Jovan menghela napas panjang, menatap Clarisa yang kini sudah terkapar di atas ranjangnya bersama Moza yang sedang membantu Clarisa untuk berganti pakaian.
"Jangan pakaikan itu padanya, gunakan yang ini saja."
Jovan menunjuk pakaian lain yang harusnya tidak Clarisa pakai. Wanita itu benar-benar. Jovan pikir, Clarisa bisa tahan dengan alkohol. Tapi tebakkannya meleset. Tidak selalu wanita keras dan tangguh tahan terhadap serangan alkohol ternyata.
"Baik, Tuan."
"Hm," jawab Jovan bergumam. Setelah meminta Moza untuk mengurus Clarisa yang terus meracau, kini Jovan menatap Karim tajam. Hanya dengan lirikan mata saja, Karim paham apa yang Jovan maksudkan padanya.
Segera Karim menyusul Jovan ketika pria itu keluar kamar yang ditempati Clarisa. Dengan langkah pasti Jovan memasuki salah satu ruangan yang dirinya khususkan untuk tempat bekerja dari rumah.
Setelah mendengar suara pintu tertutup yang bisa dipastikan jika itu dilakukan Karim, Jovan pun memulai pembicaraan keduanya.
"Kenapa kamu bisa tidak tau?"
Karim menatap punggung tegap Jovan. Salah satu kebiasaan Jovan jika marah atau kesal, pria itu tidak akan menatap lawan bicaranya.
"Maaf, saya pikir jika Clarisa terbiasa dengan alkohol. Sejauh yang saya tau, info terakhir dia bekerja di salah satu bar ternama di pinggir kota."
"Dan hanya berdasarkan info itu kamu menyimpulkan jika dia bisa menenggak alkohol, Karim?" tanya Jovan lagi yang benar-benar terdengar marah.
Jovan jarang sekali kesal, tapi sekalinya ia marah, maka tidak akan ada yang bisa menghentikan kemarahannya. Kecuali, dirinya sendiri.
"Maaf Tuan, ini salah saya."
"Memang salah kamu, lalu kamu pikir itu salah saya?"
"Tidak Tuan."
Jovan menghela napas. Malam ini padahal Jovan ingin tau banyak soal Clarisa. Tentang hidupnya dan alasan kenapa wanita itu sampai dijual.
Setau Jovan dari sedikit info yang ia dapat, Clarisa bukan wanita bayaran. Meski bekerja di Bar, Clarisa tidak pernah membuka peluang untuk tidur dengan pria mana pun. Itu kenapa Jovan berani membayar Clarisa mahal pada Abraham tanpa tes keperawanan.
"Hanya hari ini aku memaafkanmu, Karim. Jika besok kamu ulangi, kamu tau apa yang akan aku berikan padamu, bukan?"
"Iya, saya paham, Tuan."
"Baiklah. Beristirahat-lah, besok aku membutuhkanmu. Ingat sekali lagi, jangan rusak waktuku bersama gadis itu, maka sebelumnya, pastikan apa yang bisa dan tidak bisa dia lakukan juga konsumsi. Itu wajib," kata Jovan yang akhirnya berbalik badan menatap Karim. Meski sudah mau berbalik badan, tatapan Jovan tetap tidak pernah luntur sedikit saja. Masih sama seperti tadi, tatapan tajam yang membuat Karim paham jika peringatan tadi bukan peringatan main-main.
Setelah pembicaraan selesai, Karim keluar dari ruangan itu, begitu Jovan yang juga kembali ke kamar yang sudah terisi oleh Clarisa.
Kebetulan Moza juga baru selesai mengganti pakaian Clarisa. Saat ia hendak keluar kamar, Jovan ada di sana dengan wajah datar.
Karna tidak terlalu dekat dengan Jovan, Moza pun hanya tersenyum sambil sedikit mengangguk pada Jovan. Biasanya Jovan tidak akan merespon dan itu hal biasa untuk Moza. Tapi kali ini Jovan ikut mengangguk padanya.
Bahkan sebelum dirinya benar-benar pergi dari kamar itu, suara Jovan berhasil menghentikan langkah kaki Moza dan kembali menghadapi Jovan meski Jovan memberi dirinya punggung.
"Mulai hari ini kamu yang bertugas mengurus Clarisa. Apa pun yang dibutuhkan lengkapi, jangan sampai dia merasa kurang."
"Baik Tuan, akan saya ingat pesan Tuan ini."
Jovan mengangguk, kembali melanjutkan kalimatnya. "Satu lagi, beritau dia, jika tinggal di sini, semua punya aturan, dan dia, wajib mengikuti aturan tersebut jika tidak mau diberi hukuman."
Moza mengangguk kaku, melirik Karim yang jaraknya tidak jauh dari posisinya berdiri. Kemudian suara Jovan lagi-lagi terdengar, membuat Moza sedikit tersentak akibatnya.
"Dan hukuman juga berlaku padamu jika Clarisa tidak menurut atau terjadi apa-apa padanya. Ingat itu di dalam otakmu," kata Jovan masuk dengan cepat ke dalam kamar, tidak memberi waktu Moza menjawab ucapannya.
BRAK!
Saat suara keras dari pintu itu terdengar, bersamaan dengan terpejamnya kelopak mata Moza, sentuhan lembut Moza rasakan di pundaknya.
"Jika kau juga merasa aneh pada sikapnya ...sama, aku pun juga. Hanya saja aku sadar, sikap Jovan berubah sejak melihat Clarisa disitus lelang. Dan ...semua ini terjadi."
Moza menoleh dengan kepala sedikit miring memandang Karim.
"Apa ...Tuan Muda jatuh cinta?"
Kedua bahu Karim terangkat ringan. "Entah. Terlalu dini untuk menyimpulkan hal tersebut sekarang ini," kata Karim dibalas anggukan kepala oleh Moza. Keduanya pun sepakat pergi, karna tidak ada lagi hal yang bisa mereka lakukan di sana.
Sedang di dalam kamar, Jovan menatap sekilas Clarisa. Wanita itu masih saja meracau tidak jelas di atas ranjang.
Mengabaikan Clarisa sebentar, Jovan memilih mengganti pakaiannya. Ia melirik ke arah Clarisa. Wanita itu benar-benar teler, hingga tidak sadar jika Jovan berganti pakaian di depannya.
Setelah selesai berganti pakaian, Jovan meraih ponselnya. Ia mendekati Clarisa lebih dulu, menatap wanita itu dengan posisi yang berdiri di pinggir ranjang, hingga Clarisa sendiri yang menepuk pangan Jovan dan memaksa Jovan untuk mendekat.
"Kamu yang beli aku? Buat tidur bareng?"
Jovan diam, tidak menjawab apa pun yang Clarisa katakan, selain hanya membuang napas kasar akibat pakaian yang Clarisa pakai tersingkap hingga ke atas.
"Kita bakal tidur bareng sekarang?" tanya Clarisa pada Jovan. Jika tadi posisi Clarisa tiduran, maka kini Clarisa memaksakan dirinya untuk duduk. Bahkan tangannya meraih-raih tangan Jovan untuk ia pegang.
"Mau mulai dari yang mana? Ini atau ini?" tanya Clarisa, mengarahkan kedua tangan Jovan pada tubuhnya yang terbalut gaun tidur cukup seksi.
Andai saja Clarisa tidak dalam kondisi mabuk berat, mungkin sudah Jovan eksekusi wanita itu sekarang juga. Tapi sayang, Jovan bukan tipikal laki-laki yang ingin nikmat sendiri. Jadi, ia masih bisa menunggu sampai besok jika hari ini tidak bisa.
"Tidur, kau mabuk dan aku tidak pernah mau melakukan hal itu jika pasangan ku atau lawan mainku tidak dalam keadaan sadar."
"Eum?" Clarisa mendongak, menatap Jovan dengan mata menyipit karna silau. Ia bahkan menggaruk kepalanya dengan wajah tanpa rasa malu juga bibir mengerucut lucu.
"Apa aku yang kau sebut mabuk? Aku bahkan masih bisa melihat wajahmu. Ayahku menjualku padamu untuk menemani kau tidur, dan jika aku tidak melakukannya maka Ayahku tidak akan membawa ku pulang. Maka dari itu, tidur bersamaku dan setelahnya biarkan aku pulang bersama Ayah--mmphhh!"
Kalimat Clarisa tidak bisa dilanjutkan lagi. Karna belum selesai wanita itu bicara, Jovan sudah lebih dulu menyelipkan sebelah tangannya di belakang leher Clarisa, membuat kepala wanita itu mendongak menatapnya dan meraup bibir tipis Clarisa yang terasa alkohol dengan bibirnya yang penuh.
Setelah puas memberi cumbuan di atas bibir Clarisa yang tidak dibalas oleh wanita itu, Jovan sedikit menjauh. Ia menatap bibir Clarisa yang basah akibat ulahnya lalu berbisik tepat di depan wajah Clarisa.
"Jangan memancingku, kau tidak tau dengan siapa kau berhadapan, Clarisa."
Jovan kembali berdiri tegak, menatap datar lagi Clarisa yang terbengong. Setelahnya, satu tangan Jovan terulur di atas puncak kepala Clarisa dan ditepuknya pelan-pelan puncak kepala Clarisa. "Tidur, aku masih harus bekerja."
Jovan melepas sentuhannya yang ada di puncak kepala Clarisa lalu meninggalkan wanita itu yang sudah menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang. Kembali meracau yang Jovan biarkan.
Pria itu duduk di sofa panjang yang ada di dalam kamar, memakai earphone-nya sebelum ia mulai bekerja. Sekali lagi ia menatap Clarisa yang ada di atas ranjang. Posisi wanita itu sudah tidak terkontrol. Bahkan gaun tidurnya sudah sangat naik dibagain bawah dan melorot dibagian atas. Membuat Jovan benar-benar harus menahan hasratnya lebih dulu malam ini.
Ia benar-benar menyesal membuat Clarisa mabuk. Jika tidak, mungkin tubuh cantik itu sudah menjadi miliknya malam ini.
"Ekhem! Fokus Jovan," katanya lirih pada diri sendiri.
Bersambung...
Jangan lupa komen dan beri dukungan agar aku semangat up. Terima kasih,