Clarisa menatap kagum Ballroom hotel yang ia pijaki kini. Dengan tangan masih melingkar tepat pada lengan Jovan, wanita itu mengikuti saja kemana langkah kaki yang Jovan bawa.
Ketika kaki jenjangnya berhenti, Clarisa menoleh ke arah Jovan. Pria itu mengedarkan pandangannya, seperti sedang mencari seseorang, Jovan lantas menunjuk sudut ruangan yang ada di sisi kirinya.
"Kita ke sana lebih dulu. Kau mau ikut atau mau langsung duduk saja?" tanya Jovan lembut. Tidak sama sekali ada paksaan atau perintah dari pria itu. Jovan dengan sopannya bertanya sehingga membuat Clarisa tak enak hati jika tidak mengikuti kemana perginya pria itu.
"Bukannya kau mengajakku datang kemari untuk menemanimu? Jika aku langsung duduk, apa bedanya dengan kau datang seorang diri?" tanya Clarisa membuat Jovan tersenyum. Dengan lembut Jovan mengusap pipi Clarisa menggunakan punggung jarinya.
"Ini kelebihanmu, selain kau juga adalah seorang gadis baik," kata Jovan yang membuat Clarisa tersenyum miris.
Setelahnya, Jovan mengulurkan tangannya. Memberi tanda jika mereka bisa melangkah sekarang.
Sejak masuk ke dalam Hotel ini, bukannya Clarisa tidak tau jika dirinya terus menjadi pusat perhatian. Hanya saja Clarisa tidak mau berbesar kepala. Karena yang Clarisa tau, mereka semua menatap ke arahnya bukan karena dirinya, melainkan karena Jovan sendiri.
Clarisa tidak memungkiri jika wajah Jovan itu setara dengan pahatan wajah Dewa Yunani yang jauh di sana. Dan karena itu juga, Clarisa tidak heran jika banyak wanita mengagumi pria yang kini bersamanya.
"Wah Tuan Jovan, kami pikir kau tidak akan datang," kata seorang pria berjas rapi dengan gelas kristal berkaki di tangannya. Clarisa yakin jika isi dari dalam gelas tersebut adalah wine. Minuman yang membuat dirinya sempat kehilangan kendali dan kehilangan mahkotanya.
Jovan terkekeh, menyalami semua orang yang ada di sana lebih dulu lalu menarik pinggang Clarisa agar semakin mendekat. "Tentu aku datang, kenapa harus tidak?" tanya Jovan pada orang yang tadi melempar pertanyaan.
"Entah, kabarnya kau sudah tidak punya pasangan dari wanita yang terakhir kali kau bawa saat pesta. Tapi melihatmu malam ini, kami rasa gosip itu tidak benar. Kau memang yang terbaik. Siapa?" tanya pria itu menunjuk Clarisa menggunakan alisnya.
Jovan menoleh Clarisa, mengulas senyum lalu mengusap pinggang ramping wanita itu hingga membuat Clarisa menolehnya cepat.
"Namanya Clarisa. Dia tunangan ku."
"Wow! Tunangan Jovan?" tanya satu lagi teman Jovan yang entah siapa. Clarisa tidak perduli dengan ucapan teman-teman Jovan. Wanita itu masih sibuk memandang wajah Jovan, tidak percaya dengan apa yang Jovan baru saja katakan.
Kenapa Jovan malah mengatakan hal seperti itu? Bukannya status Clarisa di hidup Jovan itu hanya sekedar wanita bayaran? Wanita yang dibeli hanya untuk memuaskan hasratnya saja? Lalu apa tujuan pria itu mengatakan hal seperti ini?
"Jovan," panggil Clarisa yang sudah lebih dulu di minta diam oleh Jovan. Satu jari Jovan ada di depan bibir Clarisa, kepalanya menggeleng lalu kembali menatap kawan-kawannya, tidak mau menanggapi panggilan Clarisa yang mungkin saja sudah Jovan tau kemana arah pembicaraan wanita itu selanjutnya.
"Sudah, kalian ini terlalu serius dan berisik. Kasihan Clarisa, dia pasti takut berdekatan dengan pria buaya seperti kalian. Jadi, biarkan aku pergi membawanya, " kata Jovan berpamitan.
Meski teman-temannya bersorak dan mengejek dirinya yang terlalu cepat pergi, Jovan tetap tidak perduli. Ia malah makin menjauh bersama Clarisa, membawa wanita itu ke salah satu meja bundar yang ada jauh di belakang lalu menarikkan satu kursi untuk Clarisa duduk.
"Silahkan."
Clarisa menatap Jovan sebentar. Tepat saat pandangan mereka bertemu, Jovan memberikan dirinya kedipan mata nakal dan hal itu membuat Clarisa membuang muka cepat.
Jantungnya berpacu cepat, dengan wajah panas yang mulai memerah.
'Huh, perasaan apa ini? Jangan bodoh Clarisa, jangan sampai terjebak dengan perasaan. Tidak boleh, dan jangan!' gumam Clarisa di dalam hati. Ia hanya tidak mau saja terlalu berharap pada siapa pun dan apa pun, apa lagi semenjak dirinya dijual oleh Ayahnya sendiri.
"Clarisa?"
Clarisa tersentak, tidak siap saat pundaknya di sentuh Jovan. Wanita itu bahkan sampai mundur selangkah akibat gerakan terkejutnya.
"Eh?"
"Kenapa? Kamu melamun?"
"Ah, enggak. Enggak apa-apa. Aku tadi cuma--"
"Apa kamu gak betah di sini?" tanya Jovan yang langsung Clarisa balas dengan gelengan kepala. Tak mau membuat Jovan berpikir buruk, Clarisa buru-buru duduk di bangku yang sudah Jovan tarikkan lantas mengulas senyum.
"Enggak kok. Aku senang."
Jovan menatap Clarisa lama. Ia memperhatikan Clarisa lebih dulu, setelahnya ia mengangguk, percaya dengan apa yang wanita itu katakan.
Setelahnya Jovan ikut duduk di sebelah Clarisa, mulai mengangkat tangannya untuk memanggil salah satu pelayan. Ia memesan banyak makanan untuk keduanya, wine juga tidak lupa jus untuk Clarisa yang memang tidak bisa terkena alkohol. Karena terakhir yang Jovan ingat, Clarisa sampai tidak sadarkan diri akibat minuman beralkohol.
Lama keduanya saling diam, Clarisa terus saja curi-curi pandang menatapi Jovan. Ada yang aneh di hatinya saat ini. Ia tidak tau apa, tapi semenjak tadi saat kata 'Tunangan' tercetus, Clarisa merasa tidak nyaman.
"Kau melamun lagi?" tanya Jovan pada Clarisa setelah ia kembali menepuk pundak wanita itu dan sudah beberapa kali memanggil namanya.
"Ah, sorry Jovan. Maaf kalau aku tidak fokus. Tadi kamu bilang apa?" tanya Clarisa membuat Jovan memiringkan tubuhnya, ia memperhatikan Clarisa dengan jelas. Satu siku Jovan ia letakkan di atas meja dengan tangan memangku wajahnya sambil menatap Clarisa.
"Apa yang membuat kamu tidak fokus? Jika kamu gak suka tempat ini, katakan. Kita bisa pergi dari sini, mencari tempat yang mungkin akan kamu suka. Aku gak masalah," kata Jovan lembut. Satu tangannya yang bebas bergerak merapikan anak rambut Clarisa yang sedikit berantakan.
Jelas mendapat perlakuan manis seperti itu membuat Clarisa makin merasa aneh dengan hatinya. Di dalam perutnya, sejak tadi terasa digelitik. Ia juga sampai susah mengatur napas setiap Jovan melakukan sentuhan yang berlebihan di tubuhnya.
Mencoba tersenyum, Clarisa menggeleng dengan pelan. "Gak apa-apa. Aku baik-baik saja."
"Kau yakin?"
"Hm." Clarisa mengangguk, wanita itu menipiskan bibirnya ketika tangan Jovan tadi yang bergerak merapikan rambutnya beralih menangkup pipinya.
Apa lagi saat tangan Jovan menarik wajah Clarisa mendekat kepadanya. Clarisa yakin jika pria itu ingin melakukan hal lain, karena ketika wajah Jovan sudah bergerak miring, Clarisa tau apa yang diinginkan pria itu sekarang.
Buru-buru Clarisa menahan dada bidang Jovan, menoleh kanan kiri dan kembali menatap Jovan yang mengerutkan keningnya.
"Kenapa?" tanya Jovan dan Clarisa menggeleng.
"Banyak orang di sini. Apa kau tidak malu dilihat banyak orang?"
Jovan menatap sekitar kemudian kembali menatap Clarisa. Ibu jarinya bergerak mengusap bibir bagian bawah Clarisa lalu tersenyum. "Baiklah, kau aman di sini, tapi di rumah tidak," kata Jovan yang membuat kening Clarisa yang mengkerut.
Paham akan kerutan di kening Clarisa, Jovan pun mengusap keningnya lalu kembali berkata, "Di rumah, kita lakukan yang lebih dari apa yang ingin tadi aku lakukan. Lebih dari sekedar berciuman, aku ingin kamu, dari atas sampai bawah," kata Jovan yang kembali menarik ujung dagu Clarisa dan mengecup bibir wanita itu cepat, membuat Clarisa menegang tapi malah membuat Jovan terkekeh karena merasa lucu ketika melihat Clarisa dengan wajah panik.
"Iya, yang sudah tunangan mah beda. Ciuman di depan umum juga gak ada masalah. Menuju bebas soalnya."
Belum selesai keterkejutan Clarisa dari perbuatan Jovan, suara teman-teman Jovan malah makin membuat dirinya malu karena kini wajah Clarisa sudah merah padam.
"Ganggu aja," kata Jovan membuat Clarisa melirik pelan. Pria itu kini sudah sibuk tertawa bersama teman-temannya.
Melihat Jovan yang tidak sama sekali meralat ucapan temannya soal tunangan, Clarisa jadi makin penasaran. Apa maksud Jovan mengatakan itu.
Tunangan? Huh! Membuat dirinya berharap lagi 'kan? Padahal Clarisa tidak mau berharap apa pun lagi dari hidupnya setelah dijual. Tapi, apa ini bisa Clarisa jadikan acuan untuk melanjutkan hidup?
Entah, Clarisa belum tau pasti itu. Berdoa saja, semoga kedepannya ia bisa keluar dari kehidupan menyedihkan ini.
Bersambung...