Andrea terkesiap saat jam wekernya berdering. Ia mengumpat kesal saat tangannya sudah berhasil meraih benda beraksen Hello Kitty yang terduduk manis di atas nakas itu menunjukkan angka 8. Secepat kilat Andrea melompat menuju kamar mandi. Ia pun menggunakan jurus seribu bayang sehingga sekarang ia sudah siap. Berbekal susu kotak dan selembar roti tawar, Andrea segera keluar dari apartemennya dan berlarian menuju lift.
Mata Andrea membulat sempurna saat mendapati pintu lift segera tertutup. Jika harus menunggu pasti akan membutuhkan waktu yang lama karena saat ini adalah jam kerja jadi akan banyak yang memakai benda berjalan itu. "Somebody please hold the door," teriaknya sambil mempercepat larinya. Andrea segera merutuki mulutnya yang latah dengan bahasa asing itu. "Tolong tahan pintunya," ulang Andrea akhirnya membuat seseorang dengan wajah datar di dalam lift akhirnya menahan pintu itu.
Andrea dengan segera masuk ke dalam lift dan bernapas lega. Ia mengusap peluh di dahinya dan segera memasang senyum manis saat menatap ke arah pria yang berdiri di sampingnya. Namun, senyum itu menguap dengan segera saat mendengar decakan sebal dari pria yang ada di hadapannya saat ini. "Terima kasih," Andrea tetap memaksakan kalimat itu keluar dari mulutnya meskipun kini wajahnya sudah menatap lurus ke depan. Andrea berdecak kesal saat lelaki itu tak bereaksi apapun atas ucapannya. Dengan berat hati ia kembali menengok. "Terima kasih," ulangnya dengan memasang senyum manis yang dipaksakan. Ia yakin saat ini wajahnya lebih mirip seperti boneka mampang yang sedang menari di lampu merah. Andrea pun segera membuang muka dan mengambil oksigen sebanyak-banyaknya. "Aku sudah mengucapkannya dengan tulus bahkan mengulangnya hingga 2 kali. Kenapa kau tak menjawab?" kesalnya. Ia kembali berdecak saat lelaki di sampingnya itu tak juga mengeluarkan suara dan malah meliriknya saja. "Aku anggap kau bisu dan tuli," putusnya kemudian. Ia mengangkat bahunya acuh saat mendapat tatapan tajam dari lelaki itu dan memilih melangkah keluar lebih dulu keluar lift. Dengan langkah cepat ia menuju tempat pemberhentian bus yang akan melewati kampusnya dan mengabaikan lelaki di sampingnya.
Andrea segera masuk ke dalam bus dan mencari kursi yang bisa ia tempati. Setidaknya bisa mengurangi pegal yang sedari tadi ia rasakan. Mata Andrea tak berkedip saat mendapati lelaki menyebalkan tadi sudah duduk disalah satu kursi di dalam bus. Ia mengamati lekuk wajah lelaki itu dan segera menutup mulutnya dengan kedua tangan saat menyadari bahwa kaos dan logo kampus mereka sama. Ia menutup matanya sebentar, 'Satu kampus,' batinnya berbicara. Ada rasa riang yang tiba-tiba menyeruak dalam dada Andrea setelah mengetahui hal itu. Entah apa yang ada di kepalanya saat ini, ia pun tersenyum sendiri dengan tetap menatap pada lelaki itu. Ia pun mendengus kesal saat sebuah jari telunjuk menyentuh dahinya disertai dengan dorongan pelan. Dengan cepat Andrea menyingkirkan jari itu. "jauhkan jari baumu dari dahiku," cebiknya. Ia kemudian terkekeh saat melihat lelaki itu benar-benar mengendus jarinya sendiri. Ia tetap tersenyum manis meski dihujani dengan tatapan sinis. "Sama-sama. Aku anggap itu bentuk ucapan terima kasih darimu," tuturnya disela kekehan. Setelahnya tak ada lagi ucapan darinya. Suasana kembali hening dan Andrea lebih memilih mendengarkan musik melalui earphonenya.
Andrea mengikuti langkah lelaki jangkung itu dengan sedikit berlarian. Tinggi mereka yang tak berbeda jauh ternyata tetap membuatnya kerepotan untuk menyamai langkah lelaki itu yang tentu saja sangat lebar. "Aukkhhh," rintihnya saat saat dahinya menabrak sesuatu yang keras. Ia pun mengusapnya dengan cepat sambil tertunduk.
"Pakai matamu," suara baritone nan seksi itu segera mengalihkan dunia Andrea. Ditambah dengan decakan kesal yang terlontar dari mulut yang sedari beberapa hari lalu tertutup rapat itu semakin membuat dunia Andrea terasa berwarna. Ia merasakan degupan kencang di dadanya yang tak bisa ia tahan. "Jangan sampai dia dengar," bathinnya berbisik lirih. Gadis 18 tahun itu mematung di tempatnya untuk waktu yang cukup lama hingga suara-suara bising mulai menarik kesadarannya ke dunia nyata. Ternyata itu suara kakak-kakak BEM yang akan memimpin kegiatan OSPEK kali ini. Di sana juga nampak beberapa mahasiswa dan mahasiswi baru yang sedang bergegas. Dengan segera Andrea berlari menuju aula. Beruntungnya ia tak terlambat dan jika iya, maka ia akan mendapat hukuman. Dengan napas terengah Andrea segera masuk ke dalam barisan. Sambil mengusap dadanya yang sekira bisa membantu napasnya kembali normal, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Namun, itu merupakan ide buruk pada akhirnya saat ia harus merasakan kembali rasa sesaknya setelah mendapati lelaki menyebalkan yang tadi sudah berdiri di sampingnya bahkan sedang menatapnya. Andrea memilih memalingkan wajahnya dan berusaha mengambil oksigen sebanyak-banyaknya. Kejadian hari ini benar-benar tak bisa diduga oleh Andrea. Harinya dimulai dengan drama yang luar biasa.
Andrea bernapas lega saat acara OSPEK itu segera dimulai. Di sana mereka akan dibagi menjadi beberapa kelompok untuk semua kegiatan selama OSPEK. Napas Andrea kembali tercekat saat disebutkan bahwa mereka yang ada dalam satu garis barisan harus berada dalam satu kelompok karena itu artinya ia harus satu kelompok dengan lelaki jangkung itu. Mata Andrea dan lelaki itu kembali bertemu. Ia menghela napas dan mengulurkan tangan. "Aku Andrea. Siapa namamu?" katanya.
Satu Detik
Dua Detik
Tiga Detik dan sampai 10 detik lelaki itu tak kunjung mengeluarkan suara. "Nama kamu siapa?" ulang Andrea sambil menurunkan tangannya yang tak bersambut. "Kalau kamu tidak menyebutkan nama lalu aku harus memanggilmu apa?" kesalnya.
Lelaki itu masih menatap Andrea. "Azka," ucapnya kemudian sambil mengalihkan pandangan membuat Andrea tersenyum senang meskipun tak terlihat oleh mata hazle lelaki itu.
Jantung Andrea kembali berulah. "Ah kau buat aku malu kalau sampai terdengar," rutuknya dalam hati. Ia memilih kembali memfokuskan pandangan pada acara OSPEK di mana kakak-kakak BEM sedang menjelaskan semua kegiatan yang akan mereka lakukan. Di antaranya menyebutkan akan ada game yang harus mereka lakukan secara berpasangan. Andrea benar-benar tak habis pikir dengan apa yang di alaminya mulai dari pagi hingga pertengahan hari ini. Semua benar-benar di luar perkiraannya. Sesekali Andrea melirik Azka yang tetap diam menatap lurus ke depan. Ia heran bagaimana Azka bisa mengacuhkannya padahal biasanya ia akan di kejar-kejar oleh kaum Adam begitu bertemu. Tak dipungkiri wajah Andrea yang rupawan selalu menjadi santapan mata-mata lelaki yang lebih mirip kurang belaian kasih sayang dari Hawa. Sempat terlintas di pikirannya jika Azka hanya sedang malu-malu untuk berlaku begitu karena mereka baru mengenal. Namun, hal itu segera ditepis karena lelaki itu selalu memasang wajah datar ketika bertemu dengannya. Bahkan untuk membuatnya mengeluarkan suara saja ia harus memakai semua jurus kesaktian. Andrea merasa tertantang dengan sikap dingin dan acuh Azka. Ia merasakan ada sesuatu yang lain dengan lelaki jangkung itu. Entah pernah terluka atau belum pernah dekat dengan lawan jenis. Andrea terkekeh dengan pikirannya sendiri membuatnya mendapat tatapan tajam sekali lagi dari Azka. "Jangan memandangku begitu, kau bisa jatuh sejatuh-jatuhnya pada pesonaku jika tetap melakukannya," katanya sambil mencolek dagu Azka. Ia kembali terkekeh saat dengan kasar tangan Azka menepis tangannya dan berdecak kesal karenanya. Dengan kesal Azka akhirnya mengalihkan pandangannya kembali ke depan dan memutar kepala Andrea agar berhenti menatapnya dengan memegang puncak kepala gadis itu.
Azka benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan gadis yang baru dikenalnya itu. Ia bahkan melupakan namanya meskipun baru saja disebut. Ia lebih memilih abai dibanding harus menanggapi perilaku ganjil Andrea. Ah ya, namanya Andrea, batin Azka sendiri dalam keterdiamannya. Sebenarnya ia sudah tak tahan ingin tertawa dengan tingkah konyol gadis itu, tapi gengsinya jauh lebih tinggi dibanding senyumannya. Azka mendesah kesal karena kini mereka harus mengikuti lomba balon berpasangan. "Seperti anak TK saja. Kenapa harus main bola seperti ini? Ah menyusahkan saja," gerutunya yang ditanggapi kekehan kecil oleh Andrea.