Andrea dan Azka kini tengah dalam perjalanan pulang dari kampusnya. Mereka memang tak saling bicara tapi tetap pergi bersama. Bukan tak saling bicara, tapi Azka yang tak pernah mengeluarkan suara sedangkan Andrea selalu berbicara tanpa berhenti. Azka sudah mengingatkan Andrea untuk diam meskipun hanya lewat tatapan tajamnya ataupun decakan. Namun, hal itu nampaknya tak berpengaruh pada seorang Andrea. Gadis itu tetap saja berceloteh meskipun tak mendapat tanggapan dari Azka.
Turun dari bus Azka melenggang begitu saja tanpa menoleh pada Andrea yang terus memanggil namanya. Lelaki itu sudah lelah dengan celotehan Andrea. Ia pun berpikir apakah Andrea tidak merasa haus atau lelah karena sedari tadi terus saja berceloteh. Meski begitu kesal, Azka masih menunggu Andrea saat akan memasuki lift. Ia pun membiarkan Andrea berada di dalam satu lift dengannya. Rasanya sudah lelah memang, tapi jika di tinggal ia pun merasa kasihan. Andrea pasti juga merasakan hal sama dengannya mengingat permainan balon berpasangan yang mereka lakoni tadi di kampus. Ingatan Azka menerawang kejadian di mana ia dan Andrea harus meletakkan bola itu di antara dahi mereka lalu harus berjalan ke sana ke mari untuk mengumpulkan balon-balon lain yang berserakan sedangkan balon yang ada di dahinya tak boleh jatuh. Ia merasa itu adalah hal seru, tapi entah kenapa sangat sulit untuknya hanya sekedar melengkungkan bibir. Setelah itu mereka bahkan masih di haruskan mencari tanda tangan kakak semester yang ada di kampusnya sebanyak 50 nama, padahal kondisi kampus sedang sepi karena mereka diliburkan untuk kegiatan OSPEK. Tak berhenti di situ, mereka bahkan mendapat hukuman harus membersihkan lapangan karena Andrea yang tak bisa mendapat 50 tanda tangan.
"Kamu tidak berguna," kesal Azka membuat Andrea mencebik kesal. "Lain kali pakai isi kepalamu dengan benar, jangan dandanan saja yang kamu kuasai," tambah Azka. Mereka kini sedang berada di lapangan untuk menjalani hukuman mencabut rumput. Andrea kesal dengan hari ini dan semua kejadian yang membuatnya berakhir panas-panasan bersama Azka. Ia pun menyesal mengapa harus satu tim dengan lelaki itu. Dia tidak membantu sama sekali malah justru menambahi bebannya dengan menggerutu sepanjang hukuman membuat lelah Andrea kian menggunung.
"Jangan menyalahkan aku saja kalau kamu teman satu timku tidak ada kontribusi sama sekali," balas Andrea tak mau kalah. "Harusnya tadi kamu membantuku bukannya malah sibuk dengan anak lain," tambahnya saat Azka tak menjawab. Bukan Andrea jika tidak bisa membalas ucapan menyebalkan dari siapa pun.
Azka berdecak kesal. "Terserah kau saja. Dan selesaikan tugasmu, aku tidak mau kita berakhir menginap di sini karena kau," kata Azka sambil berjalan menjauh dari Andrea yang hanya menatapnya dengan sengit.
Andrea melanjutkan pekerjaannya di sertai dengan gerutuan tentang sikap Azka dan ucapan pedas lelaki itu. Ternyata Azka lebih baik diam di bandingkan dengan bersuara karena ucapannya akan sangat menyakitkan. Andrea menghela napas, ia mengingat semua kemewahan yang selalu ia nikmati jika bersama dengan kedua orangtuanya. Ia bahkan masuk ke dapur pun tidak pernah. Lalu apa sekarang? Ia harus mencabuti rumput di lapangan yang panas tanpa penutup kepala apa pun. Ia merasa kepalanya sudah sangat sakit namun menahannya karena tidak ingin semakin mendapat gerutuan dari Azka. Ia bersyukur lelaki itu sudah menjauh dan membiarkannya menyelesaikan bagian itu sendiri.
"Aku minta maaf soal kejadian tadi. Tidak ada kesengajaan agar kita mendapat hukuman," kata Andrea menyadarkan Azka dari lamunannya. Setelah mengucapkan kalimat itu, Andrea terdiam. Ia tak ingin mengatakan apa pun hingga akhirnya lift kembali terbuka dan ada orang lain di antara mereka.
Azka menghela napas saat Andrea tiba-tiba diam. Ia juga merasa bersalah karena terus menggerutu pada Andrea padahal seharusnya memang ia membantu Andrea bukan orang lain. Ia pun berinisiatif untuk melirik ke arah Andrea yang memilih berdiri di pojok dan menundukkan kepalanya. Hati Azka berdesir hebat saat melihat hal itu. Perasaan bersalahnya semakin besar. Namun ia tak berminat untuk mengatakan apa pun pada gadis itu. Ia hanya ingin esok hari Andrea akan kembali seperti biasanya.
Pintu lift pun terbuka, mereka sudah berada di unit yang di tinggali. Azka turn lebih dahulu baru Andrea di belakangnya. Ia sesekali melirik Andrea yang masih menundukkan kepalanya. Sementara itu, Andrea merasa ucapannya tadi tak berguna karena sampai sekarang Azka tak kunjung juga menjawabnya. Ia memandang tubuh tegap Azka yang berada di hadapannya. Ia sebenarnya ingin sekali berbicara dengan lelaki itu, namun diurungkan karena akan percuma. Azka pasti tidak akan pernah menanggapi semua hal yang diucapkannya. Andrea memandang lekat Azka yang kini sidah berada di depan pintu unitnya. Ia tak segera masuk karena masih ingin melihat lelaki itu masuk.
Azka yang menyadari tatapan Andrea tertuju padanya berdecak kesal. Ia memandang lekat wajah Andrea yang masih menghadap lurus ke arahnya. Dengan langkah lebarnya, Azka mendekat ke arah Andrea dan menatapnya dengan lekat. Azka mendekatkan wajahnya pada wajah Andrea. "Cantik," batinnya berbisik. Azka semakin mendekatkan wajahnya memaksa Andrea untuk memejamkan matanya. Menatap hal itu Azka tersenyum sambil menaikkan satu alisnya menatap gadis di hadapannya. Ide jahil pun muncul di kepala lelaki jangkung itu. Ia kembali menjauhkan wajahnya untuk melihat reaksi Andrea. Ia terkekeh saat Andrea menatapnya dengan tatapan tajam. Senang rasanya bisa mengerjai gadis itu. Ia pun beranjak kembali menuju unit apartemennya namun tak melepaskan tatapannya dari sosok Andrea. Ia pun berdecak kesal saat Andrea tak kunjung masuk ke kamarnya. Dengan setengah tenaga, Azka kembali mendekat ke arah Andrea dan mendekatkan wajahnya. Ia melebarkan matanya lalu bertanya, "Kamu penguntit ya?"
Menyadari maksud pertanyaan itu sisi kewanitaan Andrea tersentil. Dengan gerakan cepat ia pun menginjak kaki Azka dan segera berlalu. Ia tak peduli lagi dengan segala bentuk ucapan kasar yang terlontar dari bibir Azka untuknya. Ia sudah cukup lelah dengan hari ini, jadi sudah waktunya istirahat dan mengabaikan segala macam bentuk gangguan. Sampai di dalam kamar, Andrea segera melempar tubuhnya ke atas kasur. Ia merebahkan tubuhnya dengan posisi senyaman mungkin dengan menatap langit-langit kamarnya. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya saat ini. Dulu saat bersama kedua orang tuanya, ia tak pernah mengalami yang seperti ini. Namun, segera Andrea menghela napas dan mengingat jika semua ini adalah keinginannya. Jadi apa pun yang terjadi saat ini harus ia terima. Apalagi sekarang ia sedang berusaha menyembunyikan gelarnya sebagai putri tunggal keluarga Dinata. Andrea tak mau tanggung-tanggung dalam hal ini. Karena jika tetap menyandang nama itu untuk saat ini tentu akan banyak orang yang mendekat padanya hanya karena status, sedangkan yang ia butuhkan adalah teman yang benar-benar tulus dan menerima siapa pun dirinya.
Andrea bangkit dan menuju kamar mandi. Badannya sudah sangat lengket dan bau. Pilihannya kini pun jatuh pada berendam air hangat dengan harapan bisa menghilangkan lelahnya dan membuang kesalnya karena sikap Azka yang banyak menyalahkannya. Perlahan mata Andrea tertutup dan ia pun berlalu ke alam mimpi.
Sementara Azka, lelaki itu masih memikirkan sikap diam Andrea yang menurutnya sangat menyedihkan. Ia lebih suka melihat gadis itu cerewet dan banyak tertawa. Ia pun berdecak kesal karena 2 hari ini terus memikirkan Andrea. Dunianya kini hanya dipenuhi dengan bayang-bayang dan senyuman gadis rusuh itu. Azka tak pernah bertemu dengan gadis yang tetap bersemangat untuk berdekatan dengannya meskipun sudah diacuhkan. Tanpa terasa lengkungan ke atas kini menghiasi bibir Azka. Namun, dengan segera lelaki itu mengguyur tubuhnya dengan air dingin shower untuk menghilangkan kegilaan karena kehadiran gadis semacam Andrea yang sangat absurb dan suka berbicara ke sana ke mari. Disadari atau tidak, Azka mulai terbiasa dengan kehadiran Andrea yang baru menginjak hari kedua di dalam hidupnya. Gadis itu memberikan warna tersendiri untuk hari-harinya yang sangat luar biasa datar dan tak berwarna. Ada kekaguman yang merasuk ke dalam pikiran Azka untuk gadis itu, hidup sendiri dan tetap menunjukkan sikap ceria dan ramah padahal belum mengenal siapa orang yang menjadi lawannya. Benar-benar luar biasa. "Apa kau tahu kalau kau istimewa?" bisik Azka.