itu juga Abraham menggenggam tangannya.
"Ayah, tolong," lirih Clarisa yang Abraham abaikan. Abraham lebih memilih untuk menekan bel pada pintu apartemen yang menjadi tempat transaksi dirinya bersama pria yang akan membeli Clarisa.
Setelah menunggu beberapa saat sambil menahan Clarisa agar tidak pergi, akhirnya Abraham bisa tersenyum lebar. Selangkah lagi niatnya tercapai. Hutangnya akan lunas, ditambah ia akan mendapat sisa uang dari hasil menjual putri semata wayangnya. Tepat saat pintu terbuka dan menampilkan satu pria muda dengan pakaian rapi, Abraham segera membungkuk hormat.
"Selamat malam, Tuan."
Pria muda itu mengangguk, ia melirik Abraham juga Clarisa bergantian, membuat Clarisa menarik diri. Ia berusaha sembunyi di balik punggung Abraham tapi gagal karna Abraham menahannya.
"Jangan sembunyi," bisik Abraham marah. Nyali Clarisa seketika menciut, apa lagi saat tangan besar Abraham menekan kuat lengannya.
"Ah ssshh.." ringis Clarisa lirih, membuat pria di hadapannya menaikan alis melihat perlakuan Abraham pada Clarisa.
"Tuan sudah menunggu di dalam. Kalian bisa langsung masuk," kata pria muda itu pada Abraham. Dan dengan senang hati juga Abraham menyanggupi. Ia pun tersenyum sopan, menarik Clarisa yang masih kekeh berdiam diri tak mau berjalan.
"Jangan paksa aku melakukan hal kasar padamu di sini, Clarisa."
Clarisa sedikit mendongak, menatap Abraham yang makin murka menatapnya. Dengan setengah hati dan air mata yang kembali ingin melesak keluar, Clarisa akhirnya mengikuti langkah Abraham masuk ke dalam apartemen mewah tersebut. Langkah Clarisa yang terseok-seok tidak membuat Abraham kesulitan, bahkan membuat pria itu makin kasar menariknya masuk.
"Menurut Clarisa, atau setelah ini kamu akan makin ku siksa!" bisik Abraham pada Clarisa yang betah menunduk. Satu tangannya sibuk meremas ujung gaun yang ia pakai. Sungguh, di dalam hati Clarisa tidak berhenti berdoa. Berharap semua ini hanya mimpi, atau paling tidak, ia bisa melarikan diri dari semua ini.
"Silahkan duduk, Tuan Muda masih menerima telepon. Ia akan datang setelah menerima telepon nanti."
Lagi-lagi Abraham mengangguk pelan, mengulas senyum ramah yang teramat memuakan untuk Clarisa. Wanita itu mencoba untuk mencari cela kabur, memperhatikan setiap detail yang ada di apartemen ini.
Hingga suara sepatu yang bertabrakan dengan lantai terdengar, berhasil menarik Clarisa dari lamunannya akan tempat mewah ini.
Dan saat Clarisa mengalihkan pandangannya, manik mata indah Clarisa menangkap samudra gelap dari manik dingin pria muda berpakaian rapi lainnya. Seketika itu Clarisa kembali menunduk, tidak berani menatap pria itu yang terlihat tidak tersentuh sama sekali.
"Tuan Muda datang, anda bisa menyelesaikan apa yang harus diselesaikan," kata pria yang pertama. Abraham mengangguk, bersiap untuk bicara tapi sudah lebih dulu di potong.
"Satu milyar tanpa gangguan apa pun lagi. Anda tidak boleh menemuinya, mau itu sengaja atau tidak."
Abraham yang baru mendengar penawaran untuk Clarisa sebesar 1 milyar saja langsung tertarik. Abraham pikir awalnya ia hanya akan menjual Clarisa diharga 500 juta, mengingat ia hanya butuh membayar hutang sebanyak 100 juta saja.
"Deal, saya serahkan dia untuk anda," jawab Abraham tanpa ragu, membuat Clarisa menoleh cepat dan menahan lengan Abraham.
"Yah!"
"Diam! Kau miliknya sekarang, dan mulai hari ini, jangan panggil aku Ayah lagi!" kata Abraham begitu menyakitkan.
Abraham tidak lagi memperdulikan Clarisa. Setelah ia mendapat cek senilai 1 milyar untuknya atas Clarisa, Abraham pergi begitu saja. Ia bahkan tetap bisa tertawa saat Clarisa menahan satu kakinya, memohon agar tidak ditinggalkan atau mengurungkan niatnya menjual dirinya.
Tapi semua usaha Clarisa sia-sia. Tidak ada yang perduli, bahkan pria yang sudah membelinya hanya duduk di sofa panjang yang tadi ia duduki. Menonton drama antara Clarisa dan Abraham sambil melepas dasi yang melilit lehernya. Hingga saat Abraham berhasil keluar dari apartemen mewah itu, pria muda yang pertama tadi segera menutup pintu, menguncinya dan menatap Clarisa prihatin.
"Nona, sudahi tangisanmu. Kini saatnya kamu mendengar peraturan apa saja yang harus kamu jalani saat menjadi pelayan dari Tuan Jovan."
Tangis Clarisa seketika berhenti, ia mendongak, menatap pria yang tadi membukakan pintu untuknya dan Abraham dengan tatapan nyalang.
"Pelayan?"
Pria itu mengangguk, berniat menjawab tapi terhenti saat suara lain lebih dulu terdengar. Dan hal itu membuat Clarisa juga pria tadi menoleh pada sumber suara.
"Biarkan dia mengeluarkan amarahnya lebih dulu. Gadis yang dijual oleh Ayahnya selalu memiliki emosi yang berlebih, berbeda dengan dia yang datang sendiri padaku dan rela menjadi apa saja yang aku mau."
Pria yang disebut Tuan Muda itu pun bangkit, melangkah mendekati Clarisa yang masih betah duduk di lantai dekat pintu utama apartemen. Ia menarik sudut bibirnya hingga terbentuk senyum miring, kemudian menarik ujung dagu Clarisa dengan tangannya hingga mau tidak mau tatapan keduanya pun beradu.
"Aku berikan kamu waktu satu hari satu malam, dan setelah itu kita bertemu lagi. Bukan di sini, tapi di Mansion-ku."
Pria itu melepas cengkramannya pada dagu Clarisa kemudian menatap pria satunya lagi. "Aku mau kamu siapkan dia, beri tau apa yang aku suka dan tidak, apa saja yang harus dia lakukan dan tidak boleh dia lakukan. Dan ingat, aku tidak suka dibantah, maka dia juga tidak boleh membantah. Aku percaya kamu bisa melakukan itu seperti sebelumnya."
"Saya paham, Tuan."
"Bagus, saya akan pergi lebih dulu. Dan untuk kamu, hal pertama yang boleh kamu tau adalah, namaku ...Jovan Alexander. Ingat nama itu selalu, karna saat aku menginginkan kamu, nama itu yang harus kau sebut disetiap nikmat yang ku beri," kata pria tampan bernama Jovan yang sudah membelinya. Meski tampan, Clarisa bahkan tidak berharap diperlakukan seperti ini. Terlalu menjijikan.
Clarisa membuang muka, tapi bukannya membuat Jovan marah, tingkah Clarisa malah mengundang rasa penasaran pada pria itu untuk Clarisa. Jika saja Jovan tidak ada keperluan, maka saat ini juga Jovan akan menuntaskan keinginannya pada Clarisa.
"Jaga dia dengan baik, Karim."
Clarisa menatap kepergian Jovan, ia mendengkus saat pria itu sudah benar-benar pergi. Tubuhnya kembali luruh, dengan punggung bersandar pada dinding ia menatap pria pertama tadi yang ternyata bernama Karim.
"Apa kau juga akan meniduriku? Apa kau yang akan tidur dengan ku lebih dulu?" tanya Clarisa yang tidak di jawab Karim, pria itu malah memilih pergi, yang kemudian kembali lagi dengan satu buku tebal di tangannya.
"Baca ini, pelajari dan ingat. Semua yang tertulis di sana atas keinginan Tuan Muda Jovan. Jadi tolong ikuti jika kau tidak mau menerima hukuman darinya nanti."
"Jika aku tidak mau?"
"Hanya Tuhan yang tau, apa yang Tuan Muda Jovan akan lakukan padamu, Nona Clarisa."
Setelah penjelasan singkat yang masih belum Clarisa pahami, Karim pun juga pergi dari sana. Baru saja Clarisa ingin ikut pergi dengan membuka pintu utama Apartemen, ia harus menerima jika keinginannya untuk kabur tidak bisa terjadi.
Pintu itu, dikunci dari luar.
"Sialan!" umpat Clarisa kembali jatuh ke lantai dengan kedua lutut ditekuk dan menenggelamkan kepalanya diantara dua lututnya kemudian menangis pelan.
Bersambung...