Clarisa duduk tak nyaman di tempatnya. Tatapan orang-orang tang ada di ballroom hotel ini kini tertuju ke arahnya terus. Sedangkan Jovan sedang tidak ada bersamanya.
Pria itu tadi sempat pamit pada Clarisa, bicara jika ia akan ke toilet sebentar. Tapi sudah hampir lima belas menit berlalu, Jovan belum juga kembali, membuat Clarisa makin tidak betah dan bergerak gelisah.
Sialnya lagi, Clarisa tidak punya ponsel hanya untuk membunuh waktu atau untuk menghubungi Jovan.
"Hai, bisa aku duduk di sini?"
Suara lembut dari seorang wanita dapat Clarisa dengar. Dengan kepala yang perlahan bergerak mendongak, Clarisa melihat jika ada beberapa wanita cantik mengelilingi meja yang ia tempati seorang diri. Jika dihitung, jumlahnya ada sekitar lima orang. Yang bahkan, sama sekali tidak Clarisa kenal.
Karna tidak mengenal siapa pun dan tidak mau membuat masalah di acara megah ini, Clarisa pun mengangguk. Takut-takut jika para wanita ini adalah salah satu kolega Jovan juga seperti orang-orang yang sebelumnya bertemu dengan dirinya.
"Clarisa. Bener 'kan? Nama kamu Clarisa?"
Clarisa menatap satu persatu wanita yang kini sudah duduk di masing-masing kursi yang ada. Saat pandangannya bertemu dengan wanita bergaun merah terang dengan kulit putih bersih, kepala Clarisa mengangguk. Wanita itu tadi yang bertanya pada dirinya soal nama.
"Ya, nama saya Clarisa."
Terlihat senyum wanita itu dilemparkan pada Clarisa. Yang setelah senyum Clarisa dapat, wanita itu mengulurkan satu tangannya ke hadapan Clarisa.
"Monic!"
Tidak langsung menjabat tangan wanita itu, Clarisa memilih memandangi wajah sang perempuan cantik itu lebih dulu baru tangannya.
Dengan hati yang sedikit ragu, Clarisa berniat membalas jabatan tangannya. Tapi belum sempat tangannya saling bersentuhan, Monic sudah lebih dulu menarik tangannya dan menepuk-nepukkannya dengan satu tangannya lagi.
Kini, terlihat tangan Clarisa yang menggantung di udara. Entah karna apa, Clarisa malah di tertawakan oleh kelima wanita itu, membuat Clarisa kembali menarik tangannya yang melayang di udara kemudian ia sembunyikan di balik meja. Meremas tangannya sendiri kuat-kuat karna merasa tidak tenang ada di sekeliling wanita-wanita itu.
"Well Clarisa. Kami ke sini cuma mau kasih peringatan awal aja sama kamu."
"Peringatan?" tanya Clarisa dengan wajah tak paham. Meski begitu, di dalam hati Clarisa sudah bisa menebak, apa lagi dengan sedikit tau soal Jovan melalui cerita Moza. Salah satu dari wanita-wanita ini pasti menyukai Jovan dan tidak terima jika pria itu kini bersama dirinya.
Tapi, kebersamaan dirinya dan Jovan 'kan bukan karna kehendaknya. Dia dijual oleh Ayahnya dan dibeli oleh Jovan. Berbeda dengan para perempuan ini yang rela menyerahkan dirinya kepada Jovan.
"Hm, peringatan," kata salah seorang perempuan lagi. Kali ini yang bicara ada di sisi kiri wanita bergaun merah menyala tadi. Wajahnya lebih tidak bersahabat. Bahkan bisa Clarisa katakan jika wanita itu seakan tidak mau repot-repot untuk berpura-pura menyukainya. Kentara sekali dari mimik wajahnya.
"Kamu di sini karna Jovan, jadi jangan berbangga diri. Aku yakin, hanya sebulan saja Jovan betah dengan dirimu. Bahkan jika aku tebak, kau pasti tidak pintar dandan, tidak juga pintar memuaskan Jovan. Jadi aku heran, apa yang bisa kau berikan pada Jovan demi memperpanjang waktu bersama kalian nanti, hm?"
Clarisa masih diam, mencerna baik-baik ucapan-ucapan wanita itu.
Dia tidak bisa dandan, itu benar. Apa lagi melayani Jovan di ranjang. Yap, itu lebih benar.
Bahkan malam pertamanya yang harusnya ia lakukan bersama suaminya nanti, sudah Jovan rengut dengan tidak berperasaan. Teramat kasar hingga Clarisa yakin ia tidak akan bisa lupa dengan kejadian keji itu.
Lama melamun dan terperangkap dengan pikirannya sendiri. Clarisa merasakan sebuah jentikan tepat di depan wajahnya lalu mendongak dan menatap kembali wanita-wanita itu.
"Kamu denger 'kan apa yang aku bilang tadi? Sebelum nanti kamu dibuang oleh Jovan, lebih baik kamu pergi. Pergi jauh-jauh dari Jovan. Karna kamu tau apa? Karna kamu tidak pantas untuk Jovan! Paham?" kata wanita bergaun merah itu lantang.
Setelah mengatakan hal menyakitkan seperti tadi, wanita itu beranjak dari duduknya. Ia mengangkat ujung dagunya, ia gerakan sekilas yang kemudian meminta kawannya untuk pergi bersama dirinya dan meninggalkan Clarisa.
Ketika Clarisa sedang memandangi wanita-wanita itu lurus dengan serius. Ia tiba-tiba merasakan jika ada sepasang tangan menutupi matanya, melingkar dari belakang yang membuat Clarisa tersentak.
"Ah!"
"Ssstt, ini aku," bisik orang itu di balik kepala Clarisa yang bibirnya ada tepat di daun telinganya.
Clarisa menelan salivanya kuat. Merasakan terpaan napas hangat pria yang bicara di telinganya mengundang seluruh getaran di tubuhnya.
Membasahi bibir luarnya lebih dulu, Clarisa kemudian membawa tangannya untuk melepaskan kedua telapak tangan yang masih menutup matanya.
"Jovan?"
Jovan tersenyum, ia melepas tangannya dari kedua mata Clarisa. Beralih mencium puncak kepala wanita itu lalu duduk dengan cepat di bangku yang ada tepat di sebelah Clarisa.
"Semudah itu kau menebakku?" tanya Jovan menjawih lembut ujung dagu Clarisa hingga membuat Clarisa lagi-lagi terkesiap, belum terbiasa akan sikap dan cara Jovan memperlakukannya.
"Lalu siapa lagi? Hanya kau yang aku kenal di sini. Lagi pula, siapa yang akan mendekat kepadaku di saat melihat wanita lain yang ada di sini lebih dari segalanya?" tanya Clarisa tanpa menatap wajah Jovan.
Mendengar penuturan Clarisa dengan wajah yang terlihat sedih pun mendekatkan kursi yang ia duduki ke arah Clarisa. Dengan satu tangannya Jovan menarik ujung dagu Clarisa, membawa wajah wanita itu agar menatap wajahnya.
Tapi bukannya menatap Jovan seperti yang pria itu mau, Clarisa malah melarikan bola matanya kemana saja asal tidak menatap lelaki tampan di depannya.
"Look at me, Clarisa," tegas Jovan pada akhirnya setelah menunggu cukup lama tapi Clarisa tidak juga menyerah.
Seakan tersihir oleh ucapan Jovan kepada dirinya. Clarisa akhirnya mau menatap pria itu. Dengan getaran yang dapat Jovan lihat di manik mata jernih Clarisa, pria itu bisa memastikan jika rasa percaya diri wanita itu terkikis.
Tanpa aba-aba dan kalimat apa pun, Jovan mendekatkan bibirnya ke bibir Clarisa. Mengabaikan hiruk pikuk dan ramainya penghuni ballroom tempat mereka berada. Jovan menyatukan bibir keduanya. Berciuman dengan gerakan lambat tanpa tuntutan apa pun dari Jovan.
Setelah dirasa cukup, Jovan melepas ciumannya. Ia menatap wajah Clarisa yang kini berjarak sangat dekat dengan dirinya.
"Masih merasa insecure?" tanya Jovan pada Clarisa yang tidak membuat wanita itu paham. Terlihat dari bagaimana cara kedua alis wanita itu bertaut.
"Dirimu, tidak bisa kau bandingkan dengan wanita lain di ballroom hotel ini. Dengar aku, jika aku sudah membawamu dan memilihmu, itu artinya kau spesial. Jika kau tau beberapa cerita dari Moza, kau pun juga harusnya tau, jika aku tidak akan membawa sembarang perempuan pergi ke sebuah pertemuan. Jika ia tidak bisa membuatku bangga, maka tidak akan aku bawa."
"...lantas, keberadaanmu di sini. Jelas karna aku merasa bangga memiliki mu, itu sebabnya kau ada di sini, sekarang, bersamaku. Kau paham itu, Clarisa?"
"Tapi--"
"Aku tau. Ada beberapa wanita yang tadi menganggumu. Abaikan dia, jangan pikirkan. Jika aku sudah bersamamu, maka apa yang kau khawatirkan?"
"Katanya, kau hanya akan bersama wanitamu selama sebulan. Setelah kau bosan, maka akan kau lepas begitu saja. Apa ...itu benar?" tanya Clarisa sedikit ragu tapi tetap harus ia tanyakan.
Terlihat senyum miring Jovan. Ujung jarinya menyentuh hidung Clarisa kemudian ia bicara. "Itu tergantung dirimu. Kau bisa bertahan berapa lama bersama mu dan menurut. Karna selama ini, rata-rata wanita yang bersama ku bukan wanita penurut, Clarisa."
"Lalu, apa jika aku penurut, kau akan tetap bersamaku?"
Kening Jovan berkerut, ia menatap Clarisa dalam lalu mengusap lembut pipi wanita itu.
"Aku rasa kau sudah lelah ada di tempat semacam ini. Lebih baik kita pulang saja," kata Jovan mengalihkan pembicaraan. Ia bangkit lebih dulu, meraih tangan Clarisa untuk ia genggam dan bantu bangkit dari duduknya tapi Clarisa menahannya.
"Tunggu!" kata Clarisa cepat.
"Apalagi?"
"Kau belum mejawabnya."
"Yang mana?"
"Apa jika aku menurut kau tetap bersamaku? Tolong, setelah Ayah menjualku kepadamu, aku tidak tau harus apa dan ke mana. Jadi aku butuh jawabanmu."
Jovan diam cukup lama, hingga akhirnya lelaki itu menghela napas dan kembali duduk dengan tangan masih memegang tangan Clarisa.
"Sebelum aku memang tidak pernah punya komitmen pada wanita mana pun. Jika kau bisa mengubah itu semua, kenapa tidak. Silahkan saja kau coba. Tapi aku peringkatkan, bukan hanya kau yang akan mencoba ini. Sudah ada banyak dan tidak ada yang berhasil. Tapi jika kau berhasil, dengan senang hati akan aku lakukan. Deal?"
Seketika senyum Clarisa mengembang. Dengan semangat ia mengangguk dan meremat tangan Jovan yang memegang tangannya.
"Deal! Aku akan berusaha."
Jovan tersenyum dan mengusap puncak kepala Clarisa lembut. "Bagus, aku suka kau bersemangat dan tersenyum seperti ini. Pertahankan Clarisa!"
Padahal hanya dipuji seperti itu saja, tapi kedua pipi Clarisa sudah memerah. Demi tidak dilihat oleh Jovan jika wajahnya memerah, Clarisa menunduk. Sayang, apa yang ia lakukan terlambat. Jovan melihatnya dan makin melebarkan senyumnya sambil menarik Clarisa ke dalam dekapannya.
"Menggemaskan sekali warna pipi mu itu, Clarisa. Blushing," kata Jovan membuat Clarisa makin merasakan panas di wajahnya.
Bersambung...
Jangan lupa dukung terus ya!